Kenaikan Upah Bukan Kiamat: 3 Kekeliruan tentang Kenaikan Upah yang Harus Diluruskan

Kenaikan Upah Bukan Kiamat: 3 Kekeliruan tentang Kenaikan Upah yang Harus Diluruskan permenaker

Kenaikan Upah Bukan Kiamat: 3 Kekeliruan tentang Kenaikan Upah yang Harus Diluruskan (Pixabay.com)

Jadi sosok cerdas di medsos adalah cita-cita banyak orang. Apalagi modal yang dibutuhkan hanyalah cocot. Opini yang beda dan out of the box menjadi senjata ampuh untuk terlihat cerdas. Salah satunya opini yang menolak kenaikan upah. Berbagai opini dipakai, dari ekonomi terpuruk sampai ancaman harga naik. Opini menolak kenaikan upah ini kalau dirangkum dalam satu kata adalah: goblok!

Saya nggak habis pikir tentang ini. Kok bisa ada orang yang menolak tuntutan ini? Apalagi orang itu juga buruh yang digaji. Dan orang-orang ini malah lebih cangkeman daripada bos dan pemilik usaha. Hanya karena biar kelihatan sangar dan intelek, sampai nalar dasar macam kenaikan upah bisa bengkok.

Tapi argumen harus dibalas argumen, meskipun goblok. Jadi untuk kalian yang sok-sokan menolak kenaikan upah, artikel ini cocok untuk Anda.

Upah naik ≠ harga naik

Ini adalah argumen yang paling sering dibahas. Apalagi bicara tentang upah Jogja yang sangat humble ini. Ketakutan upah naik akan membuat kebutuhan pokok meroket memang masuk akal. Tapi, apa benar demikian?

Kenaikan harga itu pasti, karena ada inflasi. Jadi nggak usah kaget kalau harga sempak hari ini lebih mahal ketimbang tiga tahun lalu. Dalam kasus ini, upah naik juga mengikuti inflasi yang ada. Jadi kalau berpikir upah naik membuat harga naik ya jelas ra mashok.

Tapi misal terjadi kenaikan gaji yang signifikan, apakah semua harga akan naik? Yang harus diingat adalah: upah pekerja hanya 20 persen dari total biaya produksi. Dan ini tergantung dari jenis industri. Industri jasa memiliki persentase upah pekerja lebih tinggi daripada industri lain seperti pangan dan manufaktur. 20 persen tadi idealnya, karena menurut survey World Bank upah pekerja hanya 12 persen dari total biaya produksi.

Misal Anda beli ayam geprek seharga 20 ribu. Maka 4 ribu di dalamnya adalah upah pekerja. Bahkan bisa hanya 2.400 kalau berdasar hasil survey. Jadi kalau upah naik signifikan, paling banter harga ayam geprek Anda jadi 21 ribu. Ini signifikan ya, kira-kira upah sampai naik 10-20 persen.

Jadi ya, para Sobat Narimo ing Pandoom, kalau UMR Jogja naik, harga mi ayam nggak akan naik secara ugal-ugalan. Kabeh ki enek itungane, rasah wedi.

Justru yang lebih mudah membuat harga kebutuhan naik adalah kenaikan harga seperti BBM, tarif dasar listrik, atau pajak impor. Sebab, biaya ini menyumbang persentase lebih besar dalam produksi.

Upah naik membuat pabrik dan usaha tutup

Ketakutan pabrik tutup karena kenaikan upah ini juga lucu. Seolah-olah sebesar itu upah buruh dalam biaya produksi sebuah industri. Seperti penjelasan sebelumnya, upah buruh idealnya hanya 20 persen dari total biaya produksi.

Dari berbagai kasus usaha bangkrut, biasanya disebabkan oleh kenaikan dan kelangkaan bahan baku. Dan penyebab kenaikan ini sangat luas, dari bencana sampai hubungan bilateral. Sialnya, gaji buruh sering jadi opsi untuk menekan biaya produksi daripada biaya lain.

Dalam kasus perusahaan jasa apalagi startup kekinian, biaya marketing dan turunnya nilai investasi adalah faktor utama perusahaan merugi. Jadi pemecatan besar-besaran jangan dikira karena upah. Lihat dulu model bisnisnya, apakah hobi bakar uang dan nyari investor sana-sini? Bagaimana modal mereka dikelola, apakah sering terbuang untuk hal-hal nonfundamental? Kalau demikian, tunggu saja fenomena gelembung pecah.

Jadi urusan upah tidak pernah mengganggu usaha secara signifikan. Justru upah malah menjadi tumbal untuk sebuah usaha bertahan. Entah dijadikan alasan seperti cocot penolak upah naik, atau malah langsung disunat seperti kasusnya Waroeng SS kemarin.

Upah naik itu egois

Nah ini argumen paling lucu. Tuntutan upah dipandang sebagai sikap egois, baik kepada bos atau kepada buruh di daerah lain. Yang lagi ramai sih geger antara buruh Cikarang dengan karyawan milenial SCBD (yang sebenarnya buruh juga). Banyak yang menyebut serikat buruh egois menuntut kenaikan gaji ketika karyawan SCBD diupah rendah.

Ketawanya ditahan dulu, tak jelasne sek.

Pertama tentang masalah relasi buruh-bos. Seolah-olah boss ini adalah penyelamat dan buruh adalah budak. Lha wong buruh sudah bekerja sesuai kebutuhan boss, ya sudah kewajiban boss untuk membayar upah. Buruh juga berhak mendapat kenyamanan dan perlindungan dalam pekerjaan, salah satunya kenaikan upah yang sesuai Kriteria Hidup Layak.

Kalau perkara antarburuh, ya tolong logikanya dipakai. Mosok semua buruh harus nelangsa seperti buruh di SCBD. Kalau ada buruh di daerah lain yang punya nilai tawar tinggi sehingga bisa menuntut upah, ya jangan iri! Justru Anda yang merasa upahnya kelewat rendah berhak dan wajib menuntut kenaikan upah demi memenuhi KHL.

Masak situ minta kita semua sengsara? Agak laen kau.

Tapi namanya argumen goblok, ya pasti akan ra mashok dalam nalar. Saran saya, mending turu daripada terlihat goblok dengan menolak kenaikan upah yang nantinya akan menyusahkan diri sendiri.

Orang gaji naik kok pada susah, logikanya di mana?

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Buruh Minta Naik Upah Melulu karena Masalah Dasarnya Memang Itu

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version