Nama Bong Joon Ho melesat ke seluruh penjuru dunia setelah film fenomenalnya ‘Parasite’ memenangi kategori Best Picture Oscar 2019. Padahal sebelum Parasite, Bong telah menghasilkan film-film bagus yang lebih duluan memenangkan hati saya (hehehe). Sebut saja Mother, The Host, dan favorit saya Memories of Murder.
Namun kalau kita kulik lebih dalam, dunia perfilman Korea Selatan nampaknya sudah berjaya sejak lama. Sudah barang tentu bahwa Bong Joon Ho menjadi salah satu pionir pembuka pintu ke audience yang lebih besar. Tetapi di Korea sana, memang banyak filmmaker lain yang karya-karyanya tak kalah fenomenal. Pun menjuarai festival-festival internasional.
1. Kim Ki Duk
Kim Ki Duk adalah filmmaker Korea Selatan yang sebagian besar karyanya terasa arthouse banget. Film-filmnya berkisah seputar kemanusiaan, hubungan sosial, hakikat manusia, dan hal-hal mendasar lainnya.
Diramu dengan script yang minim dialog, Kim mencoba menyuguhkan adegan seolah hanya dengan gerak gerik pemainnya. Meski tak banyak bersuara, film-film Kim justru menjadi media kontemplatif penontonnya.
Film Kim Ki Duk favorit saya berjudul ‘Spring, Summer, Fall, Winter … and Spring’. Judul yang sangat panjang yang sebanding dengan pesan atau makna yang tersampaikan. Perjalanan seorang lelaki mulai dari lahir hingga menjadi murid biksu yang hidup di kuil di tengah danau serta konflik yang ia alami selama masa demi masa hidupnya.
Selain itu, Kim juga menghasilkan karya fenomenal lain seperti Pieta, Moebius, The Isle, Samaritan Girl, The Bow, dan 3 Iron. Sejak film pertamanya, Crocodile, pada tahun 2006, Kim telah menghasilkan 21 film panjang. Sineas satu ini telah malang melintang di dunia festival internasional. Pieta mendapatkan penghargaan tertinggi di Venice Internasional Film Festival—Golden Lion. Penghargaan sutradara terbaik untuk kategori Silver Lion VIFF berkat 3 Iron, dan masih banyak lainnya. Tak mengherankan kalau sineas muda Indonesia, Wregas Bhanuteja menyebut Kim Ki Duk sebagai salah satu filmmaker yang banyak menginspirasinya, baik secara teknik maupun estetik.
2. Lee Chang Dong
Jauh berbeda dari Kim Ki Duk yang menempuh pendidikan Seni Rupa di Paris, Lee Chang Dong mengambil jurusan Sastra Korea di Daegu, Korea Selatan. Maka masuk akal, jika profesi yang ditekuninya dahulu bukanlah sutradara, melainkan novelis.
Pada tahun 1997, Lee membuat film panjang pertamanya berjudul Green Fish, yang berhasil memenangi penghargaan dalam dan luar negeri. Selain itu, sampai sekarang, Lee telah membuat 5 film panjang lainnya, yakni Peppermint Candy, Oasis, Secret Sunshine, Poetry, dan Burning. Poetry adalah favorit saya.
Sutradara yang pernah menjabat menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Korea Selatan ini, bahkan pernah terpilih menjadi jury member untuk Cannes Internasional Film Festival tahun 2009. Karya-karyanya telah berkelana ke festival film internasional, dan kerap bertengger memenangi kategori di sana.
Layaknya Poetry yang memenangi Best Screenplay di CIFF 2010, Oasis juga menyabet 4 penghargaan di VIFF 2003. Burning, film genre misteri yang rilis 2019 lalu menjadi film Korea pertama yang masuk dalam daftar 9 besar Best Foreign Language Film di Academy Awards. Sinema Lee Chang Dong tidak berkisar jauh dari tema-tema keseharian, pun kadang terlampau gelap. Potret dalam bingkai kameranya berpusat pada penderitaan, keputusasaan, kehilangan, keterpurukan, dan hal realistis lainnya.
3. Park Chan Wook
Bong, Kim, dan Lee sudah diulas. Tidak genap jika nama yang satu ini tidak diulas di sini. Park Chan Wook, seorang filmmaker Korea Selatan –yang juga senior Bong Joon Ho, yang juga mendapatkan nama besar di dunia internasional berkat karya-karyanya.
Dasar filsafat yang kental dalam diri Park nampaknya memberi sedikit banyak pengaruh pada film-film Park yang berbeda dari film Korea kebanyakan. Bagi saya, secara teknik dan estetik, karya-karya Park berada pada level yang berbeda. Sebut saja Oldboy, Sympathy for Mr. Vengeance, dan Lady Vengeance. Ketiganya memiliki satu tema besar, yakni pembalasan dendam. Suatu aspek kehidupan yang diapproach Park dari berbagai sisi berbeda, yang sulit sekali penonton temukan di film lain pada masanya.
Film favorit lainnya tentu saja The Handmaiden, Thirst, dan Joint Security Area. Jika Anda penyuka thriller, crime, misteri, menonton karya Park akan menjadi jauh lebih menyenangkan. Perihal atensi internasional, Park Chan Wook berhasil menghantarkan anak-anaknya memenangi banyak penghargaan.
Yang paling fenomenal, Oldboy mendapat penghargaan tertinggi kedua di CIFF-–Grandprix. The Handmaiden juga memenangi penghargaan BAFTA untuk kategori Best Film not in The English Language. Sama seperti Lee Chang Dong, Park justru lebih dahulu pernah menjadi jury member di CFF 2006. Pengakuan dunia internasional terhadap karya-karyanya tak perlu diragukan lagi.
Bong Joon Ho dan tiga filmmaker tadi sukses mengangkat nama Korea Selatan di dunia internasional. Banyak karya yang mampu menjadi medium hiburan sekaligus perenungan. Semoga kelak Anda punya kesempatan untuk menonton film-film mereka.
BACA JUGA Bagaimana “The Host” (2006) Bicara Soal Pemerintah yang Tidak Becus Menangani Krisis dan tulisan Maria Monasias Nataliani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.