Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah yang punya pesona tersendiri. Kota ini punya perpaduan unik antara bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial, kuliner legendaris yang bikin lidah bergoyang, sampai spot-spot kekinian yang instagrammable. Dari Lawang Sewu yang mistis, Kota Lama yang estetis, sampai Lumpia Gang Lombok yang ikonik, itu adalah daya tarik Semarang.
Akan tetapi tunggu dulu. Di balik gemerlapnya Kota Atlas, ada beberapa hal yang sering bikin pengunjung atau bahkan pendatang baru gigit jari. Hal-hal yang nggak pernah muncul di brosur wisata atau konten Instagram para influencer. Beberapa teman saya yang pernah tinggal atau liburan ke Semarang bahkan sampai bilang, “Lain kali mikir ulang deh kalau mau ke Semarang lagi.”
Penasaran apa aja? Ini dia 5 hal menjengkelkan di Semarang yang jarang banget dibahas.
#1 Panas Semarang bikin meleleh, AC wajib nyala 24 jam
Hal pertama yang langsung kerasa begitu kamu tiba di Semarang adalah panasnya yang luar biasa. Serius, ini bukan panas biasa. Ini panas level dewa yang bikin kamu pengin loncat ke kulkas. Suhu di Semarang bisa mencapai 32-35 derajat Celcius, dan itu belum ditambah tingkat kelembapan yang tinggi karena Semarang adalah kota pesisir.
Teman saya yang dari Jakarta, kota yang notabene juga panas, sampai kaget. “Kok panas Semarang beda, ya? Ini panas basah yang bikin lengket dan gerah banget,” katanya sambil geleng-geleng kepala. Dia cerita kalau AC di kosnya nyala 24 jam non-stop. Begitu AC dimatiin, langsung gerah dan nggak bisa tidur.
Lebih menyebalkan lagi, panasnya Semarang konsisten sepanjang tahun. Nggak ada istilah musim sejuk atau dingin di sini. Bahkan waktu musim hujan pun, begitu hujan berhenti, panasnya langsung balik dengan intensitas yang sama. Jadi kalau kamu berharap ada masa-masa sejuk kayak di Bandung atau Malang, lupakan aja.
Akibatnya? Tagihan listrik melonjak gila-gilaan. Kalau kamu tinggal atau menginap di Semarang dan nggak tahan panas, siap-siap aja bujet listrik kamu naik dua kali lipat. AC, kipas angin, bahkan kadang harus nyalain dua-duanya sekaligus biar badan nggak lengket kayak habis berenang.
Belum lagi kalau kamu harus jalan-jalan siang hari. Rasanya kayak lagi jalan di padang pasir. Matahari terik banget, jalanan panas, dan nggak ada tempat teduh yang cukup. Lima belas menit aja jalan di luar, udah gosong kayak ikan bakar.
#2 Tanjakan dan turunan ekstrem yang bikin rem blong
Kedua, Semarang punya topografi yang menantang nyali. Kota ini terkenal dengan julukan “Kota Seribu Tangga” karena konturnya yang naik turun ekstrem. Ada daerah atas (seperti Candi, Ungaran) dan daerah bawah (seperti area pelabuhan dan Kota Lama), dan perbedaan ketinggiannya cukup signifikan.
Bayangin aja, kamu lagi nyetir santai, tiba-tiba ketemu tanjakan super curam yang bikin mobil harus gigi satu. Atau sebaliknya, turunan yang curam banget sampai kamu harus injak rem berkali-kali biar nggak kebablasan. Ini bukan main-main, bahkan ada beberapa tanjakan yang terkenal “killer” seperti Jalan Setiabudi atau Jalan Durian. Saya yang baru pertama kali ke Semarang bawa mobil manual sempat panik waktu ketemu tanjakan di Jalan Candi.
Lebih menyebalkannya lagi, di beberapa tanjakan atau turunan, kondisi jalannya nggak mulus. Ada yang berlubang, retak-retak, atau aspalnya udah aus. Kalau musim hujan, makin licin dan berbahaya. Nggak heran kalau sering denger cerita rem blong atau kecelakaan di turunan-turunan curam Semarang.
Buat yang terbiasa nyetir di jalan datar, Semarang ini ujian banget. Kaki kamu bakal capek injak kopling sama rem mulu. Belum lagi kalau kamu bawa motor, pergelangan tangan berasa mau copot gara-gara harus gas-rem, gas-rem terus sepanjang jalan.
