Urgensi paling umum yang digembar-gemborkan pemerintah ketika menunjuk Raffi Ahmad sebagai perwakilan manusia dari kalangan anak muda yang disuntik vaksin pertama kali adalah guna menginspirasi milenial. Namun, rasa-rasanya hal tersebut nggak bakal menginspirasi siapapun alih-alih hanya memperlihatkan kelemahan pemerintah dengan gamblangnya.
Getaran tangan dokter yang menyuntik Jokowi memang menarik diperbincangkan, namun betapa pentingnya seorang artis dan influencer bernama Raffi Ahmad sebagai orang kedua yang divaksin setelah orang nomor satu di Indonesia juga menarik untuk dipikirkan, mengapa harus Raffi?
Ketika saya melihat berbagai argumen yang berseliweran soal betapa akan berpengaruhnya seorang Raffi Ahmad jika ia menjadi corong suara pemerintah untuk menyukseskan vaksinasi di Indonesia. Saya melihat ada sesuatu yang aneh.
Pertama, memang iya Raffi adalah influencer nomor satu di Indonesia dengan jumlah followers Instagram sebanyak 49,4 juta dan subscriber YouTube sebanyak 19 juta. Tapi, apakah pemerintah tidak lebih gagah dari seorang Raffi Ahmad? Tidakkah Jokowi seharusnya lebih punya daya influence yang lebih masif karena beliau presiden ketimbang seorang artis? Sebegitu takutnya kah pemerintah melihat ketidakpedulian rakyat kepadanya sampai harus menggandeng influencer yang memiliki pengikut yang lebih sedikit dari pemerintah? Ya, sebanyak-banyaknya followers Raffi, tidak lebih banyak dari jumlah rakyatnya pemerintah.
Kedua, jika pemerintah ingin menunjukkan kekuasaan dan kesolidannya alih-alih pamer kreativitas sambil menunjukkan kelemahannya. Bukankah Raffi Ahmad sungguh sangat tidak penting ketimbang para tenaga kesehatan yang berjibaku di luar sana. Di sana ada petugas kebersihan rumah sakit, dokter, sampai perawat yang sebenarnya lebih penting daripada Bapak Rafathar itu untuk disuntik vaksin.
Saya paham maksud pemerintah menggandeng Raffi Ahmad selain ingin menyimbolkan sesuatu, pemerintah juga ingin agar para fans Raffi yang konon katanya banyak itu mau untuk divaksin. Hitung-hitung sebagai sebuah langkah strategis melawan golongan penolak vaksin, pemerintah mungkin menganggap Raffi Ahmad seperti seorang mesias yang bisa membawa umatnya untuk bergerak ke jalan kebaikan.
Saya akui dan apresiasi, selama Covid-19 menerpa Indonesia, pemerintah sudah menunjukkan berbagai kreativitasnya. Mulai dari gonta-ganti istilah PSBB sampai PPKM, berbagai kebijakan menterinya, keputusan presidennya, hingga pada akhirnya membuat rakyatnya perlahan cuek bebek akibat pemerintah yang kelewat kreatif membuat kebijakan. Kreativitas dari pemerintah ini memang bagus, tapi kalau kelewatan kreatif ya jadinya seperti sekarang. Jumlah kasus positif terus bertambah sedangkan berbagai pendekatan seolah mentah tak bertuah.
Ketimbang berorientasi popularitas, bukankah lebih baik pemerintah berorientasi humanis dalam proses penyuntikan perdana vaksin? Suntik saja sopir ambulans, para tukang gali kubur, dokter, cleaning service rumah sakit yang pada kenyataannya lebih berisiko terpapar ketimbang Ariel Noah, Bunga Citra Lestari, bahkan kalau perlu seluruh pemain Ikatan Cinta juga baiknya disuruh vaksin duluan demi menginfluence para penontonnya di seluruh Indonesia. Saya yakin ibu-ibu seluruh Indonesia akan teriak, “aduhhh, Mas Aaal.”
