Sebagai orang Madura swasta asal Situbondo, hidup di luar negeri memang sudah jadi impian tersendiri buat saya. Maklum saja, sejujurnya sejak kecil saya termasuk orang yang banyak mengeluh karena daerah saya terasa banyak keterbatasannya. Nggak heran saya jadi penasaran untuk merasakan bagaimana rasanya hidup di negara maju. Sampai akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk hijrah ke Singapura, satu-satunya negara maju di Asia Tenggara untuk melanjutkan kuliah.
Memang betul, Singapura ini kualitas pendidikannya luar biasa, negaranya bersih, transportasi, dan tata kotanya juga rapi. Tapi, ternyata semua hal baik itu nggak membuat saya mudah untuk merasa betah merantau di sini, apalagi sudah terlanjur terbiasa dengan beberapa budaya Madura yang memang sudah melekat. Buat saya ada empat hal yang mungkin membuat orang Madura agak kesulitan untuk beradaptasi di Singapura, setidaknya berdasarkan pengalaman dan budaya saya sebagai orang Madura swasta.
#1 Makanan yang terlalu sehat tapi nggak enak
Makanan adalah hal pertama yang mungkin akan membuat orang Madura homesick saat pertama menjejakkan kaki di Singapura. Makanan madura biasanya identik dengan rasanya yang kuat, gurih, dan pedasnya nggak nanggung. Gabungan kemurahan hati pedagang Madura dalam menyajikan porsi hidangan dan adiksi terhadap penyedap rasa mungkin menjadi penyebab kuatnya rasa di hidangan khas Madura.
Sayangnya hal tersebut akan sulit ditemukan di Singapura. Sebagian besar makanan rasanya hambar, sambal pun nggak ada yang pedas. Paling kacau adalah ketika saya mencoba sambal pertama kali di Singapura yang rasanya manis banget dan tidak pedas sama sekali. Sebuah culture shock bagi orang yang secara khusus diajari makan pedas sejak kecil.
Jangankan mencari masakan khas Madura yang saya gandrungi, mencari restoran Indonesia yang rasanya cukup autentik saja agak sulit. Makanan di Singapura ini sepertinya diregulasi agar tidak terlalu banyak micin dan gula. Memang kadang sulit menyatukan aspek kesehatan dan kenikmatan.
#2 Ritual keagamaan yang kurang semarak
Orang Madura memang cukup identik dengan budaya islaminya yang sangat semarak. Mulai tradisi bulen molot (maulid nabi), slametden, dan kegiatan lain yang umumnya mengumpulkan banyak massa. Di Singapura mana ada tradisi begitu, wong di sini bahkan nggak ada libur maulid nabi dan isra’ mi`raj.
Masjid terdekat dari tempat saya saja jaraknya juga lumayan jauh untuk saya yang terbiasa dengan jarak antar masjid yang nyaris kurang dari satu kilometer. Dari tempat tinggal saya perlu jalan 15 sampai 20 menitan. Jangan harap ada suara azan, zikiran, salawatan, atau ibu-ibu pengajian. Di Singapura semua masjid sepertinya pakai speaker dalam saja. Ya walau saya sebenarnya agak sebal dengan speaker masjid yang dipakai asal-asalan oleh bocil yang lagi belajar ngaji, akhirnya saya rindu juga dengan kemeriahan ibadah yang rame khas orang Madura.
#3 Harga barang-barang yang bikin istighfar
Ada yang lebih sadis dari tradisi carok (berkelahi) orang Madura, yaitu ketegaannya dalam menawar harga. Orang Madura yang saya amati memang cukup price sensitive. Kalau ada yang lebih murah tentu saja akan lebih dipilih dan diupayakan. Ya wajar lah, baik di Madura mainland maupun di daerah Madura swasta, upah minimumnya tergolong rendah, begitu juga dengan biaya hidupnya.
Maka nggak heran saat pertama saya hijrah ke Singapura, semua harga terlihat mahal sekali, apalagi di Singapura masih banyak produk Indonesia yang dijual. Susah untuk nggak membandingkan harga. Memang sangat disarankan untuk tidak mengkonversi harga barang Singapura ke harga rupiah, pasti akan sakit hati dibuatnya. Apalagi sekarang rupiah lagi anjlok-anjloknya.
#4 Terlalu kompetitif dan kurang santai
Menurut saya, orang Singapura dan Madura itu sama-sama pekerja keras. Kerja keras orang Singapura sudah sangat populer dengan budaya kiasu-nya, begitu juga dengan kerja keras warung Madura yang konon hanya akan tutup pas hari kiamat.
Tapi, ada satu hal yang orang Singapura perlu belajar dari orang Madura, yaitu seni hidup lebih santai dan berserah diri. Semua itu tidak lepas dengan falsafah kehidupan orang Madura bahwa segala hal di muka bumi itu milik Allah dan semua sudah ada ketetapanNya. Hanya orang Madura yang dengan yakin mengecer bensin di depan pom bensin Pertamina.
Kebiasaan pasrah itu agak membuat saya keteteran saat sampai di Singapura. Semua terasa seperti terburu-buru, serba kompetitif, dan kurang santai. Belum lagi banyak kabar kasus percobaan bunuh diri yang marak terjadi di lingkungan kampus. Nggak heran di sini banyak workshop pencegahan bunuh diri. Berbeda dengan orang Madura yang memang sudah santai dari sananya, tidak perlu lagi diajari untuk bersikap pasrah dan berserah.
Pada akhirnya semua ini memang soal sudut pandang. Sebagus-bagusnya Singapura dan segala kemajuan ekonomi dan pendidikannya, tetap aja tidak ada tempat yang sempurna. Mereka tetap perlu belajar seni hidup berserah diri. Begitu juga dengan Madura yang perlu memperbaiki kualitas pendidikan masyarakatnya agar tidak kalah bersaing tapi tetap tidak kehilangan filosofi hidup seimbangnya.
Buat saya pribadi, seaneh-anehnya kelakuan para warga Madura, tetap ada banyak hal yang sudah telanjur melekat dan pasti jadi kerinduan tersendiri ketika jauh dari rumah. Merantau memanglah cara terbaik untuk bisa lebih menghargai hal-hal kecil di rumah yang mungkin sebelumnya terasa biasa saja.
Penulis: Hafizh Rafizal Adnan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Profesi yang Lekat dengan Orang Madura