Sebagai seseorang yang lama tinggal di Semarang sekaligus berasal dari Blora, saya sering terjebak dalam bayangan-bayangan lucu tentang hal-hal yang rasanya mustahil ada di kota kelahiran saya. Padahal hal-hal tersebut sangat biasa dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Semarang. Imajinasi seperti ini sering membuat saya senyum sendiri, membayangkan bagaimana hal-hal sederhana di kota besar bisa terasa istimewa jika hadir di Blora.
Tentu pengandaian ini tidak sepenuhnya bisa dibandingkan secara apple to apple. Semarang adalah ibu kota provinsi dengan segala hiruk pikuknya, sedangkan Blora adalah kabupaten yang tergolong sepi dan tenang di ujung timur Jawa Tengah. Meski berbeda, keduanya sama-sama berada di Jateng, dan tidak ada salahnya untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi di Blora meski entah menunggu berapa lama lagi.
Di Semarang tersedia tranportasi publik yang langsung bisa diakses dari rumah
Salah satu hal yang biasa di Semarang namun akan terasa luar biasa di Blora adalah tersedianya transportasi publik yang mudah dijangkau, bahkan dari rumah. Di Semarang, hanya dengan berjalan sebentar keluar gang, masyarakat sudah bisa menumpang kendaraan umum dengan tarif yang relatif terjangkau.
Sistem ini dikenal sebagai feeder Semarang, menggunakan kendaraan ELF long chassis atau mikrobus yang lebih kecil, sehingga mampu menjangkau penumpang hingga ke desa atau kecamatan. Keberadaan feeder memudahkan warga untuk melanjutkan perjalanan dengan BRT, atau sebaliknya. Sehingga perjalanan dari titik awal (first mile) hingga tujuan akhir (last mile) menjadi lebih praktis dan efisien.
Kalau saja fasilitas semacam ini ada di Blora, tentu akan menjadi sesuatu yang sangat istimewa. Tidak hanya memberikan kemudahan dan biaya terjangkau, tetapi juga mampu memberi jaminan keamanan, terutama bagi anak-anak sekolah dan lansia.
Sayangnya, realitanya transportasi umum di Blora masih jarang dan hampir seperti “mati segan, hidup tak mau”. Sehingga mobilitas warga kerap terbatas dan mengandalkan kendaraan pribadi.
Banyak fasilitas olahraga dan ruang terbuka publik yang terawat
Di Semarang, fasilitas olahraga dan ruang terbuka publik sudah menjadi hal yang mudah diakses. Lapangan, jogging track, taman kota, semua terawat dengan baik, bersih, dan nyaman digunakan. Warga bisa berolahraga, bermain, atau sekadar bersantai tanpa harus khawatir soal kebersihan atau keamanan. Kegiatan semacam ini dianggap lumrah, sampai-sampai orang lokal sering lupa betapa beruntungnya mereka memiliki akses semacam itu setiap hari.
Di Blora, bayangan semacam ini rasanya terlalu jauh untuk diharapkan. Stadion ada, tentu, tapi kondisinya jauh dari kata ideal. Taman kota? Hanya beberapa, dan sebagian besar kurang terawat. Taman Bangkle dan Taman Budaya Cepu bisa dijadikan contoh nyata. Sarana bermain anak juga terbatas, sehingga aktivitas warga di luar rumah tidak sefleksibel di kota besar macam Semarang.
Jika saja fasilitas olahraga dan ruang publik di Blora bisa sebaik di Semarang, hal itu akan terasa menyenangkan. Anak-anak dapat bermain dengan aman, warga bisa berolahraga tanpa menempuh jarak jauh, dan suasana kota untuk pertama kalinya tentu akan terasa benar-benar-benar “hidup.” Tapi untuk sekarang, angan-angan itu tetap harus menunggu… entah sampai kapan terealisasinya.
Di Semarang mudah mencari perpustakaan dan toko buku, sementara di Blora sebaliknya
Di Semarang, menemukan tempat untuk membaca atau membeli buku hampir tidak perlu usaha. Perpustakaan kota, perpustakaan universitas, hingga toko buku besar seperti Gramedia tersedia di mana-mana, lengkap dengan koleksi terbaru dan fasilitas memadai. Membaca atau berburu buku di Semarang terasa mudah, bahkan bisa menjadi kegiatan rutin tanpa hambatan berarti.
Di Blora, kenyataannya lain jauh. Perpustakaan memang ada, tetapi koleksinya terbatas dan jarak ke fasilitas tersebut sering kalih masih menjadi hambatan tersendiri bagi warga di desa-desa. Toko buku besar? Nyaris nggak ada jejaknya. Ironis rasanya, kabupaten yang melahirkan sastrawan besar seperti Pramoedya Ananta Toer justru masih sempoyongan menyediakan akses literasi yang memadai bagi warganya.
Infrastruktur yang amat maksimal
Di Semarang, infrastruktur dasar—mulai dari kondisi jalan hingga fasilitas pendidikan—nyaris tidak pernah menjadi sumber keluhan warga. Jalan-jalan utama terpelihara dengan baik, akses ke sekolah mudah, dan bangunan sekolah umumnya lengkap dengan fasilitas yang mendukung proses belajar mengajar. Anak-anak dapat menempuh perjalanan ke sekolah dengan aman, guru mengajar tanpa terganggu masalah sarana, dan orang tua tidak perlu cemas mengenai keselamatan anak selama perjalanan.
Berbeda dengan kondisi di Blora. Jalan desa masih banyak yang bergelombang atau sempit, dan akses ke sekolah di beberapa kecamatan sering menuntut waktu dan energi ekstra. Sekolah tentu ada, namun fasilitasnya masih kerap terbatas. Ruang kelas sempit, sarana olahraga minim, dan beberapa bangunan memerlukan perbaikan serius. Andai saja Blora memiliki infrastruktur seperti Semarang, perjalanan ke sekolah tentu tidak akan membuat siswa malas berangkat ke sekolah.
Itulah empat hal yang kerap saya bayangkan saat menjadi warga Semarang terasa biasa, tapi jika terjadi di Blora akan terasa bak keajaiban. Tentu saya masih percaya Pemkab Blora punya strategi rahasia untuk mewujudkan harapan di atas. Tidak harus meniru Semarang persis, cukup membuat hidup warga sedikit lebih nyaman daripada yang sekarang.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Blora, Tempat Tinggal Terbaik untuk Orang Bergaji Pas-pasan yang Mendambakan Slow Living.




