#3 Semarang langganan banjir, bikin jalan macet total
Ketiga, banjir di Semarang itu udah kayak teman akrab. Hampir setiap musim hujan, beberapa titik di Semarang pasti kebanjiran. Mulai dari genangan biasa sampai banjir setinggi paha orang dewasa. Area-area seperti Kaligawe, Muktiharjo, sampai sebagian Kota Lama, jadi langganan banjir tahunan.
Yang bikin kesal, banjir ini nggak cuma bikin jalanan tergenang, tapi juga bikin macet total. Traffic kota lumpuh, orang-orang mencari jalan alternatif yang akhirnya bikin jalan-jalan kecil juga macet. Perjalanan yang biasanya 30 menit, bisa jadi 2-3 jam gara-gara banjir dan macet.
Saya punya teman yang kerja di Semarang. Dia cerita kalau tiap musim hujan harus berangkat kerja ekstra pagi karena takut kejebak banjir. Soalnya mobilnya pernah mogok di tengah jalan gara-gara nekat menerobos banjir.
Banjir di Semarang juga nggak pandang bulu. Bisa datang tiba-tiba kalau hujan deras. Bahkan area yang biasanya aman, bisa mendadak tergenang. Jadi kalau kamu lagi di Semarang pas musim hujan, wajib memantau cuaca dan kondisi jalan. Atau sekalian bawa pelampung. Siapa tahu diperlukan.
Lebih bikin frustasi, masalah banjir ini udah bertahun-tahun tapi solusinya belum maksimal. Sistem drainase yang kurang baik, ditambah rob (banjir air laut) yang sering terjadi di daerah pesisir, bikin banjir jadi masalah yang kayaknya nggak ada habisnya.
#4 Parkir yang semrawut dan mahal bikin emosi
Keempat, masalah parkir di Semarang itu bikin kepala pusing. Cari parkir susah, tapi kalau udah dapet ternyata semrawut dan nggak jelas tarifnya. Belum lagi preman parkir yang kadang seenaknya sendiri.
Di area-area wisata kayak Kota Lama atau Lawang Sewu, soal parkir bisa jadi momok. Saat weekend atau hari libur, tempatnya penuh. Kamu bisa muter sampai 30 menit cuma buat cari parkiran kosong. Kalau sudah dapat, tempatnya sempit, nggak ada marka jelas pula, jadinya kendaraan parkir sekenanya.
Saya pernah parkir di area Simpang Lima. Begitu balik, mobil saya sudah dikepung mobil lain dari segala arah. Saya harus menunggu hampir jam untuk mengeluarkan mobil.
Belum lagi soal tarif parkir yang kadang nggak jelas. Ada yang resmi, ada yang nggak. Tukang parkirnya kadang ngaku-ngaku resmi padahal cuma oknum. Tarifnya? Sesuka mereka. Mau bayar sesuai tarif resmi, mereka jutek atau ngomong ini-itu. Akhirnya mau nggak mau harus mengalah biar nggak ribet.
#5 Makanan Semarang dominan manis yang nggak cocok buat semua lidah
Kelima, cita rasa makanan di Semarang itu cenderung manis. Dari lumpia, bandeng presto, wingko babat, sampai tahu gimbal, semuanya ada sentuhan manis yang dominan. Buat orang Jawa Tengah atau yang udah terbiasa, ini normal dan enak.
Tapi buat orang luar, terutama yang dari Jawa Barat atau Jakarta, ini bisa jadi culture shock kuliner.
Teman saya yang dari Bandung pertama kali coba lumpia Semarang langsung kaget. “Kok ada manis-manisnya, sih?”. Dia juga mencicipi soto Semarang dan tahu gimbal, tetap saja komentarnya sama: ada hint manis di lidahnya.
Saya sendiri pernah makan di warteg di Semarang. Sayur lodehnya manis, tempe oreknya manis, bahkan sambel goreng atinya juga ada manisnya. Kayaknya gula wajib ada di semua masakan. Buat yang doyan manis sih surga, tapi buat yang nggak suka, ini siksaan.
Sekali lagi, artikel ini bukan bermaksud menjelekkan Semarang. Kota ini tetap menarik, tapi penting buat mengetahui realitasnya supaya kamu bisa mempersiapkan diri kalau mau ke sana.
Kalau kamu mau liburan atau bahkan pindah ke Semarang, sekarang kamu sudah tahu tantangan apa aja yang bakal kamu hadapi. Yang penting, tetep enjoy dan ambil sisi positifnya. Setiap kota punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing, termasuk Semarang!
Penulis: Alifia Putri Nur Rochmah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Memilih Kuliah di Semarang Adalah Keputusan Terbaik yang Pernah Saya Buat dalam Hidup.




















