Sepertinya, UU Ciptaker membawa kultur baru bagi pemerintah. Kemarin UU Ciptaker diteken dengan model ala tahu bulat: dadakan. Kini peraturan yang mengatur proses pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) juga disahkan secara mendadak. Kini para pekerja yang mengikuti program BPJS Tenaga Kerja (BPJSTK) harus gigit jari: dana JHT sekarang baru cair setelah usia 56 tahun!
Aturan yang tertuang dalam Permenaker No 2/2022 ini meniadakan peraturan sebelumnya yang dipandang manusiawi. Dalam Permenaker No 19/2015, dana JHT bisa dicairkan setelah melewati masa tunggu satu bulan semenjak mengundurkan diri dari pekerjaan. Ini yang membuat JHT dan BPJSTK menjadi penyelamat banyak orang.
Sebelum peraturan baru ini, dana JHT menjadi “sumber kehidupan” para pekerja. Ketika mereka resign, mereka masih memiliki dana untuk bertahan hidup selain gaji terakhir. Bulan kedua setelah resign, dana JHT yang lumayan ini bisa menghidupi mereka sampai mendapat pekerjaan baru.
Beberapa orang juga memanfaatkan dana JHT sebagai modal usaha. Setelah resign, para pekerja bisa mencairkan JHT sebagai modal usaha tanpa perlu bekerja pada perusahaan lain. Bukankah ini sangat membantu negara? Tanpa harus membuat insentif untuk menggenjot bertambahnya UMKM, masyarakat sendiri yang menabung modal usaha melalui program JHT.
Tapi, skema baru program JHT membuat banyak orang kecewa. JHT hanya bisa cair setelah usia pensiun 56 tahun, meninggal dunia, atau cacat permanen. Dana yang selama ini ikut memperpanjang nafas pekerja yang ditampar pandemi seperti terenggut. Maka maklum saja sampai muncul petisi penolakan Permenaker No 2/2022 ini.
Memang nama dana ini Jaminan Hari Tua. Tapi, apalah arti sebuah nama dibandingkan manfaat yang bisa dirasakan selama ini? Apakah Kemenaker terlalu saklek dengan nama program, sampai rela merenggut penyambung nafas pekerja yang masih terjebak sistem kerja yang embuh ini?
Dalam BPJSTK, ada skema Jaminan Pensiun (JP). Skema ini mirip dengan skema pensiun ala PNS. Dari jaminan bagi duda/janda dan anak, sampai cairnya jaminan setelah usia pensiun. Jika JHT dan JP sekarang punya syarat pencairan yang sama, kenapa harus ada dua model jaminan. Mung nambahi gawean kata kawan saya.
Apalagi skema pembayaran JHT dan JP juga berbeda. JHT yang diterima sekali ini benar-benar diharapkan bagi pekerja yang masih sulit untuk menetap pada satu perusahaan. Nah, jika JHT hanya cair setelah usia 56 tahun, bagaimana pengaruh inflasi terhadap “tabungan” para pekerja ini?
Rekening JHT setiap peserta mirip dengan tabungan di celengan babi. Alias uangnya tidak berkembang kecuali kita yang menabung. Bayangkan jika Anda sekarang punya saldo JHT sebesar lima juta. Sepuluh tahun lagi, bisa jadi uang lima juta tidak cukup untuk biaya hidup sebulan karena dampak inflasi. Apalagi sampai puluhan tahun hingga pekerja mencapai usia pensiun.
Kalau seperti ini, bukankah lebih baik menyiapkan dana hari tua dengan model investasi. Misal emas, tanah, atau cryptocurrency (Kecuali yang ra mashok seperti token yang diterbitkan artis itu). Dengan skema baru ini, minat masyarakat untuk menjadi peserta BPJSTK juga akan menurun.
Tapi, yang menurut saya paling penting adalah: JHT adalah dana yang murni berasal dari pekerja. Entah dengan skema 100 persen dibayar pekerja, patungan dengan perusahaan, atau 100 persen dibayar perusahaan. Tidak ada APBN yang terlibat dalam dana ini kecuali gaji pegawai BPJS. Itu pun kita juga membayar pajak yang menjadi gaji mereka.
Oleh karena ini uang pekerja, biarkan pekerja bisa mengakses ketika momen krusial seperti PHK atau mengundurkan diri. Itulah alasan banyak pekerja yang menuntut perusahaan memfasilitasi mereka menjadi peserta BPJSTK. Tentu selain sanksi yang membuat perusahaan pikir-pikir sih.
Jika alasannya menjamin hari pensiun pekerja, apakah semua orang ingin pensiun pada usia 56 tahun? Apakah pekerja tidak boleh pensiun dini dan memanfaatkan JHT untuk keperluan lain?
Wajar jika masyarakat mulai menduga-duga alasan di balik peraturan baru ini. Mengapa Kemenaker sampai mengubah skema yang selama ini dicintai dan dibutuhkan rakyat? Apakah karena tiba-tiba ada gelombang pengangguran pada masa pandemi yang membuat klaim meroket dan menguras dana BPJSTK?
Lha kan itu uang para pekerja! Uang itu kan tabungan pekerja! Jika disimpan dengan baik dan jujur, mau dicairkan kapan pun juga tak menjadi masalah. Kecuali skema ini agar menekan klaim dan menjaga dana BPJSTK tidak kukut selama pandemi. Pertanyaannya: lalu ke mana tabungan kami? Ke mana dana yang kami percayakan pada BPJSTK?
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya