Beberapa hari lalu, artikel rumah dekat sawah muncul di Terminal Mojok. Membacanya bikin saya menyengir dikit. Dasar noob, batin saya. Kenapa saya bilang gitu, karena rumah saya dekat hutan. Nggak cuman dekat hutan sih, tapi literally di tengah hutan dan dekat sungai. Nah, double combo.
Sebenarnya, penderitaan rumah dekat sawah itu mirip dengan rasanya hidup di dekat hutan. Tapi, kadarnya dobel. Sebab, memang rumah dekat hutan rasanya sesedap itu.
Daripada kelamaan pembukaannya, sini saya kasih tahu rasanya punya rumah dekat hutan macam Tarzan.
Serangga dan reptil? Coba serangga, reptil, plus monyet
Saya nggak pernah bercanda bilang bahwa rumah saya itu pernah disatroni monyet. Nggak cuman pernah sih, sering. Apalagi kalau musim mangga. Keluarga saya harus bertanding melawan monyet hanya untuk urusan mangga. Kalau kalah cepet, itu mangga sudah habis disikat monyet.
Bahkan pohon rambutan tetangga pernah diserbu monyet dan buahnya habis. Nggak lama kemudian, pohonnya ditebang biar nggak menyerbu lagi.
Memang, rumah dekat hutan rentan gangguan monyet. Apalagi rumah saya di Wonogiri ini memang masih dekat hutan yang dihuni banyak monyet. Tiap pagi, mereka nangkring di atap musala depan rumah. Kadang mereka ngambil mangga, kadang rambutan, buah apa pun diambil.
Tapi, memang jarang kasus monyet masuk rumah. Tapi ada satu kasus yang legendaris banget, di mana monyet nyerbu rumah warga dan ngambilin ayam goreng.
YAK BETUL. AYAM, GORENG.
Rumah dekat hutan itu sunyi
Mau rumah ibu, mau rumah saya sekarang, semuanya di hutan. Dan rumah dekat hutan itu pasti identik dengan kesunyian. Memang ada tetangga dan masih rame sih jalanannya, tapi ramenya nggak bisa dibandingkan dengan kota. Bahkan, gang kos-kosan di Karangmalang UNY itu jauh lebih rame ketimbang rumah saya.
Sekilas, rumah sunyi itu enak. Nggak berisik, nggak ada polusi suara. Tapi kalau kelewat sunyi, beda cerita.
Nggak jarang saya dengar suara aneh yang nggak masuk akal. Saya nggak bilang itu hantu, tapi suara hutan memang kadang bikin hati berdesir. Juga, saking sunyinya, kalian kalau denger suara dikit pasti jadi curiga, jangan-jangan maling dan sejenisnya.
Oh, jangan salah, dekat hutan nggak berarti bebas maling. Yang namanya orang jahat itu nggak kenal yang namanya rasa takut dan batas.
Ongkir ojol jadi gede
Nah ini nggak enaknya rumah dekat hutan. Mau rumah ibu, atau rumah saya sekarang, perkara ongkir ojol, brengsek betul memang. Oleh karena tempat makan macam Gacoan jauh dari rumah saya, jadi kalau mau order, ujungnya bayar ongkir mahal.
Padahal, rumah saya nggak jauh dari pusat kota. Tapi karena Wonogiri, sesuai namanya, isinya hutan, jadi ya nggak tau kenapa jadi mahal kalau lagi di rumah. Nggak mahal amat emang, tapi yo kacek.
Rumah dekat hutan jauh dari mana saja
Nah, ini beririsan dengan ongkir ojol. Jadi karena rumah dekat hutan itu memang logikanya jauh dari keramaian, maka kalau mau ke mana-mana, rasanya jauh. Misal nih, saya kalau mau makan tengah malem, beli makan harus berkendara lumayan jauh, ketemu jalan raya, masih harus berkendara lagi.
Mau ngambil duit saja harus berkendara agak jauh. Minimarket ya sebenernya deket, tapi saya harus “keluar hutan” dulu, baru bisa ambil duit.
Makanya, saya bayangin kalau nggak punya motor apa motornya rusak gitu, pasti amsyong. Lha mau mengandalkan apa? Transum? Halah nggak nyampe. Paling ojol, jadi ya boros.
Sebenernya, rumah dekat hutan itu enak. Saya nggak pernah menyesali ini sih, karena rasanya memang setenang itu. Tapi ya, hal-hal di atas bisa jadi minus yang mungkin buat banyak orang nggak betah.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Derita Memiliki Rumah di Daerah Perkebunan

















