Terbiasa tinggal di negara tropis seperti Indonesia, bikin saya senang dan terharu saat pertama kali melihat salju di Jepang. Saat itu ingin sekali rasanya tidur di atas “kasur putih” itu, main lempar-lemparan bola salju, bikin boneka salju, atau mencoba rasa serutan es yang dikepal dan diberi sirup. Hehehe. Senang sih lantaran keinginan-keinginan itu bisa terwujud di negara dengan 4 musim seperti Jepang.
Namun, setelah beberapa saat tinggal di Jepang, kenyataan yang saya bayangkan dari negara dengan 4 musim tak seindah bayangan. Apalagi kalau dengar berita kecelakaan karena licinnya jalan setelah turun salju. Duh. Selain itu, musim panas di Jepang suhunya bisa mencapai 40 derajat Celcius, lho. Jangan tanya rasanya seperti apa, yang jelas gerahnya minta ampun. Saya pernah mandi sehari sampai tiga kali saking gerahnya menghadapi musim panas.
Berbekal dari pengalaman tersebut, saya mau membagikan 3 hal nggak enaknya tinggal di negara 4 musim seperti Jepang.
#1 Perubahan cuaca yang ekstrem
Saya tiba di Jepang pertama kali pada bulan Oktober, tepatnya di musim gugur. Cuaca saat itu sejuk dan mulai dingin. Kalau pakai mantel bikin gerah, apalagi setelah berjalan jauh. Saat masuk musim dingin, barulah saya merasakan bagaimana dinginnya suhu di bawah 5 derajat seharian.
Awalnya saya ragu untuk menyalakan pemanas ruangan karena belum tahu bakal bagaimana tagihan listriknya. Benar saja, setelah mencoba full sebulan pakai pemanas ruangan, tagihan listriknya lebih dari 1,5 juta rupiah. Busyet. Pengalaman itu akhirnya membuat saya memikirkan trik menyetel pemanas ruangan.
Begitu juga saat musim panas tiba, tagihan listrik kembali melonjak. Akhirnya demi penghematan, saya membeli kipas angin. Musim panas di Jepang itu benar-benar bikin gerah karena kelembapan udaranya tinggi. Badan gampang pliket dan rasanya kepingin mandi terus. Namun, di musim panas, langit biasanya sangat cerah dan bagus. Anak-anak senang saat musim panas tiba lantaran bisa puas bermain di luar rumah dan ada liburan musim panas. Gedung tanpa AC di Jepang nggak memungkinkan untuk pembelajaran di sekolah. Panasnya Indonesia mah nggak ada apa-apanya, Gaes.
Selain perkara tagihan listrik, perubahan cuaca dari 40 derajat Celcius di musim panas menjadi sekitar 5 derajat Celcius (pernah mencapai minus 2 derajat Celcius) bikin kita harus beradaptasi agar daya tahan tubuh tetap terjaga. Termasuk soal minum banyak saat musim panas dan makan minum yang hangat-hangat saat musim dingin tiba. Tak lupa memakai krim pelembap saat kedua musim itu tiba. Saat musim dingin, kulit dan bibir cenderung pecah-pecah dan gatal, bahkan kalau punya kulit yang cenderung sensitif bisa sampai berdarah juga.
Musim semi dan musim gugur di Jepang sih memang musim favorit. Selain ada pemandangan sakura saat musim semi dan momiji saat musim gugur, cuacanya cenderung nyaman untuk tubuh. Tapi kalau boleh pilih, saya lebih suka musim gugur, sih.
#2 Boros pakaian
Salah satu hal yang paling bisa dilakukan untuk beradaptasi terhadap perubahan musim adalah mengganti pakaian yang kita pakai. Nggak seperti di Indonesia di mana satu baju bisa nyaman dipakai sepanjang tahun, di negara 4 musim seperti Jepang hal itu nggak berlaku.
Saat musim dingin, mau nggak mau kita harus memakai mantel/jaket tebal (atau pakaian berlapis, heat tech misalnya). Musim gugur dan musim semi memakai sweater tipis agar tetap hangat tetapi nggak kegerahan saat beraktivitas. Kalau musim panas sih enak, pakai kaos saja sudah cukup.
Sebagai muslimah, sebenarnya nggak ada yang ekstrem banget soal fashion pergantian musim. Jilbab mah sepanjang tahun bisa dipakai, hanya saat musim panas mungkin lebih nyaman pakai kain yang bikin sejuk. Kadang kalau pakai jilbab dan jalan di siang hari musim panas yang terik, saya dilihatin orang-orang, lho. Mungkin orang Jepang mbatin, “Apa nggak kepanasan, ya?” Hehehe. Saat musim dingin tiba, pakaian bisa berlapis-lapis dan memakai penutup kepala sudah dianggap biasa, makanya pakai jilbab juga nggak dipandang aneh.
Yang jelas untuk berhemat, di Jepang ada istilah koromogae, alias mengganti pakaian. Pakaian dan selimut musim dingin disimpan setelah selesai musim dingin agar bisa dipakai tahun depannya lagi. Begitu juga dengan musim lainnya. Kalau kita punya berat badan yang stabil sih enak, nggak perlu menyesuaikan ukuran. Tapi yang perlu diingat, tren fesyen tiap tahun pasti berubah, itu yang biasanya bikin kita pengin beli baju baru lagi. Hehehe. Pokoknya soal pakaian jelas lebih boros di negara 4 musim, deh.
#3 Puasa dengan durasi panjang di musim panas
Bagi yang muslim, berpuasa saat bulan Ramadan di Indonesia tiap tahun rata-rata sama durasinya. Dari saya kecil sampai sekarang, sahur sekitar pukul 4 pagi dan buka puasa sekitar pukul 6 sore. Geser-geser beberapa menit lah, nggak sampai setengah jam.
Ndilalahnya, selama 3 tahun tinggal di Jepang, saya selalu berpuasa di bulan Ramadan saat musim panas. Tentu saja butuh penyesuaian perihal bangun pagi untuk sahur. Kalau durasinya sih nggak masalah, tapi sahur pukul 2 pagi itu sungguh perjuangan. Setelah subuh, biasanya saya tidur lagi karena aktivitas pagi biasanya dimulai pukul 7 atau 8 pagi. Lumayan kan masih ada jeda waktu sekitar 5 jam untuk istirahat. Tapi, ada juga lho teman-teman saya yang sengaja tidur di akhir karena kalau tidur sebelum sahur, mereka suka kelewatan. Wes, pokoknya bangun untuk sahur di Jepang penuh perjuangan, deh.
Sementara itu, buka puasa di Jepang biasanya sekitar pukul 7 malam. Iya, durasi puasanya memang sekitar 16-17 jam, lebih lama sedikit ketimbang Indonesia yang rata-rata durasi berpuasanya 14 jam. Saat musim panas, waktu subuh itu sekitar pukul 3 pagi dan isya pukul 8 malam. Wow banget, kan? Sebaliknya kalau sedang musim dingin, waktu subuhnya sekitar pukul 5 pagi dan isya pukul 7 malam.
Pemandangan negara 4 musim memang sangat cantik dan menarik, Gaes. Tapi, orang yang tinggal di sana biasanya punya fisik dan mental yang kuat. Soalnya kerja di luar ruangan saat musim dingin itu beneran butuh usaha luar biasa, lho. Untung saja ya negara kita cuacanya bisa enak sepanjang tahun, jadi kita nggak perlu merasakan panas dingin yang ekstrem dan gonta-ganti pakaian seperti di Jepang.
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi