“Pak, ini benar lokasi penangkaran penyu?”
“Tidak ada penangkaran penyu, Mas, adanya penyelamatan penyu.”
Begitulah awal pembicaraan saya dengan seorang bapak-bapak berambut putih yang belakangan saya ketahui merupakan ketua dari gerakan konservasi penyu di pantai kidul Jogja. Saya memang agak tertarik dengan kegiatan tersebut, pada dasarnya sih tertarik dengan kegiatan yang punya embel-embel pelestarian lingkungan, yang pada akhirnya membuat saya mengunjungi tempat tersebut.
“Pak, bisa lihat lokasi penyelamatan penyu?” Saya melanjutkan bertanya.
“Sudah dilepas semua, Mas, sekarang sudah tidak ada”, jawab bapak-bapak tadi dengan cuek.
Saya menganggap cuek karena beliau tidak menghadap ke saya ketika ngobrol, dan memilih fokus pada kegiatan mencuci motornya. Awalnya saya punya bayangan kalau orang yang peduli lingkungan pasti ramah dan menyenangkan ketika diajak ngobrol.
Namun, saya berhusnudzon kalau ada sebagian orang yang mencuci motor harus dengan konsentrasi penuh dan tanpa gangguan, paling tidak, saya percaya Bapak tadi adalah penganut sekte tersebut sehingga tidak mau diganggu. Akhirnya saya meninggalkan beliau dan mencari warga lain untuk bertanya.
Tidak jauh dari sana, saya melihat gerombolan bapak-bapak yang duduk di dekat warung. Tanpa tedeng aling-aling langsung saya samperin dan tanya-tanya seputar konservasi penyu.
Dari penjelasan bapak yang ini (sebut saja pak Bambang), saya mendapat pencerahan kalau memang saat ini semua penyu sudah dilepas ke laut. Saya baru tahu ternyata penyu bertelur setahun sekali. Dan sekarang bukan musim bertelur.
Pak Bambang (bukan nama sebenarnya) bercerita banyak hal tentang dunia perpenyuan. Ada dua poin menarik dari pembicaraan tersebut. Pertama, tentang siklus hidup penyu. Banyak hal yang beliau ceritakan, mulai dari tempat bertelur penyu yang selalu sama, sampai cara penyu menyembunyikan telurnya.
Yang menarik adalah fakta bahwa penyu membutuhkan 15 tahun untuk bisa bertelur, itupun hanya bisa bertelur sekali dalam setahun. Yang mana ketika telur tersebut menetas, persentase keberhasilan hidup penyu sangatlah rendah. Beliau mengatakan dari seratus penyu, lima saja yang bisa hidup sampai bertelur itu sudah bejo. Ini menjawab pertanyaan saya kenapa penyu begitu dilindungi padahal jumlah telur yang dihasilkan oleh indukannya sekitar seratus telur lebih.
Faktor alam sangat berpengaruh atas kematian penyu, mulai dari ikan predator, sulit mencari makanan, sampai tertangkap jaring nelayan. Pak Bambang mengatakan kalau kehidupan penyu itu sudah cukup menderita, maka dari itu jangan lagi diburu agar anak-anak kita tetap bisa melihat makhluk mungil ini secara langsung.
Kedua, beliau cerita tentang masalah internal. Ini cukup membuat saya sedih. Menurut pengakuan Pak Bambang, kegiatan konservasi penyu ini dimulai dari inisiasi warga sekitar, namun dalam perkembangannya ada gerombolan orang luar daerah yang ikut masuk untuk mengelola.
Awalnya gerombolan orang tersebut cukup berperan dalam upaya branding dan pencarian dana. Ini membuat konservasi penyu di pantai tersebut lumayan dikenal. Laba dari kegiatan tersebut pun dibagi ke masyarakat sebagai bentuk kerja sama dan dalam upaya membantu perekonomian warga setempat.
Sebenarnya kegiatan ala-ala pelestarian lingkungan ini cukup lumayan kalau dilihat dari segi bisnis.Ya, gimana, dalam satu acara pelepasan penyu saja, peserta yang ikut harus membayar 30-50 ribu untuk satu ekor penyu yang dilepaskan. Nah, satu ekor penyu yang bertelur bisa menghasilkan seratus butir telur lebih, dan tentu saja tidak hanya satu ekor penyu yang bertelur di wilayah konservasi tersebut. Anggap saja ada 15 penyu. Kalikan saja hasilnya.
Jumlah tersebut sedikit banyak akan membantu perekonomian warga setempat jika dikelola dengan baik. Namun, sialnya, setelah konservasi tersebut berkembang dan mendapat cuan yang cukup lumayan, transparansi dana pun tidak dilakukan lagi. Warga sekitar hanya ditugaskan sebagai pencari telur penyu dan dihargai dua ribu rupiah saja setiap satu telurnya. Sisanya diurus oleh gerombolan tersebut.
Pak Bambang mengatakan kalau dalam masalah cuan, hanya ada satu warga lokal yang dilibatkan, beliau menyebutkan nama dan ciri-ciri yang ternyata adalah bapak rambut putih yang tadi saya temui sedang berkontemplasi mencuci motor. Sontak saya mbatin, “Ini sebenarnya penyelamatan penyu atau penyelamatan keuangan pribadi, ya?”
Mencari cuan memang bukan perkara mudah, banyak hal dilakukan demi mendapatkannya. Beberapa di antaranya bahkan tidak bermasalah menggunakan cara kotor seperti penipuan, pencurian, penimbunan, sampai korupsi. Namun, bagi saya, yang paling buruk dari itu semua adalah orang yang mencari cuan sambil memakai topeng pelestarian lingkungan. Ibarat memakai jubah malaikat untuk melakukan tindakan iblis. Agaknya Menteri yang korupsi bansos bakal insecure dengan Anda.
Keluhan Pak Bambang ini tentu saja mengobrak-abrik keyakinan saya akan kebaikan pecinta lingkungan. Saya menduga hal seperti ini juga dilakukan di beberapa komunitas pecinta lingkungan lainnya (tapi jangan bilang siapa-siapa). Meski saya juga yakin tidak semua seperti itu.
Apakah pencarian cuan dengan kedok pelestarian lingkungan itu salah? Jelas salah. Namun, itu tetap lebih baik karena secara tidak langsung, lingkungan juga bisa sedikit lestari. Dan upaya itu juga berkali-kali lipat lebih baik daripada saya yang hanya bisa melihat fenomena ini terjadi dan tidak melakukan apa-apa. Dunia tidak sekadar hitam putih, dan terkadang bagian abu-abu itulah yang membuat kita terjebak pada pertanyaan.
Panjang umur perjuangan~
BACA JUGA Bagi Saya, Lamongan Adalah Bali Versi Lite dan tulisan M. Afiqul Adib lainnya.