Dari Agustus hingga September, banyak kampus yang melakukan kegiatan ospek bagi mahasiswa barunya. Kegiatan ini (konon katanya) bertujuan agar mahasiswa baru dapat mengenal lingkungan kampus dan membentuk mental serta pola pikir. Ya, walaupun yang terjadi bukan membentuk pola pikir sih, tapi membentuk dendam antargenerasi. Hehehe.
Sebagai mahasiswa IAIN—atau UIN, terserah kalian menyebutnya bagaimana, saya melihat banyak kejanggalan yang terjadi di kampus-kampus Islam. Ospek yang seharusnya menjadi ajang pengenalan justru dibumbui dengan berbagai peristiwa yang mencoreng citra kampus Islam. Prihatin dan juga mengelus dada. Apa saja peristiwanya?
Daftar Isi
UIN Sunan Ampel, protes rektor saat sambutan
Pertama terjadi di kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam Ospek UINSA, terjadi banyak kejanggalan mulai persiapan hingga saat pelaksanaan. Seperti yang viral di dunia maya, terdapat video yang memperlihatkan berbagai poster dan orasi dari mahasiswa baru maupun lama. Hal tersebut terjadi justru pada saat pembukaan, bertepatan dengan pidato sambutan rektor.
Berdasarkan poster yang dibentangkan, terdapat tulisan beraneka ragam, mulai dari PBAK Prematur UINSA Amburadul, PBAK Cacat Birokrasi Bejat, dan lain sebagainya. Usut punya usut, ternyata itu merupakan protes yang dilakukan panitia kepada pihak rektorat yang dinilai tidak serius dalam mempersiapkan kegiatan.
Hingga kini, kasus tersebut
entah sudah menemui titik terang atau belum. Dengar-dengar ada wali mahasiswa yang dipanggil ke kampus. Sangat menodai citra kampus Islam ya guys.
UIN Raden Mas Said, maba disuruh daftar pinjol
Ini yang sempat menyita perhatian jutaan warganet di Indonesia. Di momentum Ospek yang sakral, justru mahasiswa baru UIN RMS disuruh seniornya untuk bikin akun pinjol yang saat itu menjadi sponsor utamanya. Saya curiga dengan panitia ataupun pihak akademiknya ini. Bukankah untuk penyelenggaraan event semacam ospek itu ada kucuran dana dari kampus yang nilainya tidak sedikit?
Ospek yang diselenggarakan di UIN RMS tersebut ternyata bekerja sama dengan sebuah aplikasi pinjol sebagai pihak ketiga. Entah karena dana dari kampusnya yang kurang atau bagaimana, mestinya hal ini tidak terjadi.
Keamanan data mahasiswa seharusnya menjadi prioritas dan bukan semata demi dana. Seharusnya sebagai mahasiswa lebih bijak lagi dalam mengambil langkah seperti ini, yang tentu saja ini mencoreng citra dan reputasi kampus, terlebih kampus Islam.
UIN Walisongo, demo pasca ospek
Tak kalah miris dengan yang terjadi di UIN Walisongo Semarang. Di sana, fasilitas yang diterima oleh mahasiswa yang tinggal di ma’had kampus sangatlah miris. Mulai dari nasi yang basi, kamar mandi yang tidak memadai, dan lain sebagainya. Fasilitas yang diterima seperti itu tentunya sangatlah tidak manusiawi diberikan oleh institusi sekelas kampus Islam.
Mahasiswa pun menggelar aksi protes dengan tajuk Kosongkan Ma’had Geruduk Rektorat. Berbeda dengan kedua kasus yang sebelumnya, permasalahan wajib ma’had ini sudah menemui titik terang antara mahasiswa dengan pihak birokrat. Kesepakatan tersebut sudah diteken pada tanggal 31 Agustus 2023 dalam forum audiensi DEMA-SEMA UIN Walisongo. Kalau belum siap wajib ma’had ya jangan dipaksa. Salut buat DEMA-SEMA yang sudah memperjuangkan kepentingan mahasiswanya.
UIN Sjech M. Djamil Djambek (Bukittinggi), tolak kehadiran Gubernur
Kehadiran seorang figur publik dalam kegiatan kampus merupakan hal yang wajar lagi biasa. Seperti halnya di UIN Bukittinggi ini. Mahyeldi, Gubernur Sumatera Barat dijadwalkan untuk mengisi Ospek di UIN Bukittinggi. Namun, ketika ia sampai di lokasi, terdapat aksi mahasiswa yang menolak kedatangan Gubernur ini.
Suasana memanas saat Ahmad Zaki, presiden mahasiswa berorasi di panggung untuk menolak kedatangan gubernur. Aksi ini diwarnai dengan berbagai spanduk yang isinya penolakan. Adanya aksi tersebut membuat Mahyeldi beranjak pergi dan tidak jadi mengisi materi.
UIN Raden Fatah (Palembang), dance saat iftitah Fakultas Adab
Viral di media sosial TikTok, UIN Raden Fatah menyelenggarakan kuliah iftitah. Kuliah iftitah yang terjadi di Fakultas Adab dimeriahkan dengan aksi lima orang wanita yang menampilkan dance Korea. Penampilan mereka menuai berbagai kritikan. Sebab, kelima orang tersebut menari dengan busana yang tidak sesuai dengan norma kampus Islam dan tidak mengenakan jilbab. Tentunya ini mencoreng citra UIN sebagai kampus Islam.
Saya secara pribadi menyayangkan hal tersebut terjadi di kampus Islam. Terlebih lagi, itu dilakukan di Fakultas Adab. Iya, nggak salah, sekali lagi Fakultas Adab. entah yang menampilkan itu mahasiswa atau bukan, tetapi sebaiknya jika di dalam kampus mereka menyesuaikan dengan norma kampus yang berlaku. Kalau di luar, ya terserah.
Ada apa dengan UIN (yang sekarang)?
Sebagai mahasiswa baru yang tidak begitu paham persoalan agama, saya melihat UIN maupun IAIN sebagai pusat kajian Islam. Tentunya, di dalamnya terdapat banyak orang pintar yang mengkaji agama sesuai dengan passion masing-masing. Apa yang saya paparkan di atas membuat saya sendiri merasa miris. Antara mahasiswa dengan pihak kampus ada saja yang nggak beres. Padahal kan mereka paham agama.
Idealnya, hal-hal yang di atas tidak terjadi, terlebih di kampus Islam. Jika mahasiswa mempunyai keluh kesah, seharusnya hal tersebut dilakukan dengan baik sesuai dengan moral dan etika yang mereka pelajari. Kan dalam Islam ada namanya akhlak.
Begitupun dengan pihak birokrat. Ya harusnya hal kayak gini nggak terjadi, dan aspirasi mahasiswa diserap sebagaimana mestinya. Jika mahasiswa sampai memakai cara yang dianggap kurang tepat, perlu dicurigai juga birokrasinya, jangan-jangan mereka sering diabaikan hingga pakai cara yang kurang tepat?
Apa pun itu, saya kurang tahu. Tapi yang jelas, saya jadi bertanya-tanya, ada apa dengan UIN (yang sekarang)?
Penulis: Miftakhu Alfi Sa’idin
Editor: Rizky Prasetya