Memasuki musim hujan seperti saat ini, adalah hal yang wajar ketika saya mengingat lagi masa-masa awal saya berada di Pulau Jawa. Bukan, ini bukan bicara masalah romantisme macam anak indie yang merasakan dunia akan berhenti sejenak ketika gerimis dan hujan datang menyerang.
Tulisan ini juga juga bukan untuk membahas gerimis, hujan, dan Jogja atau sejuta hal lain yang selalu diromatisasi oleh semua wajah dan persepsi itu. Bukan soal cinta-cintaan yang menye-menye, juga bukan soal UMK dan UMP-nya yang sepertinya tidak akan selesai dibahas itu. Apalagi kalau sudah masuk ranah “KTP ndi, Bos?” Saya yang perantauan ini bisa apa? Toh, awal saya berada di Pulau Jawa ya saya menetap di Kota Surabaya. Sewindu pula, ye, kan?
Saya mau bicara masalah shock culture saya ketika berada di kota (Surabaya). Di dunia berbeda 180 derajat dengan apa yang saya alami di Wakatobi. Ini bicaranya soal yang baik dan menyenangkan dari hujan, kok.
#1 Pertama kali mandi di sungai
Jangan tanya bagaimana saya bisa dengan entengnya menganggap aliran sungai adalah sesuatu yang besar. Di kampung saya, bahkan got saluran air saja tidak ada. Tidak terlalu mengherankan, di daerah tandas macam kampung yang didukung lokasinya yang sangat dekat dengan laut, akan lebih mudah jika limbah cair langsung saja dibuang ke laut menyatu dengan zat cair lainnya. Terlihat sangat tidak ramah lingkungan, tapi karena memang kuantitasnya yang tidak banyak, kami beranggapan bahwa itu sudah langsung menyatu dengan laut yang jauh lebih banyak dan luas.
Demi melihat aliran sungai pertama kali, saya terkagum-kagum. Begitu sangat berkelas apa yang terjadi dengan zat cair di daratan yang lebih luas. Zat cair benar-benar harus melalui proses yang panjang dan berliku sebelum menemukan saudaranya (zat cair lainnya) di laut.
Bisa dipastikan, tradisi buang limbah cair sisa langsung ke laut adalah hal yang agak mustahil. Bahkan oleh mereka yang tinggal di daerah pesisir macam Surabaya. Mbantul juga, sih. Paling mentok ya nelayan yang memang rumahnya di pinggir laut. Itu pun kalau ketahuan lembaga lingkungan hidup, bisa jadi bahan diskusi bahkan jurnal ilmiah.
Sebagai kebiasaan lama di kampung yang agak sulit dihilangkan, melihat air adalah melihat kehidupan. Untuk memastikan bahwa air di aliran sungai adalah benar-benar air yang terbentuk dari 2 atom hidrogen dan 1 atom oksigen yang tentu saja sudah mengalami begitu banyak sekali pencampuran hal-hal yang dibuang dengan sengaja atau tidak sengaja ke sana, saya harus mencobanya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merinding merasakan betapa air sungai tidak semerdeka air laut. Air sungai ternyata begitu tidak layak untuk dicoba diminum, dikumur pun tidak. Maka untuk pertama kali juga, mandi dan berenang di air (terutama sungai), mulut saya tidak sekalipun saya buka. Bahkan selama kurang lebih 30 menit masa percobaan jenis air dari sungai saat itu.
Keanehan lain (bagi teman saya yang lebih dulu lihat sungai) adalah karena shock culture saya ini terjadi saat usia saya sudah 19 tahun. Hal yang sangat tidak wajar bagi mereka yang mencoba berenang di air sungai pada usia sekolah dasar.
#2 Berburu kodok/katak
Pelajaran mengenai perbedaan kodok dan katak sudah saya dapat sejak sekolah dasar. Salah satunya bahwa kodok itu punya kulit yang lebih kasar dan kering serta ada bintik-bintiknya. Katak sebaliknya, memiliki kulit yang lebih halus dan basah. Tapi ada pepatah (sepertinya) kuno yang mengatakan seperti ini, “Teori tanpa praktik, seperti orang lumpuh ingin berjalan”. Itu yang saya alami dengan belajar perbedaan kodok dan katak dulu ketika sekolah dasar.
