Ponorogo berbenah, pemkabnya kembali bersolek. Media-media banyak yang memberitakan hal serupa. Seolah perubahan dan polesan pemkabnya adalah sesuatu hal yang pantas dirayakan. Tentu saja jika kabupaten ini berbenah dan bersolek jadi lebih bagus saya turut ikut senang. Tapi, perubahan harusnya ‘kan ya nggak gitu-gitu amat, ya.
Sebelumnya akan saya ceritakan dulu sepotong kondisi yang ada di Bumi Reog ini. Dulu, bagi sebagian besar warganya (termasuk saya) melintasi Jalan Soekarno Hatta hingga Jalan HOS Cokroaminoto terasa amat syahdu. Bahkan di siang hari sekalipun. Pasalnya, di kanan kiri jalan terdapat pohon-pohon besar. Sebagian besar adalah pohon angsana. Kalau nggak tahu silakan searching di Google.
Yang jelas, jenis pohon ini memiliki cabang yang lebar dan tentu saja dapat meneduhi jalan. Jadi, kalau kita lewat sepanjang jalan ini ibaratnya seperti masuk lorong hutan yang teduh.
Di musim tertentu, bunga-bunga kuning menyembul dari balik dahannya. Beberapa hari kemudian, saat tertiup angin, bunga-bunga kuning itu berguguran rame-rame. Yah, jadi kalau kebetulan kita melintas pakai sepeda motor lalu ditimpa guguran bunga, semacam kayak di luar negeri gitu. Bahkan, saya sengaja sering keluar rumah hanya untuk muter-muter di jalan tersebut agar merasakan syahdunya keguguran bunga. Selain itu, aspal sepanjang perjalanan tampak menguning karena rontoknya bunga tersebut.
Bukan hal yang menyebalkan saat perjalanan kita tertahan di salah satu lampu merah yang ada di jalan teduh itu. Kecuali buat orang-orang yang terburu-buru. Jika di sudut lampu merah lain orang-orang harus menggerutu dan berusaha cari tempat yang teduh untuk berhenti, di lampu merah ini tidak berlaku saking teduhnya.
Dulu, ketika berjalan-jalan di sepanjang jalan HOS Cokroaminoto untuk mencari suatu keperluan dan berpindah dari satu toko ke toko lain, jarang sekali saya mengeluarkan keringat. Teduhnya pohon yang menaungi jalan ini tentu penyebab utamanya. La, gimana jarak antara satu pohon dengan pohon lain sekitar lima hingga sepuluh meter saja. Padahal pohonnya sudah tumbuh besar dan lebar.
Sayangnya, semua berubah ketika negara api menyerang. Entah dapat bisikan dari mana, tiba-tiba pemkab punya keinginan untuk memoles Jalan HOS Cokroaminoto menjadi serupa Jalan Malioboro. Katanya biar lebih cantik dan menarik minat para wisatawan dari dalam maupun luar kota. Katanya untuk memperbaiki ekonomi masyarakat biar pengunjung yang datang dan beli ke pedagang kaki lima jadi bertambah.
Kelak, sepanjang jalan akan dipasang lampu-lampu taman yang mirip Jalan Malioboro. Padahal sebelumnya jalan tersebut juga sudah cukup terang. Lagipula, mau dibuat semenarik Jalan Malioboro pun, wisatawan yang datang juga nggak akan sebanyak yang ada di sana. Ya, bukannya mendiskreditkan rencana baik tersebut. Tapi saya sadar diri kok, kalau Ponorogo itu kota kecil, nggak segede Jogja.
Atas dasar itulah, proyek pelebaran pedestrian atau trotoar dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sedianya lebar jalan adalah 17 meter, kini lebar jalan tinggal 12 meter saja. Lima meternya dipakai buat pelebaran pedestrian di sisi kanan dan kiri jalan. Berkat proyek ini, trotoar lama yang sudah layak dirusak. Pohon-pohon sepanjang jalan itu ditebangi.
Inilah poin yang sebenarnya saya sayangkan. Pohon-pohon angsana yang besar itu ditebangi. Ya, sepanjang jalan yang panjangnya sekitar 700 meter itu semua pohon besarnya ditebangi. Jika jarak antar pohon maksimal sepuluh meter, coba hitung berapa jumlah pohon yang sudah ditebang. Tentu saja masih perlu dikali dua karena ada dua sisi jalan. Wew!
Memang bener, ada proyek penggantian pohon yang telah ditebang dengan pohon baru. Tapi, selain baru ditanam dengan daun yang seuprit, pohon-pohon baru itu adalah jenis pohon yang sama sekali nggak bisa punya cabang melebar dan meneduhi ruas jalan.
Maka, kini melewati Jalan HOS Cokroaminoto yang sedianya seperti masuk ke dalam lorong hutan yang teduh, jadi seperti masuk lorong neraka. Fanas vroh! Momen tertahan di lampu merah tak lagi menyenangkan karena tak ada lagi cabang-cabang pohon yang meneduhi.
Saat memarkir motor, saya mencoba ngobrol dengan kang parkir. Di sela-sela kesibukannya memarkir motor, ia menggerutu. Ia bilang tak ada warga yang setuju. Karena bukannya jadi Jalan Malioboro, yang ada jadi Malirusak. Saat memasuki sebuah toko kain dan meminta potongan harga, pemilik toko mengeluh. Dulu hanya dengan satu AC toko itu sudah cukup dingin. Kini dengan dua AC, mbak-mbak pelayannya masih keringetan.
Kok bisa, ya, banyak warga yang nggak setuju tapi proyek tetap jalan. Diberitakan di media dengan sangat menarik pula. Jangan-jangan suara rakyat memang dianggap suara semut, ya. Bukan suara Tuhan.
Trotoar-trotoar itu memang terlihat cantik dengan bangku panjang dan lampu jalan. Namun, suhu udara tak bisa dibohongi. Kini kalau kebetulan berhenti buat beli martabak atau gorengan, alih-alih teringat Jogja dan suasananya, saya justru teringat Kota Surabaya. Ya, suasana kotanya jadi mirip sama kota kelahiran dan tempat saya kuliah itu, panas, gerah, ada rasa polusi dengan tambahan sensasi terbakar di kulit. Suasana yang hampir tidak pernah saya rasakan ketika melintasi jalan itu dulu, sebelum negara api menyerang.
BACA JUGA Malioboro Tanpa Kendaraan Bermotor: Memangnya Sudah Siap? atau tulisan Rezha Rizqy Novitasary lainnya.