Bicara perguruan tinggi yang menjadi opsi utama tujuan studi, kita tidak bisa mengesampingkan nama Universitas Gadjah Mada (UGM) begitu saja. Sebagai salah satu universitas penyandang predikat terbaik di Indonesia, wajar jika banyak lulusan putih abu-abu bermimpi ke sana guna meneruskan pencarian ilmu. Sayangnya, tidak semua dari mereka akan cocok berkuliah di kampus kondang yang terletak di Kabupaten Sleman tersebut.
Walaupun mempunyai otak cemerlang serta mengantongi segudang prestasi, faktor tersebut tak lantas menjamin seseorang betah dan sesuai kuliah di UGM. Pasalnya, setiap perguruan tinggi memiliki kultur dan nilai khas yang telah mengakar lama.
Apabila keduanya tidak selaras dengan calon mahasiswa yang mendaftar, tidak tertutup kemungkinan kesempatan berkuliah di UGM urung memberikan hasil yang maksimal. Sebelum melangkah terlalu jauh, calon mahasiswa yang merasa mempunyai kecenderungan berikut sebaiknya melakukan telaah lagi supaya perjalanan menimba ilmu tidak tersendat di tengah masa studi.
Daftar Isi
#1 Menyimpan ekspektasi terlalu tinggi terhadap julukan mahasiswa UGM
Sebelum resmi menyandang status maba UGM, para pelajar harus memikirkan dengan matang perihal ekspektasi. Biasanya, ekspektasi ini bersumber dari diri sendiri.
Nama besar Universitas Gadjah Mada memang menggiurkan dan menjadi magnet calon mahasiswa untuk berebut masuk. Fenomena ini lahir tak lain karena adanya bias bahwa embel-embel UGM merupakan tiket emas meraih kesuksesan di masa depan. Toh, banyak para petinggi negara yang merupakan alumni universitas tersebut.
Sayangnya, harapan yang muluk-muluk ini justru kadang berbalik menjadi batu sandungan. Faktanya, tidak sedikit lulusan perguruan tinggi bergengsi itu yang akhirnya menganggur setelah lulus.
Beruntung apabila mendapat dukungan sumber daya finansial yang mencukupi sehingga mampu menutupi nista ini dengan meneruskan pendidikan ke jenjang master. Label sarjana dari UGM mungkin dapat memuluskan jalan saat awal seleksi pencarian kerja. Namun, jika tidak mempunyai koneksi orang dalam, sesuatu yang lebih berperan signifikan saat penyaringan peserta adalah kualitas masing-masing individu itu sendiri.
#2 Memiliki angan-angan sebagai wiraswasta
Tipe calon mahasiswa selanjutnya yang sebaiknya tidak kuliah di UGM ialah yang bercita-cita menjadi pengusaha. Kalimat ini bukan berarti memukul rata bahwa alumni Universitas Gadjah Mada tidak layak berprofesi sebagai wirausahawan sukses.
Hanya, titik awal memulai bisnis akan menjadi lebih lambat manakala memutuskan kuliah di UGM. Ini apabila kita membandingkannya dengan perguruan tinggi lain yang menjunjung keutamaan ajaran wiraswasta seperti Universitas Ciputra dan Prasetya Mulya.
Melansir situs resmi UGM, minat mahasiswa untuk menjadi pebisnis masih terhitung sedikit hingga 2011. Artinya, fakta ini menjustifikasi bahwa Universitas Gadjah Mada terbilang kalah langkah dalam mengadopsi nilai-nilai kewirausahaan, khususnya secara praktikal, dibandingkan kampus lain yang sedari awal berdiri mengusung entrepreneurship core value.
Dengan demikian, akan lebih bijak bagi mereka yang sudah yakin mengambil jalan pengusaha sebagai mata pencaharian untuk memilih universitas lain. Khususnya kampus dengan konsep wirausaha yang sudah lebih matang dan tidak sebatas teoretikal.
#3 Tidak mempunyai mental baja
Karakter terakhir yang tak kalah krusial sebagai modal menjadi mahasiswa UGM adalah kepemilikan mental sekeras baja. Ada sederet alasan yang melatarbelakangi mengapa mereka yang kurang kuat secara psikis sebaiknya mengurungkan niat berkuliah di sini. Namun, alasan yang paling mendasar berhubungan dengan kemungkinan terburuk selepas kuliah, yakni menjadi pengangguran.
Bayangkan, menjadi seorang tunakarya saja sudah merupakan beban pikiran. Terlebih, jika kenyataan tersebut masih mendapat tambahan status alumni UGM. Kampus yang katanya merupakan kunci sukses memperoleh karier mumpuni.
Tak jarang, dikarenakan nama besar kampus, sejumlah lulusan masih dihambat gengsi. Terutama gengsi untuk terjun ke profesi yang dirasa kurang pamor di mata khalayak sehingga terkesan pilih-pilih. Akibatnya, peluang untuk meraih pekerjaan semakin kecil. Padahal, iklim seleksi kerja di Indonesia harus bersaing dengan umur. Tak pelak, tekanan sosial akan semakin memusingkan kepala yang berimbas pada kondisi psikis.
Barangkali, dengan memperhitungkan ketiga pandangan di atas, calon mahasiswa dapat menelusuri kembali apakah mereka cocok kuliah di UGM atau sebaliknya. Menghabiskan waktu tahunan guna menggapai gelar tentu bukan tempo yang singkat. Apalagi butuh komitmen serta pengorbanan besar di sana.
Yah, sebagaimana ungkapan banyak jalan menuju Roma. Mewujudkan masa depan nan gemilang tidak hanya ditetapkan oleh satu cara saja.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 4 Mahasiswa yang Sebaiknya Nggak Kuliah di Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.