Menjadi seorang guru adalah profesi yang saya cintai. Saat mengajar dan berbincang dengan anak-anak di kelas, saya selalu merasa kembali berenergi. Walau kadang lelah ketika harus ngoyo mengejar materi atau mengulang materi yang sama agar anak-anak paham, melihat antusiasme dan semangat anak-anak untuk belajar seketika membuat rasa lelah itu terbayar lunas.
Selama bertahun-tahun mengajar, saya pernah dua kali mengajar di sekolah kota dan dua kali mengajar di sekolah desa. Sebenarnya, jadi guru di desa itu enak. Lingkungannya jauh dari polusi dan kemacetan. Anak-anaknya pun jauh dari godaan mal dan bioskop. Namun, di balik kelebihan itu ada juga lho sisi nggak enaknya. Dari pengalaman yang saya rasakan setelah jadi guru hampir tiga tahun di desa, ada lima hal yang jadi penyebabnya.
Pertama, ketika tetanggamu adalah wali murid dan anak yang malas sekolah. Susaaah! Bayangkan kamu diajak sama guru BK untuk home visit ke rumah tetanggamu sendiri karena sudah dua minggu anaknya bolos sekolah. Padahal baru kemarin sore kamu minta tolong untuk pasangin LPG. Bayangkan juga kamu sering dapat surat izin dari ibu tersebut, padahal kamu jelas-jelas tahu anaknya masih bergumul dengan kemul. Alasannya habis main kartu semalam. Duh.
Parahnya lagi kalau ada orang tua yang dipanggil karena anaknya melakukan pelanggaran, justru izinnya ke kamu karena mau ke sawah. Belum lagi kalau malah beliau yang memintamu untuk mewakilinya mengambil rapor anaknya yang bermasalah. Semua hal ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan suatu saat ketika ketemu sama anaknya yang tersenyum tanpa dosa ke arahmu. Apalagi kalau cengar-cengir dari balik punggung ibunya. Hmmm, benar-benar diperlukan teknik khusus untuk mengembalikan orang tuanya ke jalan yang benar.
Kedua, karena murid-muridnya berada dalam satu lokasi, masalah yang dihadapi juga sama. Contohnya, ketika suatu kali di kecamatan saya hujan deras sejak dini hari. Di pagi hari debit air hujan nggak juga berkurang, akibatnya beberapa jalan terhalang banjir. Cuaca hujan, langit, gelap, dan banjir di sana-sini cukup jadi alasan kuat buat sebagian besar anak untuk nggak hadir di sekolah.
Saat mengalami situasi tersebut, tak jarang dalam satu kelas hanya ada 5 anak—dari 20—yang hadir. Di antara mereka yang nggak hadir, ada yang benar-benar terhalang banjir dan ada yang nggak hadir karena sudah dari sananya malas. Nah, yang membedakannya adalah adanya izin yang disampaikan siswa melalui pesan WA. Jika nggak ada izin dari siswa, dapat dipastikan mereka memanfaatkan situasi saja.
Ketiga, susahnya sinyal di desa saat pembelajaran daring. Dalam satu kesempatan, saya pernah mengajar melalui Google Meet. Kebetulan saat itu saya sedang ada di kota. Saya menjelaskan materi dengan semangat 45. Saya membuka Google Meet pakai layar laptop. Saat menjelaskan materi dan membuka share screen, layar di Google Meet nggak terlihat. Hanya akan ada notifikasi jika ada siswa yang masuk. Namun, tak ada notifikasi saat siswa keluar.
Setelah habis slide, saya kembali ke layar Google Meet. Pemandangan yang saya lihat benar-benar membuat hati saya nelangsa. Peserta yang tadinya sejumlah dua puluh lima orang, kini tinggal tiga orang saja. Saya sempat lemas dan berburuk sangka kepada mereka.
Namun rupanya kondisi di desa lagi pemadaman sehingga sebagian besar anak yang sinyalnya nggak stabil terlempar satu per satu. Hal yang membuat saya semakin melongo, ternyata mereka semua keluar sejak lima belas menit lalu. Ya Rabbi!
Keempat, ketika kamu sudah berganti kostum mengajar menjadi kaos oblong dan treneng lusuh dan masih dipanggil dengan sebutan Bu Guru. Belum lagi kalau lagi kecek di pantai. Heleh, benar-benar jadi awkward momen. Penginnya sih dapat panggilan Bu Guru ya ketika di sekolah aja.
Dipanggil dengan sebutan Bu Guru sungguh sangat menyebalkan. Saya punya nama. Kepinginnya mereka memanggil saya dengan nama yang dianugerahkan bapak saya sedari lahir. Lha wong juga nggak susah kok untuk mengingatnya. Namun apa daya, di desa saya telanjur dikenal sebagai guru, bukan sebagi kontributor Terminal Mojok.
Saat dipanggil dengan sebutan Bu Guru itu rasanya saya kayak kehilangan kebebasan untuk mengekspresikan diri. Cukuplah saya jadi guru buat murid-murid saya, bukan bagi masyarakat yang ada di desa. Di desa itu saya juga setara dengan mereka. Nggak ada bedanya antara saya dengan petani, peternak, juragan sayur, penjahit, perawat, dan sederet profesi lain.
Kelima, ini nih hal yang paling berat. Katakanlah kamu lagi ketemuan untuk pertama kalinya sama gebetan. Masih di kondisi yang malu-malu, gitu. Eh, tiba-tiba ada tetanggamu yang nggak sengaja mergoki lalu nyeletuk, “Eh, Bu Guru calonnya orang mana ini?” Belum lagi kalau disusul dengan serentetan pertanyaan atau nasihat lain. Duh, Gusti! Wabil yaqin, kalian berdua bakal lebih hati-hati kalau berencana ketemu lagi.
Ya gitu deh 5 hal nggak enaknya jadi guru di desa. Namun, biar nggak enak, masih banyak juga kok hal-hal positif lainnya. Jadi, nikmati saja~
Sumber Gambar: Pixabay