Dalam perjalanan cinta saya, makam pahlawan pernah menjadi saksi betapa kisah saya begitu amburadulnya.
Banyak orang yang bilang romantisasi Jogja itu sudah berlebihan. Akun-akun centang biru pemuja keromantisan Jogja dianggap sebagai akun buzzer yang toxic-nya sundul langit. Tentu saja maksudnya toxic bagi masyarakat Jogja secara khusus. Namun, merupakan keuntungan bagi wisatawan dan pemerintahan, dan itu sah-sah saja menurut saya.
Saya mungkin adalah orang yang tidak mengenal Jogja dari sudut pandang romantis secara spesifik. Sama halnya seperti wisatawan pada umumnya.
Saya merasakan bahwa segala sudut Jogja adalah keromantisan (atau itu hanya sugesti untuk saya) ketika saya mulai merasakan jatuh hati kepada seorang wanita yang adalah murid saya sendiri di bela diri taekwondo. Berasal dari sekadar bertemu di tempat latihan, lanjut ketika saya sering sekali dianterin pulang karena tidak punya kendaraan pribadi.
Rasa cinta mulai tumbuh di relung hati saya. Rasanya agak kagok karena saya menyukai murid saya sendiri. Sangat berbeda 180 derajat ketika saya mendeklarasikan diri tidak akan memacari murid saya saat menyandang black belt.
Namun, siapa yang mau mendebat sebuah entitas bernama cinta? Jika ada satu hal di dunia ini yang tidak ada dalam jalur edar pikiran, mungkin saja itu bernama cinta. Hal itu yang saya alami ketika mengetahui saya sedang jatuh cinta.
Berlarut-larut saya mencoba memendam rasa itu agar tidak ada yang tahu. Bahkan setan sekalipun tidak akan menyadari hal itu. Serapat mungkin saya pendam karena saya tidak ingin terjebak rasa cinta kepada murid saya sendiri. Rasanya akan sangat rikuh bagi saya. Menyaksikan orang lain yang mengalaminya saja rasanya saya tidak melihat hal yang nyata. Lha kok ini malah terjadi dengan saya? Rasanya kayak, ah sudahlah.
Sampai pada titik ketika saya tidak bisa lagi menahan perasaan saya. Memutuskan satu hari di bulan Juni sebagai milestone: saya harus menyatakan cinta saya.
Persiapan sudah rampung, rencana sudah matang, tinggal eksekusi aja. Tidak seperti biasanya, saya merasakan hal yang lain kali ini. Walau saya sudah beberapa kali berkencan dan terutama menembak cewek, rasa-rasanya kali ini akan berbeda. Keyakinan saya semakin menguat saat semua hal terlihat akan berjalan sesuai rencana.
Setelah latihan, atau lebih tepatnya saya melatih di dojang (tempat latihan), saya mengajak dia untuk makan ronde di Alun-alun Kidul Jogja. Tempat yang romantisnya tidak ada duanya di Jogja, kata orang-orang. Tempat yang dari dulu sampai saat ini masih menjadi jujukan para wisatawan untuk menghabiskan malam saat berwisata ke Jogja. Padahal, kita tahu sendiri, di sana ya cuma ada dua pohon beringin yang katanya bisa menebak lurus atau tidaknya hati seseorang ketika bisa atau tidak bisa lewat di tengahnya. Ndilalah saya juga tertipu, saat itu.
Di malam yang sama, sebelum benar-benar sampai di Alun-alun Kidul, tempat yang sejak tadi siang saya rencanakan bakal jadi tempat saya menyatakan cinta itu, ban motor yang kami kendarai bocor. Petaka yang jadi penanda petaka lainnya.
Kami mencari tempat tambal ban dengan menyorong motor. Jaraknya sekitar 1 km menuju arah selatan Alun-alun Kidul. Dia mulai terlihat tidak senang dengan kondisi ini. Saya mengerti karena saat itu, waktu menunjukkan pukul 23.00. Rasanya saya mulai gentar. Berulang kali kata “bajingan” memenuhi kepala saya. Kok, ya, nggak bersahabat sekali motor yang jadi tunggangan kami ini.
Selesai menambal, saya masih keukeuh menanyakan ke dia, “Gimana rencana awal kami nongki-nongki ceria di tanah monarki yang romantisnya tidak tanggung-tanggung ini?” Demi melihat kondisi yang sudah masuk tengah malam itu, dia meminta saya agar kami bisa bergegas pulang saja.
Ambyar sudah harapan saya nembak dia di Alun-alun Kidul yang sudah matang-matang saya rencanakan. Rasanya pengin nangis. Akan tetapi, sebagai pria yang tidak pantang menyerah, saya merencanakan dan langsung melaksanakan plan B saat itu juga. Menembak dia saat perjalanan pulang. Dan karena rencana itu dadakan, yang terbersit di kepala saya adalah “tempat sepi” untuk eksekusi rencana menembak. Tentu tidak di pinggir jalan demi menghindari para pemotor mengganggu kekhusyukan kami berdua, terutama motor RX King yang kalau jalan serasa menyeret dua kaleng Khong Guan itu.
Dalam mode panik tersebut, saya memutuskan tempat yang dekat dengan kontrakan saya di Kampung Tahunan. Satu tempat yang menurut saya paling kondusif itu ada di Jalan Soga, pinggir makam pahlawan tempat di mana Jenderal Soedirman dibaringkan untuk selamanya. Saya menyatakan cinta di sana.
Dengan sangat pede tanpa mengingat bahwa saya sedang berada di lokasi paling angker menurut orang-orang. Bagi saya, ketika bersama dia dan di Jogja, semua tempat menjadi romantis. Saya berani bertaruh bahwa beberapa kali Prabu memprotes romantisasi Jogja yang berlebihan itu salah. Memang beginilah Jogja, semua adalah keromantisan. Bahkan kuburan pun jadi tempat romantis ketika itu di Jogja.
Sayangnya, seperti yang saya katakan di atas, hari itu kesialan demi kesialan menemui saya. Termasuk ketika dia tidak menerima pinangan saya karena sedang dekat dengan orang lain yang punya prospek lebih baik dari saya. Apalah saya yang berangkat-pulang latihan saja masih numpang sama dia. Eh kok malah suka? Terlihat sangat tidak tahu diri. Dikasih tumpangan, malah minta jadian. Hahaha.
Belakangan, saya mengetahui fakta menarik perihal dia tidak menerima pinangan saya saat menembak. Salah satunya, fakta bahwa dia merasa disamakan dengan kuntilanak karena saya menembaknya di dekat makam pahlawan. Dia merasa bahwa kejadian penembakan semacam itu hanya ada di film hantu-hantuan dan acara uji nyali di TV.
*Kencan Amburadul adalah segmen khusus, kisah nyata, momen asmara paling amburadul yang dialami penulis Terminal Mojok dan dibagikan dalam edisi khusus Valentine 2021.
BACA JUGA Pengalaman Kencan Buta Pertama Kali: Seru dan Canggung pada Waktu Bersamaan dan tulisan Taufik lainnya.