Selama kuliah, dekat dengan kakak tingkat atau senior di kampus membikin saya dan beberapa teman lainnya—sebagai Mahasiswa baru sekaligus adik kelas—punya privilege tersendiri. Beberapa di antaranya, punya wawasan tentang kampus dan dosen yang tidak diketahui oleh rekan yang lain, circle pertemanan yang nggak itu-itu saja, ada yang segera menolong jika membutuhkan bantuan, sampai dengan diberi sedikit bocoran tentang masa depan. Khususnya tentang dunia kerja. Mereka mengklaim bahwa, informasi didapat dari senior terdahulu. Dari mulut ke mulut.
Jujur saja, semasa kuliah, karena belum ada gambaran sama sekali tentang dunia kerja, saya merasa terbantu sekaligus bingung di waktu yang bersamaan. Seperti apa realitasnya dan apakah memang benar seperti yang disampaikan oleh para senior?
Sampai akhirnya saya lulus, ada di fase melamar pekerjaan-sulit mendapat panggilan interview meski sudah apply CV di banyak perusahaan-dan akhirnya diterima bekerja, lalu tersadar. Hal yang disampaikan oleh kakak tingkat sewaktu kuliah adalah hoaks belaka. Validitasnya patut dipertanyakan dalam ruang lingkup pekerjaan secara praktis. Lantaran, nggak terjadi sesuai dengan yang diceritakan. Saran saya, jika kalian pernah mendengar beberapa ucapan ini, jangan langsung percaya begitu saja. Justru, bersikap skeptis akan jauh lebih baik.
#1 Jangan cengeng saat ospek, karena dunia kerja lebih kejam
Ini adalah kalimat template sekaligus hoaks pertama yang sering kali digaungkan oleh kakak tingkat saat ospek mahasiswa baru. Katanya, sih, salah satu tujuannya untuk ngetes mental. Namun, satu pertanyaan besar yang perlu digarisbawahi adalah, yang bersangkutan sudah (pernah) bekerja atau belum? Kalau belum, kok berani-beraninya bilang seperti itu?
Lagipula, sekejam-kejamnya dunia kerja, senior atau bos nggak akan main sembarang gampar dan/atau memberlakukan aturan yang serampangan seperti, “Senior selalu benar. Jika salah, ingat kalimat sebelumnya.” Dih. Di kantor mana bisa begitu, Bung. Ada SOP atau aturan yang harus dipatuhi. Juga, sudah dibuat dengan berbagai pertimbangan secara profesional. Dasarnya adalah UU Ketenagakerjaan. Gimana? Sepakat, ya?
#2 Cari kantor yang menganut sistem kekeluargaan biar kerjanya nyaman
Awalnya, poin ini juga terasa masuk akal bagi saya ketika disampaikan oleh kakak tingkat. Sampai akhirnya, saat sudah bekerja saya menyadari satu hal: sistem kekeluargaan di ruang lingkup pekerjaan nyaris tidak ada. Kalaupun ada, malah cenderung jadi nggak profesional. Jika yang dimaksud adalah rekan kerja yang ramah, baik, dan bisa diajak kerja sama, tentu itu lain soal. Bukan kekeluargaan.
Satu yang pasti: keluarga ya keluarga. Kerja ya kerja. Jika bekerja hubungannya sudah seperti keluarga, artinya bukan kekeluargaan. Namun, budaya sekaligus lingkungan kerjanya yang baik. Lagipula, kalau sampeyan resign, ujung-ujungnya, akan ada dicari penggantinya. Atau dilupakan seiring berjalannya waktu.
#3 Kirim CV ke kantor tempat alumni bekerja akan otomatis diterima
Saya termasuk orang yang awalnya percaya bahwa, hubungan almamater akan bikin kita 100 persen diterima saat melamar pekerjaan. Namun, realitasnya tidak demikian. Ada aturan perusahaan yang tidak bisa diterabas begitu saja. Harus screening CV terlebih dahulu. Sekalipun lolos saat wawancara tahap awal, akan ada proses lanjutan seperti psikotes, bertemu dengan User. Belum lagi kalau ada wawancara berlapis-lapis dengan supervisor, manajer, atau direktur perusahaan (jika dibutuhkan).
Pada akhirnya, tetap akan melalui proses penilaian. Seperti kemampuan apa saja yang dimiliki, cocok atau tidak dengan kebutuhan perusahaan. Jadi, nggak akan secara otomatis diterima oleh alumni yang satu almamater. Terus, harus diketahui juga jabatan alumni tersebut di perusahaan. Kalau sama-sama staf, mana punya wewenang soal perekrutan karyawan. Apalagi maksa HRD untuk menerima junior di kampus terdahulu hanya karena satu almamater. Xixixi.
#4 Banyak ikut organisasi di kampus, maka akan mudah dapat pekerjaan
Ikut organisasi saat kuliah, apa pun jabatannya, memang baik. Sangat baik. Punya poin plus di mata HRD perusahaan, karena dianggap mudah adaptasi dan bisa bersosialisasi dengan baik. Eits, tapi, tunggu dulu. Di sisi lain, ini akan menjadi pisau bermata dua. Apalagi jika kalian hanya sekadar ikut-ikutan dan berpengaruh kepada proses akademik. Tentu akan menjadi bahan pertimbangan. Lebih jauh lagi, tidak bisa dijadikan acuan utama untuk mendapat pekerjaan.
Jadi, kalau kakak tingkat di kampus sudah sotoy ini dan itu soal dunia kerja, harus dicermati terlebih dahulu. Apa yang disampaikan valid atau nggak. Ditambah, yang bersangkutan sudah punya pengalaman kerja atau belum. Kalau nggak, yang ada malah overthinking sendiri.
BACA JUGA Kenapa Skill Requirement di Lowongan Kerja Perusahaan Kadang Nggak Ngotak? dan artikel Seto Wicaksono lainnya.