Kalau mendengar nama Kota Batu, kita pasti akan langsung terbayang soal kota kecil nan indah di tengah kaki gunung, hawa sejuk, buah apel, dan destinasi wisata. Nggak salah, sebab begitulah Batu mengidentifikasi dirinya, dan begitulah Batu dikenal oleh banyak orang. Batu memang sebuah kota kecil yang ada di kaki gunung, kota dengan hawa yang sejuk yang terkenal dengan buah apel serta deretan tempat wisatanya.
Sayangnya, pemahaman sebagian orang terhadap Kota Batu ya cuma mandek sampai di situ saja. Bahkan nggak sedikit orang Batu sendiri yang pemahaman tentang kotanya juga cuma mandek di situ. Banyak orang yang nggak mengenal Batu sampai ke akar-akarnya. Padahal Kota Batu punya fakta menarik yang jarang dibicarakan banyak orang, termasuk sebagian orang Batu sendiri.
Nah, sebagai orang Batu, izinkan saya memaparkan beberapa fakta tentang Kota Batu yang jarang dibicarakan dan diketahui banyak orang.
#1 Kota Batu pernah terkenal dengan perkebunan kina
Bicara Batu dan perkebunan, pasti kita akan langsung menyinggung perkebunan apel, jeruk, atau kentang. Memang sedari dulu sudah menjadi komoditas unggulan Kota Batu. Namun ada satu masa Batu tak hanya terkenal dengan apel atau kentangnya. Batu juga pernah kondang akan perkebunan kina.
Di masa penjajahan Belanda, Kota Batu memiliki perkebunan kina yang terletak di bagian utara, tepatnya di Dusun Junggo. Perkebunan ini tercatat di publikasi Gids voor Batoe en Omstreken dari Kerajaan Belanda tahun 1934. Dalam publikasi tersebut, perkebunan bernama Kina Onderneming Djoenggo (Kina Company Djoenggo) menjadi salah satu destinasi wisata yang diperuntukkan bagi wisatawan Belanda.
Keberadaan perkebunan kina ini juga diperkuat dalam tesis Perubahan Struktur Ekonomi Lokal: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa dari Mangku Purnomo dari IPB tahun 2005. Perkebunan ini menjadi salah satu aset penting Belanda yang ada di Kota Batu. Dalam tesis tersebut disebutkan perkebunan kina di Kota Batu dibangun bersamaan dengan dibangunnya Selecta (diperkirakan akhir 1800-an hingga awal 1900-an).
Perkebunan kina di Desa Tulungrejo mulai digalakkan pada abad 19 bersamaan dengan tanaman kopi, karet hevea, dan cokelat. Luas tanaman kina pada tahun 1922 menurut Landbouwatlas van Java en Madura, Weltevreden, 1926, Jilid 2 Hal 92 (dalam Hiroyosi Kano) adalah 507 Ha, khusus di afdeeling Malang.
Adanya perkebunan kina di Kota Batu tentunya nggak lepas dari sejarah panjang kina di pulau Jawa. Franz Wilhelm Junghuhn adalah pelopor budidaya kina di pulau Jawa pada pertengahan abad ke-19. Dalam rentang 1856-1862, pertumbuhan tanaman kina di pulau Jawa melonjak dari ratusan hingga jutaan pohon. Pusatnya ada di daerah Bandung, tepatnya di Ujungberung.
Namun perkebunan kina ini nggak bertahan lama. Ketika Jepang mengambil alih Indonesia dari Belanda, perkebunan kina yang ada di Kota Batu mulai banyak yang rusak dan nggak produktif sebelum akhirnya mati setelah Indonesia merdeka. Sayangnya, nggak banyak catatan yang membahas kaitan Kota Batu dan kina.
