Nasihat orang tua bahwa sebaiknya anak tinggal tidak serumah setelah jadi pasutri punya dua tujuan. Pertama, supaya anak dan istrinya mandiri. Kedua, untuk belajar soal kesabaran.
Urusan tinggal di mana setelah menikah itu tak cuma berdasarkan pilihan dan kata hati si anak, tapi juga urusan takdir. Contohnya, di film di “Ngeri-Ngeri Sedap”. Karena tradisi, Bapak dan Ibu Domu sangat berharap Sahat yang akan menemani masa tua mereka. Namun, pada akhirnya, Sarma yang harus menanggung tugas tersebut.
Sebagai pasutri, ketika memutuskan untuk tinggal terpisah dari orang tua, saat itulah benar-benar terasa hidup yang benar-benar baru. Suasana baru dan orang-orang baru. Belajar mulai dari nol tentang kehidupan berumah tangga dan bertetangga.
Banyak hal tidak menyenangkan yang mungkin akan dihadapi pasutri saat memutuskan tinggal beda rumah dengan orang tua. Misalnya empat hal ini.
#1 Tetangga yang yaa… gitu deh.
Hidup bertetangga dalam posisi sebagai pasutri dan pendatang baru tentu sangat berbeda dibanding dengan posisi sebagai warga asli. Apalagi yang dari kecil sudah sangat mengenal situasi dan orang-orang di sekitar.
Dulu, semasa masih menjadi kontraktor, alias masih mengontrak rumah, tetangga-tetangga kami kebanyakan adalah kaum pensiunan. Mbah-mbah istilah saya, karena usianya setara bahkan lebih sepuh dari almarhum bapak dan ibu saya.
Untuk tetangga model orang-orang sepuh begini, ujian kesabarannya adalah soal mendengar dan mengalah. Umumnya orang tua, mereka akan dengan mudah mengobral nasihat, cerita masa lalu, dan kadang sedikit memaksakan kehendak untuk soal-soal yang menjadi hajat hidup pasutri dan orang banyak.
Siasat untuk menghadapi adalah mendengar. Ambil nasihat yang baik dan buang yang buruk, lalu mengalah dengan pertimbangan kami ini cuma pendatang dan bukan penghuni tetap jadi tak perlu ngotot mempertahankan pendapat untuk soal-soal yang tak prinsip. Strategi mendengar dan mengalah ini sepertinya cocok untuk segala jenis tetangga yang menyebalkan.
#2 Rumah kontrakan (beserta pemiliknya) yang nggak banget.
Tak cuma tetangga, soal rumah kontrakan juga bisa menjadi ladang amal kesabaran bagi pasutri. Kontrakan yang sedikit-sedikit bocor, sehingga ketika hujan ruang tamu menjadi semacam kolam buatan adalah salah satu mata ujiannya.
Belum kalau yang punya kontrakan orangnya agak sulit diajak kerja sama. Berkali-kali dilapori kerusakan tapi pura-pura tak tahu, membuat si kontraktor bingung hendak berbuat apa. Mau memperbaiki sendiri tapi tak ikut punya hak milik, kalau tidak diperbaiki kerusakannya mulai mengganggu ketentraman dan keamanan penghuni rumah. Serba salah pokoknya.
#3 Perjuangan menemukan jodoh rumah
Setelah lima tahun mengontrak sebagai pasutri, di tahun terakhir kami mulai menetapkan target untuk memiliki rumah sendiri. Targetnya rumah di desa, bukan KPR, bentuknya bisa berupa tanah, syukur-syukur kalau sudah ada rumahnya.
Mau di desa atau KPR, itu pilihan pribadi. Setiap orang pasti punya alasan tersendiri. Untuk saya yang lahir dan besar di sebuah gang di tengah kota dan sudah bosan dengan segala bentuk keramaian di alun-alun, memiliki rumah dengan banyak pohon buah dan halaman tempat anak-anak bisa bermain dengan bebas adalah impian yang saya yakin akan terwujud dengan tinggal di desa.
Mulailah ujian kesabaran menemukan jodoh rumah. Dibilang jodoh karena proses menemukannya mirip menemukan jodoh. Rumitnya sama.
