Kopi keliling ini murah sih, tapi kadang bikin kesel.
Ketika ngopi sudah jadi gaya hidup, ketika itu pula kedai kopi semakin banyak bermunculan. Dari yang beneran jualan kopi enak, sampai yang cuma jualan lighting kekuningan, semua ada. Tinggal disesuaikan saja dengan kebutuhan.
Nah, di tengah menjamurnya kedai kopi yang berlomba-lomba tampil estetik ini, hadirlah satu alternatif ngopi yang lebih sederhana, yaitu kopi keliling. Tapi ini bukan kopi keliling ala abang-abang starling yang menyeduh kopi sachet di atas sepeda sambil bawa termos dan cup plastik bening, ya. Bukan. Yang saya maksud adalah versi upgrade-nya: kopi cup siap minum yang dijajakan menggunakan gerobak motor atau sepeda yang sudah dimodifikasi.
Sejauh pengamatan saya, ada banyak sekali merek kopi keliling. Ada Jago, Sejuta Jiwa, Sumi, Gerobak Biru, dll. Sepintas, kopi keliling memang jadi solusi karena harganya yang lebih merakyat dibanding Fore ataupun kopi di Indomaret Point. Namun mari kita jujur. Di balik daya tariknya, kopi keliling juga punya dosa-dosa kecil yang sering kali bikin kesal pembeli.
#1 Kopi keliling tapi nggak keliling
Dosa pertama dan menurut saya paling fatal adalah fakta bahwa abang-abang kopi keliling ini tidak benar-benar keliling. Umumnya, penjual kopi keliling ini hanya mengambil kopi di dapur pusat yang entah di mana, lalu mangkal di titik-titik strategis. Misalnya, depan minimarket, pinggir taman, atau di dekat perkantoran yang penghuninya sering butuh kopi sebagai simbol produktivitas.
Maksud saya, namanya kopi keliling ya keliling, dong. Masuk ke area perumahan, muter di jalanan perkampungan, lalu membunyikan bel sebagai penanda, “Kopi, kopi, yuk ngopi~” Biar sesuai dengan kodratnya gitu. Dikira emak-emak yang saban hari kerja di rumah nggak butuh ngopi apa, ya? Kami memang bukan orang kantoran, tapi kami juga perlu kopi untuk menjaga kewarasan.
Kan lucu kalau judulnya “kopi keliling” tapi realitanya pembeli harus nyamper ke tempat mereka ngetem. Ih, lama-lama ganti nama aja jadi kopi ngetem, jangan kopi keliling.
#2 Jualan ngetem, tapi tidak menyediakan kursi
Dosa lain dari penjual kopi keliling adalah tidak menyediakan kursi plastik untuk pembeli. Agaknya, owner-nya kurang memperhitungkan bahwa tidak semua pembeli ingin pergi setelah bayar. Ada pula pembeli yang ingin langsung minum di tempat. Mungkin karena takut es kopinya keburu mencair, atau sesederhana ingin menikmati sensasi minum kopi di pinggir jalan.
Tetapi berhubung tidak tersedia kursi, akhirnya pembeli meminum kopinya di atas jok motor atau sambil berdiri. Duh, nggak enak banget.
Padahal kursi plastik itu bukan barang mahal, lho. Harganya paling cuma Rp20 ribuan sebiji. Bawanya juga nggak usah banyak-banyak, cukup 2 atau 3 untuk jaga-jaga. Kursi plastik tinggal ditumpuk, trus diikat di atas gerobak atau dikaitkan di belakang.
#3 Penjual kopi keliling tidak tahu kopinya dari mana
Lanjut. Soal informasi produk yang minim sekali. Jujur, ini cukup mengganggu. Memang sih nggak semua pembeli peduli soal asal-usul kopi. Tetapi alangkah indahnya jika penjual dibekali informasi seputar produk yang mereka jual.
Minimal kalau ditanya: “Ini kopi arabika atau robusta, Bang?”, “Pakai susu UHT atau kental manis?”, “Gulanya pakai berapa takaran?”, mereka bisa menjawab. Bukannya malah jawab, “Nggak tahu, Mbak. Dari sananya begitu.”
Ya elah. Dari sana tuh dari mana, Bang? Owner kopi keliling nih beneran harus dikasih paham, deh. Konsumen hari ini bukan cuma butuh rasa yang pas, tapi juga narasi di balik satu cup kopi.
#4 Perbandingan kopi dan es batu yang terlalu jomplang
Terakhir, dosa kopi keliling yang bikin kesal pembeli adalah soal perbandingan antara kopi dan es batu yang kurang ideal. Di sini saya nggak bilang soal rasa, lho, ya. Kalau rasa sih… yah, realistis saja. Apa sih yang bisa diharapkan dari satu cup kopi harga 8 ribuan? Tentu bukan kenikmatan yang bisa membuat hidup tiba-tiba tercerahkan, atau aftertaste yang bisa mengubah perspektif kita tentang dunia. Nggak lah.
Akan tetapi yang bikin sedih dari beli kopi keliling ini adalah, es batunya banyak bener! Sementara jumlah kopinya? Sedikit. Baru beberapa sruputan saja, eh, sudah habis. Tersisa bongkahan es batu yang masih menggunung. Ampun, dah. Gemes banget!
Soal es batu yang lebih banyak dari kopi, bisa dimengerti jika hal tersebut adalah bagian dari strategi dagang. Bisa jadi ini cara produsen untuk mendongkrak keuntungan. Ta, tapi kan rasanya nelangsa banget tau. Pengin ngopi, malah dapat es batu. Kalau gitu mending beli Golda botolan, trus tambahin es batu. Lebih murah dan rasanya nyata lebih enak.
Itulah 4 dosa kopi keliling yang bikin kesal pembeli. Yah, meskipun dosa-dosa kecil itu ada, kopi keliling tetap punya tempat tersendiri di hati. Apalagi kalau pas ketemu dengan abang-abang penjual yang murah senyum. Rasanya dosa-dosa di atas jadi mudah untuk dimaklumi. Ending-nya, yang tadiya cuma mau beli satu cup, malah jadi dua cup, deh. Kalian gitu juga nggak?
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kopi Gerobak Keliling Tak Bisa Menggusur Pedagang Starling karena Kopi Starling Tetap Lebih Unggul.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















