Apa yang ada di benak kita ketika membicarakan film India? Tidak jauh dari joget-joget, bertele-tele, dan durasinya yang terlalu lama dibandingkan film luar lainnya. Namun, yang jelas itu tidak pernah menyurutkan kekaguman saya atas film-film India. Pasalnya, ia sering kali mengangkat isu-isu sosial hingga politik layaknya musik-musik Indonesia pada masa orde baru.
Ketika orang minta rekomendasi film ke saya, dengan tegas nan lugas pasti saya akan merekomendasikan salah satu film India yang saat itu juga terlintas di pikiran. Bajrangi Bhaijaan barangkali menjadi film yang sering saya rekomendasikan ke orang lain.
Bukan tanpa alasan, film itu berhasil menguras habis tenaga saya entah untuk tertawa, kagum, bahkan menghabiskan tisu di meja kerja. Bahkan terakhir kali nonton film itu bareng teman-teman, saya justru tidak bisa lagi nangis saking tidak bisa menahan ketawa karena teman-teman saya justru nangis sambil teriak-teriak bak anak kecil meronta minta dibelikan es krim.
Masih banyak film India lainnya yang menurut saya bagus, banyak pelajarannya, dan sudah banyak dikenal khalayak umum seperti 3 Idiots, Lagaan, Taare Zameen Par, Barfi, Dangal, Peekay, Andhadhun, dan lain sebagainya. Hampir semua film India bagi saya selalu punya korelasi kuat dengan kehidupan di Indonesia. Makanya tidak jarang saya menaruh curiga, jangan-jangan emang film India diproduksi untuk menyindir Indonesia.
Film India yang terakhir saya tonton adalah Johaar. Film ini dirilis bulan Agustus tahun 2020 lalu. Setelah menontonnya, saya justru menjadi semakin cemas kalau film India semakin sulit laku di Indonesia. Lantaran Johaar menurut saya memperpanjang daftar film India yang patut diduga paling berkorelasi dengan sadis nan beringas menyindir Indonesia.
Bagaimana tidak, film Johaar mengangkat banyak isu yang sangat relevan di kehidupan Indonesia. Biasanya film India cuma mengangkat satu hingga tiga isu utama, ini lima isu bahkan lebih sekaligus! Lantaran tidak mungkin saya tuliskan semua, maka akan saya coba beberkan beberapa hal saja, tentu dengan menaruh penuh kecurigaan dan dugaan.
#1 Atlet potensial yang tak terfasilitasi
Digambarkan dalam film tersebut seorang anak (sebut saja si A) yang ikut banting tulang membantu ayahnya menjadi pemeran sirkus jalanan. Lantaran kebiasaannya selain bermain sirkus ialah lari, tak jarang A mengikuti arahan pelatih atlet dari kejauhan dan berlari layaknya atlet lain yang berada di trek lari.
Sampai sang pelatih pun dibuat terkesima kemudian membinanya hingga pada akhirnya A berhasil masuk ke semacam pelatihan untuk ajang olimpiade. Lalu, A diserahkan ke pelatih barunya di kamp pelatihan.
Si A ini dikeluhkan manajemen pelatihan karena asupan kalsiumnya yang kurang hingga berakibat kurang bagus kondisi tubuhnya. Namun, anehnya ketika di kamp pelatihan si anak justru diberikan asupan apa adanya, sampai pada akhirnya si anak ini mendatangi pelatih barunya kemudian menampar pelatihnya di depan teman-temannya. *Plakkk!!!* Telak sekali, Bung!
Si A emosi sembari menyampaikan keluhannya terkait asupan selama pelatihan yang diabaikan karena dana pelatihan sebagian dimakan oleh manajemen kepelatihannya. Sambil bergegas pergi karena malu, sang pelatih membalasnya dengan mengancam A. Benar saja, A jatuh tumbang di medan perlombaan karena kondisi fisiknya tidak fit.
Isu atlet dalam film Johaar menjadi pembuka sentilan kecil kepada negara melalui Kemenpora. Kemenpora India, sih, maksudnya. Tenang, semoga saja hal itu tidak pernah terjadi di Indonesia, ya. Kan gawat nanti kalau sampai ada yang kesindir beneran lalu mengangkat isu perlawanan terhadap film India dengan dalih tidak nasionalis seperti yang sudah-sudah. Eh.
#2 Pendidikan menjadi pilihan investasi yang jarang diperhatikan
Isu pendidikan dalam film Johaar disampaikan melalui si anak (sebut saja B) yang tinggal di daerah lokalisasi PSK. Setiap hari B kesulitan konsentrasi belajar karena mendengar desahan ibunya yang sedang melayani pelanggan. Setiap hari pula B berada di bayang-bayang ketakutan karena digadang-gadang oleh ibunya untuk dijadikan pengganti posisinya setelah pubertas nanti.
Sampai pada satu pagi, B bangun tidur dengan darah di kasurnya sebagai penanda ia sudah pubertas. Panik bukan main, B memilih kabur dari rumah dan hidup bersama teman laki-lakinya yang kemudian ia cintai juga.