Maka saat sadar bahwa komunitas kodok/katak hidup sangat bebas di Pulau Jawa (bahkan lebih bebas dari komunitas kepercayaan tertentu), hal yang saya lakukan pertama kali adalah memastikan ilmu yang dulu saya dapat ketika sekolah dasar adalah benar.
Berburu kodok/katak adalah hal yang lazim saat musim hujan sampai sekira dua tahunan saya di Surabaya. Tujuannya? Awalnya ya biar tahu bedanya katak dan kodok. Istilahnya praktek ilmu, lah. Namun, setelah itu? Ya pokoknya tangkap aja dulu, entah nanti mau diapain. Bahkan kadang saya kumpulkan 5 atau 6 kodok/katak hanya untuk mendengarkan mereka berbunyi. Untungnya saat itu, komunitas pecinta hewan belum semengerikan sekarang (sampai saat ini saya belum tahu ada komunitas pecinta kodok/katak atau tidak). Dan lagi, teman-teman saya yang menyaksikan kegoblokan saya ini tidak ada yang merekam lantas mengunggahnya ke media sosial lalu ditambah narasi provokatif. Untung saja.
#3 Mengikuti agenda banjir karena hujan
Hanya karena daerah tandus, di pesisir pantai dan tidak ada saluran got dan pembuangan, bukan berarti sebelum ke Jawa saya tidak mengalami banjir. Pada waktu-waktu tertentu kampung saya mengalami banjir rob. Apalagi rumah saya dibangun di atas tanah yang awalnya adalah laut yang sudah direklamasi. Reklamasi di kampung saya ini, saya ceritakan kapan-kapan.
Saat pasang tertinggi terjadi pada bulan purnama besar, sering sekali kampung kebanjiran. Walau rumahnya tidak sampai kena. Ya paling nggak jalanannya tergenang.
Namun, genangan banjir rob yang biasa terjadi di kampung saya itu seperti sirna musnah ketika saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana banjir sesungguhnya di kota besar di Pulau Jawa, terutama di Surabaya. Ada campur rasa antara merinding, bangga, tapi juga takut.
Merinding karena saya akhirnya merasakan bagaimana air yang biasanya saya anggap sebagai teman itu berubah. Lebih condong jadi musibah, sekarang. Bisa dibayangkan, saya yang terbiasa dengan badai di tengah laut justru merinding ketika banjir yang terjadi di tengah daratan. Aneh, tapi nyata.
Walau sebenarnya ini bisa jadi hal terkoplak yang saya rasakan, tetap saja rasa bangga itu ada. Bayangkan, bermula dari hal yang biasanya hanya bisa saya saksikan di televisi, pada akhirnya banjir itu sudah saya rasakan sendiri. Sudah macam fans yang ketemu idolanya. Bahkan beberapa kali mengalami banjir ketika ngekos di daerah dekat bantaran sungai, saya malah ikutan bergembira. Mau orang bilang saya ndeso, bodo amat. Memang saya dari desa, kok.
Yang paling tidak masuk akal adalah ketakutan yang saya alami. Mungkin karena berangkat dari berita horor perihal banjir yang sering kali saya tonton di televisi sebelum ke Pulau Jawa, ketakutan akan banjir ini bikin saya juga sering parno. Namun, ketakutan saya bukan kepada keselamatan saya. Lebih kepada apa yang ditinggalkan banjir setelah surut. Kos yang bau apeknya tidak hilang-hilang dan barang-barang kos saya yang harus saya relakan kerusakannya akibat banjir. Bajingan tenan!
BACA JUGA Culture Shock Orang Wakatobi yang Pertama Kali Menginjak Pulau Jawa dan tulisan Taufik lainnya.