#2 Apel Batu sudah nggak sebagus dulu, tapi tetap dibangga-banggakan
Betul bahwa Batu terkenal dengan buah apelnya. Untuk waktu yang sangat lama, apel Batu merajai “skena” apel dan buah-buahan di level nasional, bahkan di level internasional. Pada masanya, kualitas apel Batu nggak main-main. Maka nggak heran jika Kota Batu sangat membanggakan apelnya dan menjadikan apel sebagai identitasnya.
Sayangnya, kejayaan apel Batu sudah perlahan luntur. Mungkin dalam satu dekade terakhir, kualitas apel Batu ini benar-benar menurun. Perubahan iklim, kualitas tanah, degradasi pohon apel, hingga berkurangnya lahan menjadi beberapa penyebabnya. Penurunan kualitas ini juga diikuti dengan penurunan produksi apel. Dan selama itu pula, para petani sudah berkali-kali sambat akan penurunan kualitas apel Batu.
Nah, penurunan kualitas apel Batu ini entah mengapa kayak nggak ditanggapi secara serius oleh Pemkot. Selama ini, pemkot cuma umbar janji manis akan mengatasi penurunan kualitas apel, tapi nyatanya belum ada hasilnya. Pemkot malah terus membanggakan apel Batu, koar-koar bahwa apel Batu masih bagus kualitasnya. Padahal kalau bicara kualitas, apel Batu sudah kalah dengan apel dari Nongkojajar (Kabupaten Malang).
Jadi, apa gunanya membanggakan apel sebagai identitas kalau kualitas apelnya (yang sudah menurun) nggak diperbaiki?
#3 Jadi tempat “pelarian” Bung Karno di awal kemerdekaan
Kalau bicara soal pengasingan Bung Karno, kita cuma akan bicara soal Ende, Bengkulu, atau mungkin Berastagi dan Parapat. Padahal ada satu kepingan soal pengasingan atau “pelarian” Bung Karno, yaitu Kota Batu. Keberadaan Bung Karno di Batu hanya dicatat dalam sejarah sebatas “kunjungan”, bukan pengasingan atau “pelarian”.
Dalam tesis Perubahan Struktur Ekonomi Lokal: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa, ketika membahas sejarah Desa Tulungrejo di Kota Batu, Mangku Purnomo memaparkan bahwa ada kaitan yang cukup kuat antara Bung Karno dan Kota Batu (lebih tepatnya dengan Selecta, yang berada di Desa Tulungrejo).
Pada masa revolusi fisik setelah kemerdekaan, sekitar 1946-1947, Bung Karno sempat melarikan diri dari kejaran Belanda ke Kota Batu. Bung Karno, bersama kabinetnya (termasuk Bung Hatta), menjadikan Kota Batu (tepatnya Desa Tulungrejo) sebagai pusat pengendalian pemerintahan sementara. Beliau berada di Selecta (Hotel Bima Sakti), sementara Bung Hatta di Gedung Mimosa yang saat ini menjadi Balai Desa Tulungrejo.
Saat ini, kalau kalian berkunjung ke Selecta, tepatnya ke Hotel Bima Sakti, kalian akan menemukan catatan mengenai “kunjungan” Bung Karno. Namun dari semua catatan itu, nggak ada satu pun yang menyinggung tujuan beliau ke Kota Batu (tepatnya ke Desa Tulungrejo dan Selecta) adalah untuk “melarikan diri” dari kejaran Belanda dan mengendalikan pemerintahan.
Nah, dari ketiga fakta di atas, kita sekarang tahu Kota Batu nggak melulu romantisasi kota kecil, hawa sejuk, dan tempat wisata. Batu juga punya fakta lain yang lebih menarik. Tentang perkebunan kina yang kini terlupakan, apel yang tetap dibanggakan padahal kualitasnya menurun, dan “pelarian” Bung Karno yang hanya dicatat sebagai sebuah “kunjungan”.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Tidak Ada Hal Paling Menyebalkan dan Bikin Lelah selain Menjelaskan Perbedaan Kota Batu dan Malang.




















