Ada satu hal yang tak bisa disangkal: Marvel Cinematic Universe, atau MCU, adalah penguasa layar selama satu dekade terakhir. Perencanaan yang matang, eksekusi mantap, dan cerdik dalam merespons pasar adalah kunci keberhasilan MCU menguasai layar. Pesaing berusaha menggoyang hegemoni, tapi, alih-alih bersaing, mereka malah terjerembab. Menegaskan bahwa yang Disney lakukan dalam proyek MCU bukanlah hal yang mudah.
Namun, tak ada gading yang tak retak. Seperti blunder dan Maguire, kekurangan niscaya ada dalam segala hal. Ada banyak kekurangan MCU yang bagi saya mengganggu. Dan dalam artikel ini, saya mau membahas tiga kekurangan MCU yang, jujur saja, mengurangi kenikmatan dalam menonton film-film tersebut.
#1 Jokes ringan hadir di saat yang tidak tepat
Jika film-film dari jagat DC Comics lebih identik dengan tone yang gelap dan serius, film-film Marvel melakukan hal yang sama sekali berbeda. Mereka menghadirkan gaya yang ringan dan selalu diselipkan humor-humor di tengah konflik guna memecah ketegangan selama beberapa saat. Memang, ada pula beberapa film Marvel yang kisahnya cenderung cukup berat dan minim jokes, seperti Captain America: The Winter Soldier. Namun, film itu hanya menjadi minoritas di antara mayoritas film lain yang memiliki “rumus” serupa.
Tapi, formula menyelipkan jokes ringan di berbagai kesempatan lama-lama bikin males juga. Di tengah pertarungan, misalnya, masih sempat-sempatnya menyelipkan jokes. Benar, itu menyegarkan suasana. Tapi, masalahnya, hampir di semua film formulanya kayak gitu. Kita nggak diberi pengalaman bertarung yang genuine. Meski bukanlah pantulan realitas, tapi mbok ya dipahami kalau orang berantem tuh yang dipikir adalah mendaratkan serangan, bukan melancarkan guyonan.
#2 Penjahat yang “numpang lewat”
Saya selalu meyakini bahwa film yang bagus harus memiliki keseimbangan yang pas antara sang protagonis dan sang antagonis. Salah satu film yang berhasil melakukan hal tersebut adalah The Dark Knight karya Christopher Nolan, di mana konflik antara Batman dan The Joker berhasil disajikan dengan begitu brilian dan sangat memukau. Sehingga penonton dapat memiliki kesan yang mendalam terhadap sang tokoh utama dan sang villain itu sendiri.
Sementara itu, dalam kasus film-film Marvel Studios, saya merasa kurang begitu memiliki ikatan yang kuat dengan mayoritas villain yang mereka munculkan di layar lebar. Beberapa yang saya rasa hingga kini masih menempel di ingatan saya hanyalah Loki yang sangat menyebalkan dan Thanos, si paling “balance”. Selain mereka, saya kesulitan untuk menyebutkan para penjahat lain yang memorable dan menghasilkan kesan mendalam selayaknya Joker di The Dark Knight.
Namun, bila saya diminta untuk menyebutkan nama-nama villain yang kemunculannya sangat mudah terlupakan atau istilahnya “numpang lewat”, maka saya sama sekali tak menemui kesulitan. Ivan Vanko, Malekith, Aldrich Killian, Yellowjacket, dan Taskmaster adalah villain yang mudah dilupakan saking biasanya mereka.
#3 Keterkaitan yang merepotkan
Beberapa tahun lalu, Kevin Feige, Presiden Produksi Marvel Studios, pernah mengatakan bahwa film-film Marvel akan selalu saling terhubung alias “it’s all connected”. Hal itu ia buktikan dengan banyaknya kemunculan berbagai easter-egg atau cameo-cameo dari satu tokoh di film superhero lain. Mulanya, saya memandang ini sebagai sesuatu yang exciting dan sangat menarik.
Bagaimana tidak? Berdasarkan pengetahuan saya, MCU merupakan franchise film pertama yang sering melakukan hal tersebut, di mana para tokoh layar lebarnya seakan-akan hidup di satu dunia yang sama dengan tokoh-tokoh lain di film lainnya. Oleh sebab itu, bukan sesuatu yang mengejutkan jika kita akhirnya bisa melihat Tony Stark dan Peter Parker berada dalam satu frame, ataupun Captain America dan tim Guardians of the Galaxy bertarung side by side demi mengalahkan penjahat yang kalau kata Mario Teguh, super sekali.
Namun, keterkaitan ini sejatinya juga memiliki satu dampak negatif: penonton cenderung akan bingung ketika menyaksikan sebuah film, jika tidak terlebih dahulu menyaksikan film-film sebelumnya. Sebagai contoh, beberapa bulan mendatang Marvel akan merilis sekuel Doctor Strange yang bertajuk Doctor Strange in the Multiverse of Madness. Film itu akan menampilkan tokoh lain dari semesta Marvel, yaitu Wanda Maximoff atau si Scarlet Witch. Secara otomatis, untuk setidaknya dapat mengikuti alur cerita dari film ini, penonton “diwajibkan” untuk terlebih dahulu menyaksikan serial WandaVision yang katanya merupakan prekuel tak langsung dari film ini.
Bagi penonton awam, hal ini tentu sedikit mengganggu. Banyak orang mungkin tidak memiliki waktu cukup untuk menyaksikan sebuah serial yang terdiri dari sembilan episode. Mereka datang ke bioskop murni untuk mendapatkan hiburan demi melepas penat sejenak. Akan tetapi, bila semua film Marvel jadi serba connected seperti saat ini, tentu akan menimbulkan dampak yang positif dan juga negatif, bukan?
Di satu sisi, bagi para fans hardcore, tentu hasrat mereka akan semakin terpuaskan dengan adanya crossover dari berbagai tokoh komik yang diangkat secara nyata ke layar lebar. Namun, di sisi lain, bagi kebanyakan penonton awam yang tidak begitu mengikuti semesta Marvel dan hanya mengetahui nama-nama tokohnya saja, keterkaitan ini akan membuat mereka jadi kesulitan memahami jalannya cerita dan justru “menyerah” untuk menyaksikan film-film ciptaan Marvel Studios.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah Marvel Studios telah begitu konsisten dalam menghasilkan film-film pahlawan super yang selalu membuat saya tertarik untuk mengetahui kelanjutan kisahnya. Namun, di dunia ini tidak ada satu hal pun yang sempurna, bahkan studio sekaliber Marvel pun memiliki beberapa kelemahan dalam film-film yang mereka produksi.
Selain itu, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, jargon “It’s All Connected” bagaikan dua sisi yang memiliki dampak positif dan negatif. Akan tetapi, selama saya masih diberikan kemampuan oleh Tuhan, saya berjanji akan selalu mengikuti semesta MCU sampai akhirnya Bapak Kevin Feige bingung sendiri harus membawa ke mana lagi kisah petualangan superhero-superhero itu.
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menggugat Ketiadaan Bioskop Modern di Bukittinggi