Dalam proses beradaptasi ketika tinggal di Sulawesi, saya membangun jaringan pertemanan ke banyak orang. Pasalnya, di sini saya tak punya sanak famili. Salah satu orang Sulawesi yang menjadi teman baik saya, seorang laki-laki bernama Fatwa. Kami mulai nyambung dalam hal pergaulan karena umur kami tak beda jauh dan sama-sama pernah berkuliah di Kota Semarang.
Ada yang unik dari Fatwa. Ia adalah satu dari sedikit orang Sulawesi yang nggak suka makan ikan. Kalau kamu orang Jawa, pasti tidak merasa aneh ketika ada teman atau kenalanmu yang nggak suka makan ikan. Namun, ini berbeda dengan orang Sulawesi. Pasalnya, mereka terbiasa menjadikan ikan sebagai lauk makan. Pun, mayoritas makanan di sini berbahan dasar ikan. Ikan di Sulawesi, ibarat tempe kalau di Jawa.
Dalam kondisi yang cukup tidak enak itu, inilah yang sering dialami oleh Fatwa karena ia tidak suka makan ikan.
#1 Dituduh sebagai orang Jawa
Fatwa memang lama berkuliah di Kota Semarang dan cukup menyukai berbagai kuliner yang ada di sana. Namun, dia tidak dapat memungkiri bahwa dirinya lahir, besar, dan berbudaya Sulawesi, bukan Jawa. Hanya karena ia tidak suka makan ikan, ia sering dituduh sebagai orang Jawa, bukan orang Sulawesi. Dalam beberapa kondisi, tuduhan semacam itu memang tidak membuat nyaman. Akan tetapi, tuduhan tersebut tidak pernah dianggap sebagai masalah baginya. Toh, bagi Fatwa, selera makan tidak berhubungan dengan adat dan budaya yang ia jalani sehari-hari.
#2 Calon istrinya dianggap bahagia
Kata orang-orang, karena ia nggak doyan makan ikan, istrinya bakal bahagia bersamanya. Sebab, si istri justru akan lebih mudah untuk masak sehari-hari. Ini karena proses memasak ikan tidak mudah. Jika cara memasak ikannya kurang bagus, akan menghasilkan ikan yang kurang enak pula.
Memasak ikan berbeda dengan memasak tahu, tempe, dan telur yang lebih mudah. Pasalnya, risiko makanan tersebut jadi nggak enak itu kecil.
#3 Dikira pilah-pilih makanan
Persepsi ini biasanya hadir dari orang Sulawesi yang belum kenal dan tidak tahu Fatwa. Eh, dia punya kesempatan untuk makan bareng. Kondisi Fatwa yang nggak doyan makan ikan, lalu dianggap pilah-pilih makanan memang nggak salah. Namun, “pilah-pilih” makanan ini membuatnya terkesan sebagai “kaum yang sok-sokan”. Padahal, makanan lain yang ia pilih justru lebih murah seperti tahu, tempe, dan telur. Jadi, ya, si Fatwa ini nggak “se-sok” itu, kan?
#4 Disangka lebih hemat
Lantaran pilihan makanan Fatwa harganya lebih murah daripada ikan, biasanya ia dianggap sedang berhemat. Mungkin untuk kebutuhan makan ia bisa berhemat. Akan tetapi, ada kebutuhan “kurang penting” lainnya yang tetap dikeluarkan oleh Fatwa dan membuatnya tidak dapat dikatakan sedang berhemat. Jadi, menganggap Fatwa sedang berhemat hanya karena nggak makan ikan? Tentu, dugaan yang salah.
Itulah empat hal yang dialami oleh orang Sulawesi yang nggak doyan makan ikan. Sebetulnya ya, nggak berat-berat amat. Apalagi, beberapa yang disangkakan justru punya kesan yang baik. Namun, kalau terlalu sering dituduh begitu, tampaknya kurang nyaman juga, ya. Ya, begitulah. Kita memang tidak sebaiknya menilai selera makan orang lain. Namanya juga selera, kalau berbeda harusnya nggak masalah, kan?
Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Audian Laili