Kebiasaan mengutamakan budaya puja dan puji alih-alih berorientasi pada konteks yang paling membutuhkan benar-benar menunjukkan wajah pemerintah selama pandemi ini. Pemerintah semacam kehilangan wibawa ketika berhadapan dengan para influencer yang punya berbagai pemikiran aneh selama pandemi ini dan pada akhirnya memilih jalan pintas dengan mengcounter lewat sesama influencer. Dengan potongan biaya yang nggak murah serta menciptakan siklus influencer oriented yang di mana seolah-olah influencer adalah jawaban atas semua masalah selama pandemi ini sungguh sangat tidak baik.
Kreativitas yang dilakukan pemerintah dengan menjadikan Raffi Ahmad sebagai orang kedua setelah Jokowi memang nampak bagus dan keren, namun juga menunjukkan bahwa pemerintah punya banyak pekerjaan rumah menyoal kepercayaan rakyat kepadanya.
Seandainya tanpa seorang influencer, Pak Jokowi sebenarnya bisa bikin gerakan yang bisa membuka mata masyarakat di gelaran perdana penyuntikan vaksin. Misal dengan bikin gerakan 1.000 dokter di seluruh Indonesia disuntik vaksin bareng Pak Jokowi. Atau bikin gerakan 1 juta tenaga kesehatan disuntik vaksin yang disiarkan streaming di tempat masing-masing. Selain lebih urgent, gerakan tersebut juga tepat sasaran. Bukannya para artis yang setiap hari cuma pakai face shield doang dan di luar kamera malah asyik ngumpul-ngumpul bikin kerumunan.
Apa yang dilakukan pemerintah memang tidak seratus persen salah. Saya paham bahwa itu adalah sebuah langkah yang coba dilakukan pemerintah demi rakyatnya. Namun mau sampai kapan pemerintah memilih menyerahkan kepopulerannya kepada seorang Raffi Ahmad dan influencer lainnya? Sampai kapan semua masyarakat lebih percaya kepada influencer ketimbang presidennya sendiri?
Lagipula penyebutan Raffi Ahmad sebagai representasi anak muda itu menurut saya kurang tepat. Pemerintah seharusnya lebih up to date dengan menggandeng orang-orang seperti Pamungkas, Nadin Amizah, Hindia, hingga Feast yang kemudaan mereka sungguh bikin kebas golongan tua.
Jika semakin hari pemerintah semakin bergantung pada influencer, bukan tidak mungkin lama-lama pekerjaan influencer dapat dikategorikan sebagai Pegawai Negeri Sipil saking berpengaruhnya bagi pemerintah dan bangsa ini.
Saya akui kreativitas pemerintah menggandeng Raffi Ahmad saat penyuntikan vaksin perdana diawali dengan niat yang baik. Namun, kreativitas itu sungguh tidak mempertimbangkan urgensi utama alih-alih seperti hanya ingin membuat kesan untuk seluruh fans Raffi Ahmad.
Iya saya tahu fans Raffi Ahmad itu banyak, cuma masa sih jumlah fans pemerintah kalah sama fansnya Raffi Ahmad? Fans pemerintah kan seharusnya lebih banyak?
Kalau dikit-dikit mengandalkan Raffi Ahmad atau influencer, bukan nggak mungkin di Pilpres 2024 nanti Raffi Ahmad sadar bahwa dirinya layak jadi presiden karena ia merasa punya banyak followers. Ia tahu, cukup dengan modal terkenal ia bisa menggerakkan rakyat dan dengan modal kepopuleran serta punya banyak followers maka semua masalah bisa teratasi. Jika semakin hari peran influencer semakin berpengaruh, ada baiknya Pak Jokowi bikin kementerian Influencer dengan mengangkat Raffi Ahmad jadi menterinya. Mungkin dengan begitu masyarakat akan respek kepada pemerintah, atau mungkin sebaliknya, bakal semakin kagum melihat betapa kreatifnya pemerintah memperlihatkan kelemahannya.
BACA JUGA Cari Film Mirip Crows Zero? Coba High&Low dan artikel M. Farid Hermawan lainnya.