Sebagai salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi di Jogja, nama Malioboro tentu sudah tak asing lagi. Banyak orang yang datang ke Kota Gudeg menyempatkan diri untuk mampir ke Malioboro. Jalan panjang yang menghubungkan Tugu Yogyakarta dan Titik Nol Kilometer Jogja ini terkenal sebagai tempat berburu kuliner maupun oleh-oleh khas Jogja.
Akan tetapi siapa sangka kalau kawasan Malioboro justru dihindari orang Jogja. Kebanyakan warga Jogja jarang datang dan berbelanja ke sana sekalipun kawasan satu ini terkenal. Saya pribadi yang total sudah tinggal di Jogja selama 7 tahun juga merasakan demikian. Setidaknya ada 4 alasan yang membuat orang Jogja malas ke Malioboro.
Daftar Isi
#1 Kawasan Malioboro Jogja ramai dan langganan macet
Bagi warga Jogja, Malioboro adalah salah satu jalan yang sebaiknya dihindari. Bukan karena rawan begal, bukan. Tapi karena kawasan satu ini langganan macet, apalagi saat weekend dan musim liburan tiba. Beuh, jangan coba-coba lewat sini deh di masa-masa seperti itu, dijamin capek hati.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, Malioboro masih menjadi salah satu destinasi wisata favorit wisatawan yang datang ke Jogja. Maka sudah bisa dipastikan saat weekend atau liburan tiba, kawasan ini akan dipenuhi wisatawan dari luar kota. Kalau sudah begini, bukan tak mungkin Jalan Malioboro yang biasanya lengang menjadi tersendat karena volume kendaraan yang lewat sini juga meningkat. Belum lagi para pejalan kaki yang menyeberang jalan di sini turut memperlambat laju kendaraan yang lewat.
#2 Parkirnya jauh
Jauh sebelum ada kantong-kantong parkir seperti sekarang ini, pengunjung yang datang bebas memarkirkan kendaraannya di sepanjang Jalan Malioboro Jogja. Saya masih ingat waktu pertama kali datang ke Jogja tahun 2008, saya dan teman-teman masih bisa parkir motor di pinggir trotoar Malioboro tiap kali main ke sana.
Tapi saat ini, orang-orang sudah nggak bisa lagi parkir di sepanjang Jalan Malioboro. Semua kendaraan dialihkan ke beberapa kantong parkir di sekitaran sana, salah satunya ada di parkiran Abu Bakar Ali. Rupanya nggak semua orang menyukai kebijakan ini. Soalnya kesannya jadi ribet, parkirnya di mana, jalan-jalannya di mana.
Baca halaman selanjutnya: Banyak tempat wiisata yang lebih menarik daripada Malioboro…
#3 Banyak tempat wisata yang lebih menarik di Jogja daripada Malioboro
Seorang teman saya yang asli Jogja pernah mengatakan kalau Malioboro sekarang sudah nggak menarik lagi. Selain karena dia sudah cukup sering ke sana dari dulu, menurut teman saya, isi kawasan wisata satu ini ya gitu-gitu aja.
Pedagang yang kini berjualan di Teras Malioboro hanya menjual barang-barang yang sama sejak dulu. Ya jualan batik, kaos, gantungan kunci, gelang, dan kerajinan tangan lainnya. Maklum saja sih karena target utama para penjual ini kan memang wisatawan yang hendak mencari oleh-oleh khas Jogja, jadi yang dijual tentu barang-barang itu saja.
Selain karena isinya yang gitu-gitu saja, di Jogja juga banyak destinasi wisata lain yang tentunya jauh lebih menarik dari Malioboro. “Daripada macet-macetan di Malioboro dan berdesak-desakkan dengan wisatawan lainnya, mendingan jalan-jalan ke Turi atau Kaliurang. Lebih adem,” begitu kata teman saya.
#4 Memang sudah bosan saja
Beberapa teman saya mengakui, selama tinggal di Jogja, alasan paling kuat kenapa mereka enggan ke Malioboro karena memang sudah bosan. Dulu destinasi wisata di sini memang belum sebanyak sekarang. Makanya kebanyakan orang Jogja kalau mau belanja atau cuci mata datangnya ke kawasan Malioboro. Belanja baju di Pasar Beringharjo, jalan-jalan di Malioboro Mall, dsb.
Nah, lantaran sudah sering ke Malioboro dari dulu, begitu semakin tua sudah agak besar, kebanyakan teman saya enggan ke sana lagi. Ya memang karena sudah bosan saja.
Itulah setidaknya empat alasan yang melatarbelakangi kenapa orang Jogja malas ke Malioboro. Jadi kalau kalian ketemu orang Jogja yang ogah ke Malioboro, nggak perlu bertanya-tanya lagi. Sudah pasti jawabannya kalau nggak macet ya bosan.
Penulis: Intan Ekapratiwi
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.