Kukira Kau Rumah menjadi sajian film bioskop menarik yang bisa dipertimbakan untuk membuka bulan Februari Anda. Dari awal kemunculannya, film ini lekat dengan embel-embel mental health awareness: sebuah tema yang cukup menarik untuk diulas. Meski ada kekhawatiran tema ini hanya akan berakhir pada embel-embel semata, setidaknya tawaran kesan tema yang potensial ini masih menjadi sesuatu yang layak dicoba.
Untungnya, bahasan tema yang ditawarkan bukanlah sekadar embel-embel. Isu kesehatan mental dalam film ini langsung tampak sejak adegan pertama.
Niskala (Prilly Latuconsina) dari kecil tampak memiliki suatu kondisi unik terkait perubahan emosinya yang cukup drastis. Akhirnya, diketahui bahwa Niskala didiagnosa mengalami bipolar. Hal ini membuat dia tumbuh dan menjalani masa dewasanya dengan kondisi khusus. Orang tuanya menjadi overprotektif, membuatnya harus kuliah secara sembunyi-sembunyi dari ayahnya, dengan restu ibunya dan pengawasan sahabat-sahabatnya. Nantinya kita akan melihat bagaimana seseorang dengan isu masalah mental menghadapi situasi penuh tekanan seperti itu.
Di kampus, Niskala bertemu dengan sosok lelaki bernama Pram (Jourdy Pranata). Pertemuannya dengan lelaki yang kerap asyik dengan earphone itu membuat hidup Niskala jadi lebih menarik.
Pram sendiri sebenarnya pengagum jarak jauh Niskala. Dia sudah memperhatikan dan mengagumi Niskala sebelum resmi berkenalan dengannya. Pram adalah sosok kesepian yang mengisi hari-harinya berkaitan dengan musik, baik itu mendengarkan hingga menulis lagu. Sehingga, pertemuannya dengan Niskala membuat dunianya jadi agak ramai. Keduanya saling mengisi sepi, dengan tawa dan musik.
Ini adalah film panjang pertama sutradara debutan Umay Shahab, sosok muda yang sebelumnya lebih akrab tampil depan kamera sebagai aktor. Di awal, backgroundnya sebagai debutan membuat saya memasang ekspektasi ala kadarnya. Ternyata, Kukira Kau Rumah sangat berhasil melebihi ekspektasi dengan banyak sekali catatan yang memuaskan, khususnya soal upaya dalam mengemas adegan romansa yang manis.
Sebagai film romantis, filmnya memang tidak lepas dari berbagai formula klise film-film romantis pada umumnya. Meski begitu, Umay Shahab berhasil meramu interaksi antara Niskala dan Pram menjadi sangat menyenangkan, manis, dan bernyawa.
Seperti layaknya film romantis yang sudah-sudah, Kukira Kau Rumah juga memiliki deretan dialog puitis yang klise, tapi manis dan bermakna. Kata-kata puitis yang terucap, entah itu dimaksudkan sebagai gombalan, curhatan diri, hingga lirik lagu, semuanya tidak terkesan asal sebut. Akan tetapi, ini memiliki makna terkait dengan konflik dan karakter yang turut ikut dirasa oleh penonton seperti saya.
Salah satu pembeda film ini dari film romantis lainnya adalah bagaimana posisi musik yang berhasil ditempatkan dengan baik oleh Umay. Lewat lagu-lagu Amigdala seperti Belenggu yang manis, dan Kukira Kau Rumah (judul lagu yang memang sama dengan judul filmnya) yang menawarkan kegalauan, film ini memang menawarkan deretan soundtrack yang syahdu didengar. Tidak cuma syahdu, lagu-lagu ini tidak hadir hanya untuk memakan durasi, tapi juga turut bercerita dan menguatkan rasa. Umay berhasil membuat lagu-lagu di film ini penting, yang apabila hilang akan mempengaruhi cerita.
Film ini menjadi bukti betapa Umay Shahab memiliki sensitivitas dan referensi yang cukup dalam meramu cerita romantis. Bukan cuma soal mengeksekusi dialog, Umay berhasil mengemas adegan, meramu interaksi, hingga memberi humor yang menguatkan chemistry Niskala dan Pram. Umay berhasil memanfaatkan naskah yang baik didukung dengan kemampuan akting para cast.
Prilly dan Jourdy jelas berhasil menghidupkan film ini dengan sangat nyaman. Kredit lebih tentu pantas disematkan pada Prilly, yang tidak cuma jago dalam hal adegan manis, juga berhasil memperluas range akting ketika menggambarkan penderita bipolar.
Seperti yang sudah dibilang sebelumnya, elemen isu kesehatan mental film ini tidak sekadar embel-embel. Bagaimana aspek isu kesehatan mental ini ditempatkan dalam balutan film romantis ini cukup memuaskan saya. Seperti yang saya harapkan dalam film romantis, setelah melalui bagaimana kejadian-kejadian manis, tiba saatnya bagi Pram untuk mengetahui permasalahan Niskala. Memang begitulah cinta, tidak menampilkan yang baik dan indahnya saja.
Film ini berhasil mengemas isu soal penderita bipolar dengan baik tanpa harus terjebak pemaparan informasi yang njelimet. Ketimbang sibuk menjelaskan, film ini lebih berfokus pada memperlihatkan. Sebagai penonton, kita dapat melihat langsung bagaimana Niskala berusaha menangani perubahan emosinya. Niskala berhasil mendapatkan simpati penonton, juga berhasil memaparkan bahwa bipolar tidak sesederhana tukang marah-marah yang bisa meledak kapan saja. Bagaimana Niskala diperlakukan, dan bagaimana perasaannya dalam merespons perilaku itu, bisa menjadi referensi bagi penonton dalam menyikapi penderita bipolar.
Sayangnya, kesolidan dalam hal pemaparan isu dan balutan romansa dalam film ini harus tercederai babak akhir yang menawarkan konklusi mengejutkan. Saya agak menyangsikan pilihan kejutan yang dipilih, yang ketimbang memberi efek rasa tertentu, justru hanya akan menimbulkan efek kebingungan. Mungkin ini maksudnya untuk memperlihatkan bahwa masalah isu kesehatan mental dalam film ini bukan cuma menyoal penderita bipolar, masih ada hal lain, dan itu adalah cara menunjukkannya. Sayangnya, bagaimana aftertaste yang terasa buyar menjadi bukti bahwa cara ini terlampau tiba-tiba. Tentunya, ini amat sangat disayangkan mengingat film ini sudah begitu solid sebelumnya.
Terlepas dari babak akhirnya, saya tetap merasa tidak bisa mengabaikan kepiawaian Umay Shahab yang telah berhasil meramu Kukira Kau Rumah menjadi film yang dengan manis. Namun, ia tetap berhasil menjaga keurgensian isunya.
Penulis: Muhammad Sabilurrosyad
Editor: Audian Laili