Apa yang kamu bayangkan ketika mendengar jurusan Ilmu Komunikasi? Kalau kamu membayangkan jurusan itu identik dengan dosennya yang menyenangkan dan komunikatif, mahasiswanya yang supel, ceria, dan modis, lalu kuliahnya banyak belajar praktik jadi MC, admin media sosial, atau bikin film, buang jauh-jauh bayangan itu, Gaes. Nyatanya, jurusan Ilmu Komunikasi nggak seperti yang kamu bayangkan tadi.
Seenggaknya itulah yang saya alami semenjak saya melanjutkan studi di jurusan ini. Bahkan, boleh dibilang saya mengalami culture shock ketika pertama kali kuliah di sini. Ternyata jurusan ini sama saja dengan jurusan lain, yang membedakannya ya mata kuliahnya. Itu saja, nggak kurang dan nggak lebih.
Selama ini ada banyak anggapan salah yang beredar tentang jurusan Ilmu Komunikasi. Nah, supaya kamu nggak kegocek kayak saya ketika akan melanjutkan studi nanti, ada baiknya kamu pahami dulu apa saja anggapan salah yang beredar di masyarakat soal jurusan ini. Yuk, kita bedah satu per satu.
Pertama, mahasiswanya jago ngomong. Kamu pikir mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi itu pasti jago ngomong, ceriwis, dan rame? Ah, nggak juga, kok. Kenyataannya, nggak sedikit mahasiswa yang pendiam, gugup waktu disuruh presentasi di depan kelas, pasif waktu diskusi kelompok, dan bahkan ada juga yang introvert. Ini serius, lho! Ya memang sih ada satu atau dua mahasiswa yang mahir public speaking-nya, tapi itu kayaknya bawaan orok, deh. Jadi, jurusan ini tuh nggak identik dengan mahasiswanya yang jago ngomong, ya.
Kedua, dosennya komunikatif. Percaya atau nggak, saya masih sering jumpai beberapa kasus miskomunikasi di jurusan Ilmu Komunikasi ini. Catat: miskomunikasi di jurusan Ilmu Komunikasi. Hadeh, ini jadi semacam anekdot, tapi ya memang benar-benar terjadi, kok. Biasanya miskomunikasi ini terjadi karena dosennya yang kurang komunikatif. Misalnya, dosen A nggak bisa datang ke kampus karena ada kegiatan lain tapi informasi ini nggak disampaikan ke mahasiswanya. Yo wes mahasiswanya sudah ngumpul di kelas sedangkan dosennya nggak datang. Kasus miskomunikasi macam begini nggak banyak sih, tapi ada.
Baca halaman selanjutnya
Ketiga, banyak praktik. Awalnya saya membayangkan kalau kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi itu bakal banyak belajar praktik bagaimana menjadi MC yang baik dan benar, belajar bikin konten di media sosial, belajar bikin film, dan belajar-belajar praktis lainnya. Namun konsepnya ternyata nggak begitu, Gaes. Boro-boro praktik, kebanyakan malah belajar teori-teori ilmu komunikasi macam teori efek media, teori dramaturgi, teori semiotika, dan yang lainnya. Bahkan, tugas kuliahnya pun biasanya disuruh bikin riset dan makalah ilmiah. Ya memang sih ada juga tugas-tugas praktik, tapi porsinya nggak sebanyak teorinya. Maklum saja, yang namanya mahasiswa itu kan akademisi, bukan praktisi, makanya materi kuliahnya lebih banyak teori daripada praktik.
Keempat, nggak ada pelajaran hitung-hitungan. Kata siapa kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi itu nggak ada pelajaran hitung-hitungannya? Kenyataannya ada, Gaes. Ada satu mata kuliah yang namanya Metode Penelitian Kuantitatif. Di sini kamu bakal belajar penelitian dengan menggunakan rumus statistik—lengkap dengan tabel-tabel angka yang njelimet itu—untuk menguji teori ilmu komunikasi yang kamu gunakan. Bahkan kalau kamu berjodoh, hitung-hitungan statistik tadi bakal terus kamu jumpai sampai penyusunan tugas akhir nanti. Hadeh.
Nah, itulah empat salah kaprah soal jurusan Ilmu Komunikasi yang beredar di masyarakat. Intinya sih, kuliah di mana pun, mau di jurusan Ilmu Komunikasi atau jurusan yang lain, ya sama saja. Sama-sama pusing maksudnya!
Penulis: Andri Saleh
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kuliah Jurusan Ilmu Komunikasi yang Disangka Belajar Ngomong Doang.