4 Hal yang Bikin Saya Bangga Jadi Warga Lamongan

Sego Boran, Kuliner Legendaris yang Cuma Ada di Lamongan

Sego Boran, Kuliner Legendaris yang Cuma Ada di Lamongan (Joko Utomo via Shutterstock.com)

Saya asli Lamongan, dan saya bangga

Berbicara mengenai sebuah kota kelahiran, tentu tidak lepas dari kebanggaan dan keterikatan secara mendalam. Iya, kita sering kali membanggakan kota kelahiran dengan cukup berlebihan. Tentu ini merupakan bentuk kecintaan, karena itu perilaku tersebut amat sangat dimaklumkan.

Bagi yang lahir di kota besar, seperti Jogja, banyak hal yang bisa diceritakan. Bahkan sebuah angkringan saja bisa diromantisasi secara paripurna.

Akan tetapi, tidak semua kota kelahiran memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Banyak anak-anak yang lahir di kota kecil, bahkan sebuah kabupaten yang susah sekali untuk dicari sisi menariknya.

Nah, ini yang sempat saya alami karena lahir di sebuah kabupaten yang bernama Lamongan. Bagi kebanyakan orang, Lamongan hanya dipandang sebatas soto dan pecel lele beserta tenda pinggir jalannya.

Tapi, setelah merantau di Jogja, saya malah menemukan hal-hal yang bisa dibanggakan dari kabupaten saya ini, Lamongan.

#1 UMR lebih besar dari Jogja

Bukan rahasia umum lagi jika UMR di Jogja memiliki nominal yang kurang mencerminkan kondisi sebuah kota besar. Keluhan tersebut sering “bergentayangan” di berbagai media sosial, khususnya Twitter.

Melihat fenomena tersebut, saya cukup bangga dengan UMK kabupaten saya ini yang lebih tinggi dari Jogja. Bayangkan saja, kabupaten kecil yang sering banjir itu ternyata bisa memiliki UMK yang lebih gede dari Jogja. Iya, Jogja, cuy. Kota Istimewa itu lho.

Warbisayah.

#2 Tidak ada klitih

Kenakalan remaja memang sebuah hal yang terjadi di semua penjuru dunia, khususnya di Indonesia. Akan tetapi di Jogja, ada satu kenakalan remaja yang cukup meresahan yang diberi nama “klitih”.

Bagi yang belum tahu, klitih itu sejenis begal, hanya saja motif tindakannya bukan karena ekonomi, melainkan suka-suka. Iya, banyak kasus klitih di mana korban mengalami luka-luka, bahkan meninggal dunia, tapi harta benda sama sekali tidak diambil.

Penanganan klitih yang cukup wadidaw membuat orang yang tinggal di Jogja akan resah untuk berkendara di malam hari. Hal ini berbeda sekali dengan di Lamongan. Meski kenakalan remaja juga terjadi, tapi tidak pernah ada yang namanya klitih atau sejenisnya.

Saya sendiri cukup sering pulang malam sekitar jam 12 atau jam 1. Tapi, saya dapat pulang dengan riang gembira. Tak ada kekhawatiran akan tiba-tiba dipepet dan dihajar dengan senjata tajam.

Yang saya khawatirkan dari pulang malam bukan klitih, tapi ban bocor atau yang paling buruk, pocong. Disabet arit? Nggak ada itu.

Lamongan memang kabupaten yang sering banjir, tapi untuk tingkat keamanan, khususnya kasus kekerasan di jalan, Lamongan bisa dikatakan sangat aman sekali. Dan ini perlu saya banggakan.

#3 Punya alun-alun yang “terbuka” untuk masyarakat

Kebanyakan daerah di Indonesia memang memiliki alun-alun yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau, ruang publik, maupun ruang berkesenian. Oleh karena itulah alun-alun sebenarnya memiliki esensi yang cukup vital.

Oleh karena itu jugalah, saya beruntung tinggal di daerah yang alun-alunnya tidak dipagari secara rapat, dan boleh dikunjungi 24 jam. Ya, gimana, ada lho sebuah kota yang alun-alunnya dipagar, sehingga masyarakat tidak bisa berkunjung ke sana.

Eh, itu alun-alun apa halaman pribadi, sih? Nggak sekalian dibangun kolam koi?

#4 Tidak bisa diromantisisasi

Bukankah romantisisasi sebuah kota adalah hal yang baik? Betul, di satu sisi sangat betul. Akan tetapi, romantisisasi tersebut juga cukup riskan jika dilakukan secara serampangan. Banyak dampak yang terjadi akibat romantisisasi tersebut, yang membuat masalah di daerah tersebut akhirnya tertutupi dan tidak terselesaikan secara tuntas.

Misalnya, ada sebuah kota yang di romantisisasi dengan biaya hidup yang murah. Padahal, jika diamati dengan saksama, harga kos dan makanan pokok tidak semurah itu. Iya, sih, jika dibandingkan dengan kota yang UMR-nya 4 jutaan akan terlihat murah, tapi jika dibandingkan dengan daerah yang UMR-nya sekitar 2 juta-an, maka akan terlihat biasa, bahkan terkesan lebih mahal.

Nah, di sini letak kebanggaan saya terhadap Lamongan, karena kabupaten ini tidak bisa di romantisisasi. Gimana mau romantisisasi, lha nggak ada sisi romantisnya. Kondisi jalan saja lebih banyak yang berlubang. Kemudian tiap musim hujan pasti ada wilayah yang selalu banjir. Ruang terbuka hijau juga tidak banyak. Karena itu kabupaten Lamongan memang sebuah kota yang tercipta untuk dicintai apa adanya.

Itulah hal-hal yang bikin saya bangga betul dengan kota kelahiran saya. Semoga Adhitiya Sofyan segera bikin lagu “Sesuatu di Lamongan”. Saya jamin laris!

Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 4 Hal Tidak Menyenangkan Jadi Warga Kabupaten Lamongan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version