Purwokerto, kota kecil di Jawa Tengah yang sedang naik daun. Selain dianggap banyak orang kota ideal untuk menghabiskan masa tua. Kota ini juga ternama akan kekayaan kuliner dan wisatanya. Sebut saja, mendoan dan soto sokaraja yang bikin ketagihan. Untuk wisata, Purwokerto terkenal akan Gunung Slamet yang megah dan salah satu “gerbang” menuju kawasan wisata Baturraden yang terkenal itu.
Akan tetapi, di balik segala pesona yang dimiliki Purwokerto, ada beberapa hal yang bikin wisatawan geleng-geleng kepala. Saya jadi berpikir 2 kali sebelum mampir ke kota yang terkenal akan julukan Kota Satria ini.
#1 Jalan Sudirman Purwokerto yang macet
Kota mungil ini ternyata mulai macet, tepatnya di Jalan Sudirman Purwokerto. Jalan ini memang jantungnya kota. Namun, sebagai wisatawan, tidak saya sangka macetnya akan begitu menyebalkan bak kemacetan di kota besar Jakarta dan Surabaya.
Jalan Sudirman adalah jalur utama yang menghubungkan berbagai titik penting di Purwokerto. Masalahnya, jalan ini tidak cukup lebar untuk menampung volume kendaraan yang terus meningkat. Pagi dan sore hari, siap-siap aja untuk merangkak seperti siput. Perjalanan yang seharusnya cuma 10 menit bisa jadi 30 menit bahkan lebih.
Saya pernah terjebak macet di Jalan Sudirman waktu mau ke Baturraden. Ternyata tetap aja macet. Penyebabnya beragam, ada angkot yang berhenti sembarangan untuk ngetem penumpang, ojek online yang parkir di pinggir jalan, sampai pedagang kaki lima yang jualannya nyaris masuk ke badan jalan. Belum lagi parkir sembarangan yang bikin jalan makin sempit.
#2 Transportasi umum yang jadul dan nggak nyaman
Kalau kamu terbiasa dengan transportasi umum modern seperti TransJakarta atau MRT, bersiaplah untuk time travel ke era 90-an kalau naik angkot di Purwokerto. Angkotnya kebanyakan sudah tua dengan kondisi yang jauh dari kata layak. Cat mengelupas, jok sobek-sobek, sampai knalpot yang berisik dan mengeluarkan asap tebal.
Yang lebih bikin naik darah adalah cara operasionalnya. Supir angkot sering ngetem di sembarang tempat sambil nunggu penumpang penuh. Mereka juga sering berhenti mendadak tanpa peduli ada kendaraan lain di belakangnya.
Saya pernah naik angkot dari terminal ke arah Alun-alun. Perjalanan yang seharusnya 15 menit jadi 45 menit karena driver ngetem di setiap lokasi strategis. Ditanya kapan jalan, jawabnya santai, “Sabar Mbak, nunggu penuh dulu.”
Rutenya juga tidak mencakup banyak destinasi wisata. Kalau mau ke Baturraden, angkot tidak sampai ke lokasi. Kamu harus transit berkali-kali atau akhirnya nyerah dan naik ojek online yang harganya bisa lebih mahal.
#3 Jalanan ke Baturraden bikin Jantung Deg-degan
Baturaden memang destinasi wisata andalan Purwokerto. Tapi, perjalanan menuju Baturraden itu cerita lain. Jalanannya cukup menanjak dan berkelok-kelok. Kalau kamu tidak terbiasa berkendara di jalanan pegunungan, siap-siap buat cengkraman setir yang lebih kuat.
Yang lebih menyebalkan, lalu lintas di jalur ini sering padat merayap, terutama saat akhir pekan atau hari libur. Banyak kendaraan dari luar kota menuju Baturraden, ditambah kendaraan lokal, bikin jalanan penuh sesak. Perjalanan yang seharusnya 30 menit bisa jadi satu jam lebih.
Saya pernah naik ke Baturraden pas long weekend. Macetnya luar biasa. Dari bawah sampai atas cuma merangkak. Yang bikin tambah lelah, banyak pengendara motor yang nyelip-nyelip sembarangan.
Belum lagi soal parkir di area wisata Baturaden. Saat hari libur, lahan parkir cepat penuh dan kamu harus parkir jauh dari lokasi. Terus jalan kaki lumayan jauh dengan medan yang naik turun. Capek sebelum sampai destinasi wisata.
#4 WiFi dan sinyal internet ngadat
Di era digital ini, internet sudah jadi kebutuhan primer. Sayangnya, kalau kamu berharap bisa update Instagram story atau cek Google Maps dengan lancar di Purwokerto, bersiaplah untuk kecewa.
Sinyal internet di beberapa area Purwokerto, terutama yang agak jauh dari pusat kota sering tidak stabil. Apalagi kalau kamu ke daerah Baturraden atau spot wisata lain yang lokasinya di pegunungan. Sinyal bisa hilang timbul atau bahkan hilang total.
Saya dan teman-teman pernah rencana mau video call sambil jalan-jalan di sekitar Curug Cipendok. Begitu sampai lokasi, sinyal langsung hilang. WiFi di kafe atau restoran pun tidak semuanya memadai. Beberapa tempat punya WiFi tapi kecepatannya lambat banget.
Yang lebih parah, beberapa penginapan atau homestay di area wisata tidak punya WiFi sama sekali. Atau kalaupun ada, sinyalnya lemah dan cuma bisa dipakai di area tertentu. Jadi kalau kamu tipe orang yang tidak bisa lepas dari internet, Purwokerto bisa jadi mimpi buruk.
#5 Pilihan kuliner Purwokerto di malam hari terbatas
Satu hal yang cukup mengejutkan dari Purwokerto adalah betapa sepinya kota ini di malam hari. Kalau kamu terbiasa dengan kota yang hidup 24 jam, Purwokerto akan terasa seperti kota hantu setelah jam 9 malam.
Memang ada beberapa angkringan atau warung makan yang buka sampai larut. Tapi, pilihannya sangat terbatas dan kebanyakan ada di area tertentu saja. Kalau kamu nginep di hotel yang agak jauh dari pusat kota dan kelaparan tengah malam, ya sudah, terpaksa masak mie instan di kamar. Saya pernah mencari makan malam selepas jam 23.00 setelah perjalanan jauh. Ternyata hampir semua restoran dan warung sudah tutup. Hanya warung pinggir jalan dengan budget seadanya yang buka.
Kafe atau tempat nongkrong malam juga tidak sebanyak di kota besar. Beberapa kafe tutup jam 10 malam, ada yang sampai jam 11, tapi setelah itu ya sudah. Kondisi semacam ini cocok buat orang yang suka suasana tenang dan tidur cepat. Tapi, buat anak muda atau wisatawan yang biasa dengan nightlife yang ramai, Purwokerto bisa terasa membosankan di malam hari.
Jadi, itulah 5 hal menyebalkan di Purwokerto. Wisatawan seperti saya jadi mikir dua kali sebelum berkunjung lagi. Ini bukan berarti Purwokerto buruk lho ya. Kota ini tetap punya pesona tersendiri dengan keindahan alam, kuliner enak, dan masyarakat yang ramah. Semoga ke depannya Purwokerto bisa makin berkembang tanpa kehilangan karakternya sebagai kota kecil yang asri dan nyaman.
Penulis: Alifia Putri Nur Rochmah
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Sebagai Orang Surabaya, Saya Lebih Memilih Study Tour ke Malang ketimbang Jogja.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