Saya rajin menitipkan pesan pada teman-teman kantor bahwa saya sedang mencari tanah atau rumah. Berkali-kali ditawari, melihat langsung ke lokasi, dan bertemu si empunya untuk nego harga, berkali-kali pula gagal. Sebabnya kebanyakan karena satu, nego harga gagal dan dua, ibu mertua saya tidak sreg.
Alasan kedua sepertinya agak ganjil ya? Tapi itulah yang terjadi. Meskipun saya dan suami sudah oke, harga bisa dinego, tapi bila ibu mertua saya bilang tidak, maka gagal pula transaksi jual beli.
Oke, mungkin ini sekilas terlihat seperti semacam salah satu bentuk kediktatoran ibu mertua terhadap anak mantunya seperti yang sering kita lihat di sinetron-sinetron. Tapi, ketika kamu paham bahwa anak laki-laki selamanya adalah milik ibunya dan karenanya harus patuh padanya, dan ini adalah aturan agama, maka soal semacam ini adalah hal biasa yang tak perlu dipermasalahkan. Dan saya harus mengakui jika insting ibu mertua saya soal pembelian tanah dan bangunan jauh lebih tajam dan terasah daripada kami berdua.
#4 Tukang Bangunan yang semaunya sendiri
Setelah susah payah menemukan jodoh rumah, mulailah ujian baru baru pasutri dalam wujud tukang bangunan. Jadi, ternyata ada jenis tukang bangunan yang semaunya sendiri. Diarahkan begini, dia mengerjakannya begitu, dan karena lokasi rumah itu lumayan jauh dengan kontrakan, kami tak bisa memantau pembangunannya setiap hari.
Akibatnya, beberapa lokasi harus dibongkar ulang bahkan ada satu lokasi yang sampai tiga kali harus dibongkar karena hasil pekerjaannya jelek banget. Tak cuma rugi biaya, tapi juga waktu dan emosi.
#5 Reality bites yang ternyata sakit.
Saya pribadi menganggap masa membangun rumah adalah masa tirakat. Ketika mulai membangun rumah, mau tak mau kebiasaan membeli barang-barang tak penting harus direm karena alokasi anggaran praktis dialihkan menjadi semen, pasir, batu bata, dan kawan-kawannya.
Sekadar memasukkan barang incaran ke keranjang Shopee tanpa dilanjut dengan check out apalagi diakhiri dengan pembayaran sudah cukup menghibur. Anggaran lain diperketat. Jadwal piknik cukup ke taman terdekat dan alun-alun yang tak perlu keluar biaya banyak. Agenda makan di luar paling banter menunya mie dan nasi goreng.
Sampai di sini sepertinya sudah selesai ya. Rumah idaman sudah bisa ditempati setelah serangkaian ujian kesabaran. Salah satu bonus terbesar dari rumah itu adalah saya sekaligus mendapat asisten rumah tangga yang rumahnya pas di depan rumah saya. Sebuah kemewahan hakiki untuk ibu bekerja yang punya anak kecil.
Hilang sudah kekhawatiran ART mendadak tidak datang dan menghilang tanpa kabar. Terima kasih pada almarhum ibu mertua. Insting beliau belum pernah salah sejauh ini. Kisah pasutri seperti ini bisa diakhiri dengan kalimat “And they happily lived ever after.”
Eh, tapi sebentar. Tunggu dulu. Tak ada yang sempurna di kolong langit. Seminggu kami menempati rumah itu, tiba-tiba datang tetangga baru, memperkenalkan diri sekaligus berutang sejumlah uang. Wow banget ya rasanya.
Tapi tetap tenang. Hirup nafas dalam-dalam dan embuskan. Apapun bentuknya, setiap ujian kesabaran harus disyukuri dan dinikmati. Perjalanan masih panjang, Mase dan Mbake. Season baru dalam drama kehidupan baru saja dimulai. Tetap semangat yaa!!!
Penulis: Fatma Ariana
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Trik Bermanuver kalau Tiba-tiba Ada Sidak Mertua