Dalam pelajaran Sejarah semasa sekolah, kita diajarkan narasi tentang pertempuran pejuang Indonesia menghadapi pihak penjajah. Kita dengan mudah mengidentifikasi mana tokoh yang dapat diteladani dan mana yang jauh dari kata panutan. Penjelasan tentang pertempuran di berbagai daerah konsisten tercantum di buku Sejarah anak sekolahan. Yang luput dari pengajaran di kelas adalah materi soal kelanjutan nasib tokoh pasca perang. Pernahkah terbersit di benak kita soal kuburan orang-orang yang berperang di zaman kemerdekaan?
Kita dengan mudah menyebutkan taman makam pahlawan sebagai peristirahatan terakhir para pejuang. Lha kalau tokoh Belanda dikubur di mana? Apakah dikubur bareng warga pribumi, dipulangkan ke negaranya, atau dibuang ke laut agar dimakan hiu? Memang tidak sedikit warga Belanda yang dikubur dalam lahan kerkhof, namun kalau bicara tentang makam tokoh Belanda yang berkecimpung di perang kemerdekaan maka Ereveld adalah tempatnya.
Ereveld merupakan kompleks kuburan yang dikelola oleh yayasan makam kehormatan Belanda yakni Oorlogs Graven Stichting (OGS). OGS memelihara lebih dari 50.000 makam korban perang di seluruh dunia yang tewas dari periode Mei 1940. Di Indonesia terdapat nyaris 25.000 makam korban perang dari pihak Belanda. Di luar itu masih ada kisaran 130.000 korban perang yang tidak bermakam. Dari angka 25.000 korban tadi 80%-nya adalah warga sipil pria, wanita, dan anak yang dimakamkan di tujuh Ereveld. Ketujuh Ereveld tersebut adalah Ereveld Menteng Pulo dan Ancol (Jakarta), Kalibanteng dan Candi (Semarang), Pandu (Bandung), Leuwigajah (Cimahi), dan Kembang Kuning (Surabaya).
Sebelum bertempat di tujuh ereveld, dahulunya para korban dikuburkan di 22 makam kehormatan Belanda yang tersebar di berbagai wilayah dan dibangun oleh dinas pemakaman tentara Kerajaan Hindia Belanda dalam periode 1946-1959. Di dekade 1960-an baru dilakukan pengumpulan makam ke tujuh ereveld yang berpusat di pulau Jawa. Usai terbangun ereveld, pihak Belanda fokus pada perawatan makamnya. Dilihat dari kondisi fisiknya, ketujuh ereveld terletak pada lahan luas dengan keadaan yang sangat terawat. Kesan angker tidak tampak di sini. Justru nuansa asri, sejuk, dan indah yang dominan sebab rupa makamnya dibuat nyaris seragam dengan jarak antar makam yang teratur serta ditambah dengan konsep taman berhamparan rumput hijau yang indah.
Berbeda dengan konsep kerkhof yang memiliki bangunan besar di atas tanah, makam di ereveld umumnya hanya ditandai dengan berdirinya banyak nisan berwujud patok salib putih bertuliskan nama mendiang dan tanggal lahir serta meninggalnya. Jika patok salib polos merupakan penanda bahwa yang dimakamkam adalah orang Kristen, patok dengan rupa lain juga membantu kita untuk mengenali agama yang dikuburkan. Patok salib berhias digunakan untuk makam Katolik, patok berbentuk mirip kubah masjid untuk makam Islam, hingga patok bintang segi enam untuk makam Yahudi. Untuk makam yang tidak diketahui identitasnya ditulisi Onbekend alias tidak dikenal.
Pengelolaan ereveld berada di bawah yayasan OGS yang berpusat di Den Haag. Di Indonesia terdapat kantor cabang yang berada di Kebayoran Baru. Perawatan lapangan dikoordinir oleh setiap opzichter (pengawas) yang bertanggung jawab agar kondisi makam tetap terawat dan terjaga. Mengenai susunan kompleks ereveld kita dapat melihat isi Ereveld Menteng Pulo sebagai contoh. Di sana terdapat lahan makam, monumen, prasasti, gereja Simultan, taman, lonceng tua, dan columbarium (tempat khusus untuk menyimpan guci abu jenazah). Beberapa tokoh yang dimakamkan namanya cukup tenar dan mungkin pernah kita baca di buku Sejarah. Misalnya adalah Simon Hendrik Spoor, Thomas Karsten, dan Charles Prosper Wolff Schoemaker. Tokoh yang tenar dalam Pertempuran 10 November yakni A.W.S. Mallaby juga disemayamkan tidak jauh dari ereveld Menteng Pulo, tepatnya di kompleks yang bersebelahan dengan lahan makam tersebut.
Di sana juga terdapat kompleks pemakaman prajurit Inggris yang menjadi korban perang. Berbeda dengan ereveld, kompleks ini dikelola oleh Commonwealth War Graves Cemetery (CMGC). Secara umum, yang dimakamkan di ereveld tidak seratus persen orang Belanda. Terdapat pula orang-orang Indonesia seperti Achmad Mochtar (ilmuwan yang menjabat sebagai direktur Lembaga Eijkman dan tewas di tangan tentara Jepang) hingga warga lokal yang tergabung dalam pasukan KNIL.
Ereveld terbuka untuk dikunjungi masyarakat umum, baik bagi yang hendak berziarah atau yang hendak belajar sejarah. Setiap tahunnya pada tanggal 27 Februari, ereveld Menteng Pulo dan Kembang Kuning mengadakan peringatan Pertempuran Laut Jawa yang dihadiri pada diplomat hingga keluarga korban perang. Adanya ereveld yang kini juga menjadi bagian dari bangunan cagar budaya ini mengajak kita untuk merenungi peristiwa sejarah bangsa dan mengambil hikmahnya di masa kini. Ereveld menjadi penanda bahwa pertempuran sejatinya tidak berdampak positif bagi kedua pihak yang berseteru. Perdamaian dunia yang indah lah yang menjadi dambaan setiap orang.
BACA JUGA Betapa Gobloknya Orang-orang yang Memuji dan Minta Maaf ke Daendels dan tulisan Christianto Dedy Setyawan lainnya.