Meski semakin populer dan merambah ke berbagai daerah, ada saja persoalan seblak yang bikin saya resah sebagai warga asli Sunda. Rasa-rasanya inovasi yang muncul malah sudah melenceng terlalu jauh dari kodratnya.
Orang-orang berinovasi dan berkreasi lebih jauh. Gimana caranya biar seblak ini menarik, beda dari yang lain, dan tentu saja, laris manis?
Jadi tidak heran kalau muncul berbagai varian. Dari segi penyajiannya, ada seblak basah (seperti biasa), kering, bakar, bahkan instan! Topping-nya juga semakin beragam. Mulai dari sosis, bakso, ceker, daging, tulang, hingga olahan seafood dan iga sapi.
Sebagai orang asli Sunda, saya turut senang dengan perkembangan ini. Makanan khas daerah saya diterima dan digemari. Sayangnya, semakin ke sini, saya kerap menjumpai hal-hal yang mengganjal. Kalau saya pikir lebih lanjut, malah sangat jauh dari citra seblak sebenarnya. Berikut saya cantumkan kejanggalan-kejanggalan itu.
#1 Seblak tanpa kerupuk
Serius, seblak itu bahan dasarnya kerupuk. Bahkan menurut salah satu versi, ide kuliner mula-mula berasal dari kreativitas warga Bandung zaman dulu.
Konon, saat itu persediaan kerupuk di Kota Bandung sangat melimpah. Ketika digoreng, kerupuk yang sudah lama tertumpuk tidak seenak yang baru dibuat. Mereka pun mulai mencari cara agar kerupuk itu tidak terbuang begitu saja. Maka jadilah makanan yang kita kenal dengan nama seblak.
Sayang, inovasi para penjual seblak sekarang sudah mulai kebablasan. Saya mulai sering kali mendapati seblak yang isinya malah didominasi mie, sosis, sayur, bakso aci, dan lain sebagainya. Kerupuknya hanya 1 atau 2 lembar saja atau bahkan nggak ada sama sekali.
Kalau sudah begini, saya jadi miris. Ini mah lelucon. Seblak tanpa kerupuk sama kayak nasi goreng tanpa nasi. Tapi, saya sadar kok, ini soal inovasi, kreasi, adaptasi, dan si-si lainnya yang malah jadi aneh.
Baca halaman selanjutnya: Inovasi yang bikin orang Sunda resah.
#2 Nggak pakai kencur, kehilangan jiwa
Salah satu bahan yang tak boleh terlupakan adalah kencur. Yups, bumbu yang satu ini anggaplah sebagai “rukun kedua”. Kencur membuat seblak memiliki aroma dan cita rasa yang khas. Dan awalnya, saya kira semua orang paham akan hal ini.
Ternyata, kenyataannya tidak begitu. Tinggal di Jawa Timur membuat saya sering bertemu dengan seblak yang nggak ada rasa kencurnya sama sekali.
Bumbu yang mereka pakai terbatas pada cabai dan bawang. Ketika pertama kali nyobain, lidah saya yang asli Sunda ini langsung bereaksi. Dengan kening berkerut, saya bergumam, “Kayak ada yang kurang.” Ternyata oh ternyata, kencurnya terlupakan.
#3 Tidak pedas atau menyengat
Sangat lumrah kalau di antara sekian banyak manusia, pasti ada saja orang yang nggak suka pedas, tapi pengen makan seblak. Maka, para penjual dengan senang hati melayani mereka dengan menu “seblak original”.
Nah, di sini, ada keanehan. Asal tahu saja, penamaan seblak diambil dari Bahasa Sunda nyeblak yang berarti ‘mengejutkan’. Kalimat semisal, “Hate meni pakseblak tadi hampir tisorodot.” Itu artinya “Hatiku sangat terperanjat tadi hampir terpeleset”
Ada juga yang bilang kata seblak sendiri merupakan kata serapan dari “segak” serta “nyegak”. Ini adalah 2 kata dalam Bahasa Sunda yang mempunyai makna menusuk hidung atau menyengat.
Dalam kasus seblak, arti ini relevan. Alasannya, karakter kuliner ini memang pedas, menyengat, karena aroma kencur yang cukup kuat, dan bikin hati terperanjat.
Makanya, kalau ada yang bilang “Beli yang ori,” seharusnya berarti dia “membeli seblak yang biasa. Artinya ya pedas”. Bukan malah sebaliknya. Wong dari sononya seblak itu pedas, kok!
Tapi, ya sudah. Mungkin memang nggak semua orang bisa memahami perkara bahasa ini. Namanya, sekali lagi, adalah inovasi.
Yah, meski namanya inovasi, sebagai orang Sunda, saya sempat resah juga. Saya sih masih bersyukur banyak orang masih suka seblak. Ada juga influencers yang nggak lelah mempopulerkan kuliner ini sesuai kodratnya.
Tapi kalau muncul yang lebih aneh lagi, saya akan semakin resah. Takutnya, yang orisinal kelak akan hilang dan terlupakan. Semoga tidak terjadi.
Penulis: Lilis Durotun Nafisah
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
