Teman bulemu baru pertama kali berkunjung ke Jawa Timur? Please, nggak usah buru-buru ajak mereka makan makanan khas Jawa Timur ini, deh.
Ketika ada teman dari luar negeri yang pertama kali berkunjung ke Indonesia, sebagai bangsa yang gemar mengayomi tamu, rasanya wajib bagi kita untuk membuat mereka merasa nyaman selama masa kunjungannya. Ekspresi mengayomi tamu ini biasanya diwujudkan dengan kesukarelaan kita untuk menjemput mereka di bandara, hingga menemani jalan-jalan sebagai tour guide gratisan.
Sebagai tuan rumah, rasanya sulit untuk tidak mengajak mereka makan di tempat-tempat yang menyediakan makanan khas daerah kita, yang mungkin terasa asing dan baru bagi lidah mereka. Dengan beragam pilihan makanan khas yang enak-enak, mestinya kita pede dong mengajak mereka berkenalan dengan hidangan khas untuk pertama kali.
Namun sering kali karena terlampau percaya diri dengan kekayaan kuliner yang kita miliki, kita jadi abai bahwa perkara makanan ini terkadang membutuhkan lebih banyak waktu beradaptasi ketimbang hal-hal lainnya. Apalagi dengan ciri kuliner yang rasa dan aromanya kuat, seperti di Jawa Timur. Tentu butuh waktu bagi lidah orang asing untuk beradaptasi. Selain itu, dengan kuliner yang banyak memadukan bumbu dan bahan-bahan khas yang jarang digunakan di daerah lain, terkadang kesiapan mental dan fisik juga diperlukan saat mengonsumsi beberapa jenis makanan khas Jawa Timur.
Dengan alasan ini pula, memperkenalkan makanan khas Jawa Timur kepada orang asing bisa dibilang gampang-gampang sulit, butuh waktu dan kondisi yang tepat. Salah-salah, mereka jadi kapok mencoba atau bahkan trauma untuk berkunjung lagi ke Indonesia.
Berikut 4 makanan khas Jawa Timur yang sebaiknya tidak buru-buru ditawarkan kepada orang asing yang baru pertama kali berkunjung ke Indonesia.
#1 Rawon
Yang satu ini sebenarnya adalah yang paling aman dari poin lain yang disebutkan di sini. Meski begitu, rawon sebaiknya tidak direkomendasikan kepada orang asing yang baru datang ke Indonesia untuk pertama kali.
Seperti kita tahu, rawon adalah makanan khas Jawa Timur sejenis sup daging yang berkuah hitam. Warna hitam yang berasal dari kluwak ini tak jarang dianggap aneh dan mengerikan oleh orang-orang asing. Diajak makan rawon ketika baru datang bisa bikin mereka kaget, jadi ilfeel, dan bisa-bisa malah tidak jadi makan.
Kalau mau mengajak teman bule makan rawon, sebaiknya biar kita saja yang memesan supaya mereka bisa icip-icip dulu. Dengan begitu, mereka bisa perlahan meresapi bahwa di balik kelamnya kuah rawon, ada kenikmatan tiada tara.
#2 Soto babat dan makanan lainnya yang mengandung jeroan
Dalam tradisi kuliner kita, nyaris tidak ada bagian tubuh sapi yang tersia-siakan, mulai jeroan hingga kulitnya. Begitu pula dalam makanan khas Jawa Timur, jeroan sapi juga sering dimanfaatkan. Tidak hanya soto babat yang memanfaatkan jeroan, ada juga nasi krawu, nasi buk, nasi boranan, dan masih banyak lagi.
Ini berbeda dengan kebiasaan masyarakat di sejumlah negara lain. Bagi sebagian kalangan ini, jeroan sapi biasanya dianggap sebagai limbah dan hanya bisa diolah menjadi makanan anjing. Kebiasaan ini bahkan memunculkan stigma bahwa jeroan sapi itu menjijikkan dan tak pantas dimakan manusia.
Oleh karena itu, sebaiknya hindari untuk menawarkan kuliner yang mengandung jeroan kepada teman bule yang baru pertama kali datang ke Indonesia. Jika mesti mengunjungi tempat kuliner khas yang biasanya mengandung jeroan, sebaiknya minta jeroannya disisihkan atau diganti dengan daging. Ini penting, lho. Daripada nanti teman bule kita jadi jijik duluan dan bikin situasi jadi canggung.
#3 Rujak cingur dan hidangan lainnya yang mengandung petis
Bicara kuliner Jawa Timur, rasanya tidak mungkin tanpa membahas petis. Bisa dibilang, petis adalah benang merah dalam makanan khas Jawa Timur saking seringnya bahan ini digunakan dalam berbagai hidangan. Selain rujak cingur, juga ada tahu tek, tahu campur, lontong balap, dan banyak masih banyak lagi kreasi kuliner yang memanfaatkan petis.
Petis umumnya terbuat dari kaldu udang, ikan, atau kupang, yang direbus terus-menerus bersama gula merah, garam, dan rempah-rempah hingga menjadi pasta. Sayangnya, dengan proses pembuatan yang banyak berasal dari industri rumahan, belum cukup untuk menjamin bahwa produk petis sama sekali aman dari bakteri berbahaya seperti E. coli.
Dan tentu saja, ketangguhan lambung kita yang sudah terbiasa makan petis tidak sebanding dengan lambung orang asing yang baru pertama kali memakannya. Proses perkenalan lambung mereka dengan berbagai hal yang dikandung petis bisa jadi pengalaman yang menyiksa.
Pernah suatu kali, seorang kawan mengajak kenalannya yang berasal dari Polandia untuk makan rujak cingur. Setelah sempat terheran-heran bahwa bibir sapi ternyata bisa dimakan, kenalan dari Polandia ini mesti dilarikan ke rumah sakit karena diare.
Kasihan, lho. Sudah menyediakan waktu dan biaya untuk liburan, malah mesti menginap beberapa hari di rumah sakit.
#4 Lontong Kupang
Hidangan ini sebetulnya bisa dimasukkan dalam kategori makanan yang mengandung petis, tapi kupangnya sendiri juga mesti diberi perhatian khusus.
Kupang adalah sejenis kerang kecil yang banyak ditemukan di sepanjang pesisir utara Jawa Timur yang berombak tenang. Yang membuat kupang cukup berisiko untuk dikonsumsi adalah caranya memperoleh makanan. Kupang menyerap apa saja yang melewatinya, dan dengan semakin tercemarnya lautan, maka semakin banyak pula zat-zat beracun dan logam berat yang diserap oleh kupang.
Meski ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi kadar zat beracun dan logam berat yang mungkin terkandung dalam kupang, kuliner ini memang sebaiknya tidak direkomendasikan kepada orang asing.
Air kelapa muda yang biasa disajikan bersama lontong kupang mungkin bisa membantu mengurangi efek keracunan, tapi masalahnya kita juga tidak tahu seberapa kuat ketahanan metabolisme orang asing saat berhadapan dengan racun. Belum lagi jika ternyata kupang menimbulkan reaksi alergi berat bagi mereka. Wah, pokoknya bisa bikin mumet.
Itulah beberapa makanan khas yang sebaiknya tidak direkomendasikan kepada orang asing yang baru tiba di Indonesia. Tentu saja ini bukan pantangan yang mesti selalu dituruti, siapa tahu mereka sendiri yang antusias dan mencari tantangan untuk mencoba kuliner-kuliner ini.
Tapi, tentu saja risiko ditanggung sendiri, ya…
Sumber Gambar: Unsplash