4 Hal yang Nggak Menyenangkan Jadi Mahasiswa UIN Malang

4 Hal Jadi Mahasiswa UIN Malang Itu Nggak Menyenangkan terminal mojok.co

4 Hal Jadi Mahasiswa UIN Malang Itu Nggak Menyenangkan (Unsplash.com)

Menyoal seputar kampus di Malang, tentu nggak cuma UB (Universitas Brawijaya) atau UM (Universitas Negeri Malang). Namun, di sini juga punya Universitas Islam Negeri (UIN), meski popularitasnya sangat jauh dari definisi populer. UIN Malang sebenarnya adalah kampus yang cukup bagus. Namun, karena harus bersaing dengan UB ataupun UM, akhirnya ia tak terlalu menjadi pilihan utama.

Bagi yang belum tahu, mahasiswa UIN Malang ini mayoritas dihuni oleh alumni pesantren Jawa Timur, khususnya daerah Jombang, seperti pesantren Tambak Beras, Tebu Ireng, Denanyar, dan sebagainya.

Tidak hanya mahasiswa, dosen dan karyawan pun mayoritas alumni pesantren. Oleh karena itu, budaya pesantren bakal kerasa banget ketika kalian berada di sini. Selain itu, warga kampusnya juga tidak terlalu beragam. Kebanyakan, mereka berasal dari Jawa Timur, seperti Malang, Kediri, Jombang, Lamongan, Surabaya, Madura, dan sekitarnya.

Jujur, kuliah di UIN Malang cukup menyenangkan. Ada banyak kenangan manis yang getarannya masih terasa sampai sekarang. Meski demikian, tentu saja ada hal-hal yang kurang menyenangkan ketika menjadi mahasiswa di sini.

#1 Tidak bisa sombong

Sebagaimana mahasiswa UIN lainnya, pasti mengalami kekalahan telak ketika dibanding-bandingkan dengan kampus satu kota. Jika UIN Jogja, bakal berada di belakang UGM. UIN Surabaya, jelas di belakang ITS dan Unair. Nah, UIN Malang pun demikian, ia selalu kalah pamor dibandingkan Universitas Brawijaya. Sialan!

Meski tidak mencolok, biasanya anak UIN tetap memiliki satu hal yang bisa disombongkan: kampus Islam terbaik. Tapi, UIN Malang agak susah untuk itu. Bagi yang belum tahu, di Malang ini ada 3 kampus Islam yang besar. Selain UIN, ada UNISMA (Universitas Islam Malang) dan UMM (Universitas Muhammadiyah Malang).

Kalau dibandingkan dengan UNISMA, kami bisa dibilang masih bisa unggul. Namun, kalau dengan UMM, ketika pengin bilang lebih baik, kok ya malu sama gedung-gedung dan bangunan kampus UMM yang megahnya cukup mengintimidasi itu.

Oleh karena itu, ketika ditanya: kuliah di mana? Kebanyakan dari kami hanya menyebut nama daerahnya, bukan nama kampusnya. Dan ketika ditanya kampus mana? Kami akan menyebut nama UIN dengan nada pelan dan sopan. Tentu, ini berbeda dengan anak UB yang ketika ditanya kuliah di mana? Langsung dijawab dengan lantang nama kampusnya.

#2 Fase jadi maba yang cukup melelahkan

Menjadi mahasiswa baru di UIN Malang adalah fase-fase terberat dalam hidup. Selain karena harus tinggal di mahad (asrama), kami juga harus mengikuti semua kegiatan yang ada serta mengikuti ujian dengan serius agar bisa lulus.

Tak hanya itu, di tahun pertama juga diwajibkan mengikuti Program Pengembangan Bahasa Arab (PPBA) yang sangat menyita waktu dan pikiran. Artinya, ada tiga program yang harus diikuti sekaligus: kuliah reguler, program mahad, dan PPBA.

Jadwal kami pun sangat padat. Bayangin saja, kegiatan asrama dimulai dari subuh. Iya, kami dibangunkan tiap subuh untuk jamaah, kemudian mengikuti kegiatan asrama sampai jam tujuh pagi.

Setelah itu, kami harus bersiap untuk kuliah reguler yang dimulai pukul 08.00 sampai 14.00. Kemudian, kegiatan ini dilanjut dengan PPBA dari 14.00 sampai 20.00. Iya, sampai jam delapan malam. Tentu, ini diselingi istirahat untuk salat dan makan, sih. Ini bukan kerja rodi soalnya.

Belum lagi masih harus ngerjain tugas kuliah sampai larut malam. Karena itulah, banyak mahasiswa baru UIN Malang yang tidur tanpa diucapkan selamat malam.

#3 Parkiran terbatas

Jika dibandingkan dengan UM apalagi UB, tentu saja UIN Malang ini memiliki ukuran yang lebih mungil. Oleh sebab itu, lahan parkir juga dibuat minimalis (karena nggak ada lahan).

Saking minimalisnya, hampir semua parkiran konsepnya terbuka. Iya, terbuka dari panas dan hujan. Alias nggak ada kanopinya. Hanya ada satu parkiran yang tertutup, itu pun karena lokasinya ada di bawah gedung perpustakaan.

Jadi bisa dibayangkan betapa riuhnya parkiran di bawah perpus ini ketika musim hujan.

#4 Kampus rasa pesantren

Lantaran mahasiswa UIN Malang mayoritas adalah anak pesantren, ada beberapa budaya pesantren yang menjadi budaya kampus. Misalnya, kalau ketemu dosen harus cium tangan. Atau ketika kelas berakhir tidak beranjak dari tempat duduk dulu sampai dosen keluar dari ruangan. Budaya pesantren sekali ya, kan?

Oh, iya, satu lagi. Hampir semua kampus daerah Malang memiliki peraturan untuk menunjukkan STNK ketika kendaraan bermotor hendak keluar dari kampus. Dan satu-satunya mahasiswa yang konsisten menunjukkan STNK dengan tangan kanan hanya anak UIN Malang. Percayalah.

Sebagai gambaran, posisi satpam selalu berada di sebelah kiri. Sebetulnya, akan lebih efektif kalau kami menggunakan tangan kiri. Namun, kami sebagai mahasiswa ulul albab tidak demikian. Selain karena terbiasa memberi menggunakan tangan tangan, kami juga sangat tahu kalau menunjukkan STNK menggunakan tangan kiri akan dimarahi satpam.

Bagi jebolan pesantren, melakukan budaya tersebut tentu hal yang biasa. Namun, bagi anak yang tidak pernah hidup di pesantren seperti saya, tentu saja kaget. Mau melawan arus, kok takut dianggap kurang ajar.

Demikian beberapa hal yang kurang menyenangkan ketika menjadi mahasiswa UIN Malang. Meski demikian, empat hal tersebut tidak mengurangi kapasitas UIN Malang sebagai kampus yang paling nyaman, setidaknya menurut saya sendiri.

Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Audian Laili

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version