Sebagai salah satu penggemar jajanan pinggir jalan atau dalam istilah ngapak biasanya disebut wong dodol ider, saya masih nggak ngerti apa yang menarik dari cilok. Sejak pertama kali cilok berusaha menguasai dunia dan menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, saya tidak antusias sama sekali. Kalau boleh dibilang, bola-bola tepung asal Sunda ini sama sekali nggak membangkitkan hasrat njajan saya.
Hal-hal yang bikin cilok memiliki impresi yang buruk di mata saya adalah tekstur yang kenyal diluar, dan cenderung keras di dalam. Rasa yang biasa-biasa saja, meskipun telah diperkaya dengan saus, kecap, atau bubuk micin yang rasanya B aja. Something is off. Semua itu berubah ketika saya pindah ke Jogja. Ketika semua orang berpikir bahwa cilok tidak akan bisa lagi dimodifikasi dengan penuh kreasi, tiga penjual cilok di Jogja membuktikan sebaliknya.
Jadi, inilah tiga rekomendasi cilok di Jogja.
Rekomendasi cilok di Jogja #1, Cilok Gajahan
Kalau kamu sudah hidup di Jogja minimal satu tahun, tidak mungkin tidak, kamu pasti akan mengetahui tentang ketenaran cilok Gajahan yang punya outlet franchise dimana-mana. Selain punya isian berupa daging secuil, ukuran cilok Gajahan juga nggak main-main. Bukan besarnya, tapi kecilnya. Cilok lokal yang satu ini berukuran sebesar bola kelereng ukuran sedang atau berdiameter kurang lebih seperti uang koin seratus rupiah.
Di dalam setiap cilok mini nan mungil ini, seperti yang sudah saya bocorkan tadi, terdapat daging sapi secuil yang nggak lebih besar dibandingkan pil vitamin C IPI. Sama sekali nggak mashoook blas dengan namanya yang mengandung kata gajah. Selain itu, ketimbang disebut sebagai cilok, menurut pendapat jujur saja, merk yang satu ini justru lebih pantas disebut pentol atau bakso kerikil.
Teksturnya yang nggak sekeras cilok dan aromanya yang khas daging sapi berbumbu, malah mengingatkan saya pada bakso Wonogiri. Rasanya juga asin dan gurih khas kuah bakso Solo yang kini bisa dijumpai di seluruh daerah. Bedanya, tentu saja karena judulnya cilok, ya nggak ada kuahnya, sedangkan rasa-rasa pelengkapnya juga cuma saos, kecap, dan sambal.
Saran saya sih mending nikmati cilok Gajahan selagi panas, tanpa tambahan rasa apa pun. Dari situ kalian akan paham mengapa orang Jogja can’t get enough of cilok Gajahan. Harganya juga pengertian sama kesehatan finansial kamu, lima ribu rupiah saja sudah dapat dua puluh biji cilok. Biasanya buka mulai jam 12 siang dan habis menjelang maghrib. Sejak pandemi, cilok Gajahan juga menyediakan pesanan versi frozen yang bisa kamu bawa pulang ke kampung halaman.
Rekomendasi cilok di Jogja #2, Cilok Pak Win
Buat kalian yang nggak kuliah di UGM dan nggak ngekos di sekitar Caturtunggal, Depok, kayaknya sih perlu banget mempertimbangkan buat pindah kos atau bahkan pindah kuliah ke UGM, demi cilok Pak Win ini. Berlebihan? Nggak! Kalian belum paham saja, dan orang yang nggak paham, nggak akan saya salahkan.
Cilok ini memiliki dua varian bentuk, ada yang bulat dan agak lonjong menyerupai jajar genjang. Diameternya mungkin sebesar tutup botol Aqua dengan warna, tekstur, dan tingkat kekenyalan persis seperti cilok pada umumnya. Bedanya, di dalam cilok Pak Win ini terdapat isian daging bumbu yang enaknya bikin nagih.
Ada tiga jenis daging yang digunakan, daging sapi, ayam, ikan, dan jamur (bukan daging). Keempatnya dibagi menjadi dua kategori rasa, gurih dan pedas. Dan bukan isian sembarang isian, daging atau jamur yang ada di dalam cilok Pak Win jelas-jelas diolah dengan bumbu khas dan potongan lembut yang nggak bikin selilitan.
Meskipun enaknya nggak ada duanya, harganya juga nggak biasa. Dengan uang ceban, kamu hanya bisa mendapatkan enam butir cilok. Jauh lebih premium dibandingkan harga cilok biasa yang kira-kira 500-1000 rupiah saja.
Cilok Pak Win mangkal di pojokan pertigaan Yamie Panda gang Gading Mas, Caturtunggal, Depok, Sleman. GMaps aja lah kalau nggak paham. Buka dari jam sebelas siang sampai habis.
Rekomendasi cilok di Jogja #3, Cilok Puyuh
Mungkin banyak penjual cilok yang dengan sombong menempelkan embel-embel isi puyuh atau cilok telur. Padahal nggak semuanya secara jujur benar-benar menyertakan telur puyuh gelondongan dalam cilok yang mereka jajakan. Beberapa kali saya kecele karena cilok puyuh yang saya beli ternyata cuma berisi seperempat telur puyuh.
Nah, kalau di Jogja, rekomendasi saya sih ke Mirota Palagan saja, tepat di depan gerbangnya ada mamang asal Kuningan yang beneran jual cilok isi telur puyuh utuh. Si Mamang menjual dua jenis cilok, versi biasa dengan diameter sebesar uang koin dua ratus rupiah, dan cilok isi puyuh yang besarnya kurang lebih sama dengan cilok Pak Win.
Buat saya, yang istimewa dari cilok yang satu ini adalah adonan tepung pembalut puyuh yang nggak terlalu tebal, jadi cukup mudah untuk dibuka dan dilihat isian puyuhnya. Selain itu, saus yang disediakan juga sepertinya telah inkorporasikan dengan bumbu racikan rahasia. Sehingga ada semacam tipis-tipis rasa kacang yang pedas serta panas khas cabai dan lada.
Harganya juga wajar dan nggak bikin kantong bolong, dengan selembar uang goceng, kamu sudah bisa mendapatkan empat cilok puyuh, yang setiap kali saya beli biasanya ditambah dua cilok biasa. Bagaimana? Selama di Jogja, cilok mana dari tiga referensi di atas yang pernah kalian coba?
BACA JUGA Kiat Mengidentifikasi Adanya Daging Babi dalam Kuliner Kesayangan Anda dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.