Pada mulanya B berhasil mendapatkan beasiswa untuk sekolah barunya, tapi nahas, beasiswa tersebut hanyalah prank pemerintah semata. Sedangkan teman yang ia cintai membantunya dengan berjualan teh susu, tak kalah nahas, ia dituduh terlibat perdagangan narkoba dan usahanya ikut hancur.
Di satu malam, B dan temannya ini terlibat pertengkaran hebat di tengah jalan karena kesalahpahaman yang mengakibatkan teman B tertabrak truk lalu divonis koma dan kecil kemungkinan untuk selamat. Si B yang tidak sanggup membiayai sekolah seorang diri ditambah harus kehilangan orang yang ia cintai, entah bagaimana nasib pendidikannya.
Mengerikan ya, kalau kata Prof Tadjuddin Noer, pendidikan ialah unsur penting dan menjadi fondasi penting pembangunan suatu negara. Tapi sayang, barangkali kita belum khatam soal ini, makanya sampai disampaikan melalui film gini. Pendidikan menjadi investasi penting itu memang benar, tapi Anda hidup di mana dulu? Kan, gitu.
#3 Pertanian, sanitasi, dan kesehatan yang terabaikan
Pangan menjadi unsur mutlak kebutuhan manusia, terutama melalui pertanian. Begitu juga dengan kesehatan. Diceritakan dalam film Johaar, sosok ibu dan anak (sebut saja C) semata wayangnya berjuang mati-matian hidup di daerah yang mengandung air beracun.
Ibu C berprofesi sebagai petani, sedangkan C punya cita-cita besar menjadi seorang ilmuwan hingga bisa membuat irigasi serta sanitasi air yang baik dan menghentikan momok air beracun di kampungnya itu yang membuat ayahnya meninggal.
Tak selang lama kemudian, C jatuh sakit dan divonis menderita penyakit sama seperti ayahnya yang membuatnya meninggal. Berita itu menjadi pukulan telak bagi ibunya. Si C musti menjalani cuci darah rutin.
Pada saat musim panen, malangnya sawah yang siap panen milik ibunya justru terendam banjir karena lagi-lagi soal irigasi hingga menyebabkan ibunya kesulitan membiayai pengobatan, dan berakhir C meninggalkan ibunya selamanya.
Tragis, barangkali jadi satu kata paling pantas untuk menggambarkannya. Membayangkan lagi itu sungguh terjadi di suatu negara. Untuk meminimalisir terjadinya hal yang serupa, bisa saja kementerian yang berkaitan berkolaborasi supaya tidak terjadi hal demikian.
Jelas, kalau di Indonesia hal tersebut (kesinambungan pertanian, sanitasi, dan kesehatan) sudah tertangani dengan baik. Coba tanya saja ke petani di daerah bantaran sungai jalan pantura Demak.
#4 Veteran terlupakan dan hak memiliki tempat tinggal
Terakhir, film Johaar juga mengangkat isu veteran yang dilupakan. Kakek yang menjadi veteran ini tinggal di gubuk penyot dan atapnya bocor di mana-mana ketika hujan turun. Padahal kakek ini punya jiwa yang mulia selain perjuangannya di masa lampau. Ia menampung anak-anak tuna wisma dan mendidik mereka hingga ada yang mencapai perguruan tinggi.
Malangnya, beberapa kali mengajukan dana bantuan untuk perbaikan rumah justru ditawari suap supaya bantuan segera diproses. Batin saya, “Wah film iki suwe-suwe ngawur tenan, ha kok persis karo negoro kono kae!”
Tak lama kemudian rumahnya roboh karena sudah tidak mampu menahan derasnya air dan anak-anak yang ditampung veteran ini menjadi korban runtuhannya. Lantaran iba dengan kondisi anak asuhnya, akhirnya si kakek menggunakan cara dengan memanfaatkan asuransi kecelakaan supaya mendapatkan uang.
Ia meninggalkan amplop asuransi di depan rumah lalu pergi ke jalan raya dan “duaaarrr”, kecelakaan terjadi.
Kira-kira isu-isu tersebut yang dibawakan dalam film Johaar. Kalian bisa menganalisisnya lebih jauh dengan menontonnya sendiri. Mengerikannya lagi, isu-isu tersebut diangkat untuk mempertanyakan isu utama yaitu pembangunan yang membuang begitu banyak dana sehingga memaksa pemangkasan dana pada sektor-sektor fundamental lainnya.
Loh, kok? Loh, kok? Alhamdulillah, dugaan saya salah. Jelas, bukan Indonesia banget, sih, ini.
Konon, film Johaar diangkat untuk mengkritik pemerintah India atas pembangunan patung tertinggi di dunia yang diresmikan di negara bagian Gujarat pada 2018 lalu. Patung berketinggian 182 meter tersebut menghabiskan dana 30 miliar rupee. Gileee!!!
Kan, nggak perlu suuzan ke film India, ya! Itu mengkritik pemerintah India, kok, bukan Indonesia. Di awal film-film India juga selalu dituliskan kurang lebih, “Jika ada kesamaan tempat, nama, dan juga cerita adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.” Waduh, kok, ada Tukang Baks….
BACA JUGA Polisi di Kampung Saya Nggak Kayak Inspektur Vijay di Film India dan tulisan Fernando Galang Rahmadana lainnya.