Saat saya membaca tulisan Mas Erfransdo tentang fenomena sekolah negeri yang kalah saing dengan sekolah swasta, saya jadi terdorong untuk memberi tanggapan. Pertama, karena pendidikan adalah bidang pekerjaan yang saat ini saya geluti. Kedua, saya termasuk ke dalam golongan orang tua yang lebih memilih memasukkan anaknya ke sekolah swasta daripada sekolah negeri.
Jadi begini. Ketika dalam tulisannya Mas Erfrando menyebut bahwa salah satu alasan orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah swasta adalah karena kualitasnya, saya setuju. Meskipun demikian, perlu digaris bawahi bahwa tidak semua sekolah swasta itu jualan kualitas. Yang cuma jualan plang sekolah juga ada. Maksud saya, secara kualitas mereka itu nol. Dalam hierarki, maaf loh ya, tapi sekolah ini peranannya tak lebih sebagai tempat menampung siswa-siswa yang bermasalah.
Sekolah swasta yang seperti itu, jelas bukan ancaman bagi sekolah negeri. Tapi, sekolah swasta yang berkualitas lah yang menjadi pesaing utama sekolah-sekolah negeri.
Lantas, apa yang sebaiknya sekolah negeri lakukan agar bisa bersaing dengan sekolah swasta?
Daftar Isi
Jemput bola, keluar dari zona nyaman
Soal persaingan antara sekolah negeri dan sekolah swasta ini, saya jadi ingat dengan cerita salah seorang kawan saya, seorang guru SD Negeri di Kabupaten Tegal. Di tahun ajaran ini, sekolah tempat kawan saya mengajar hanya mendapatkan 6 siswa saja. Usut punya usut, selain karena ada konflik internal antara kepala sekolah dengan lingkungan sekitar, keberadaan sekolah swasta yang baru di wilayah tersebut juga jadi penyebab kemerosotan jumlah peserta didik baru.
Menghadapi hal tersebut, ada baiknya sekolah negeri melakukan cara yang sama dengan apa yang dilakukan oleh sekolah swasta, yaitu sistem jemput bola. Guru sekolah negeri bisa datang langsung ke sekolah sasaran untuk sosialisasi, ataupun dengan cara mendatangi rumah-rumah calon siswa. Intinya, pepet terus jangan kendor. Sudah bukan jamannya lagi sekolah negeri diem-diem bae.
Seiring waktu, persaingan di dunia pendidikan akan semakin sengit. Kalau tidak mau keluar dari zona nyaman, tinggal tunggu waktu saja untuk ditinggalkan.
Perbaiki dulu kualitas sekolah negeri
Tapi, bergerak menjemput siswa baru juga tidak semudah itu. Ibarat kata orang mau jualan, kalau jualannya mau laku, ya barangnya harus bagus dulu. Sekarang, bagaimana orang tua calon siswa akan tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah negeri jika mereka tahu kualitasnya gitu-gitu aja? Terutama, soal pelayanan sekolah (dalam hal ini adalah guru) kepada siswa.
Tak jarang saya lihat guru-guru sekolah negeri yang mageran. Mungkin, dalam benak mereka (Bisa jadi benak sebagian besar ASN), ngapain harus capek-capek? Lha wong capek nggak capek bayarannya sama, kok. Ya mending nggak usah capek aja sekalian. Tidak perlu melakukan inovasi pembelajaran, tidak perlu update pengembangan diri, pokoke mulang ya mulang aja.
Bandingkan dengan sekolah swasta. Yang sekolah swasta jual itu kualitas. Jadi, kalau ngajar seenaknya sendiri, siap-siap saja dapat surat peringatan dari yayasan. Apalagi, jika sekolah swastanya adalah sekolah swasta yang punya nama. Kualitasnya pasti dijaga sekali. Mereka masih mending kehilangan guru daripada kehilangan kepercayaan dari siswa dan wali murid.
Sekolah negeri (saatnya) bikin program bermutu, biar makin banyak orang tahu
Cara lain yang bisa dilakukan oleh sekolah negeri agar tidak kalah saing dengan sekolah swasta yaitu dengan membuat program-program bermutu. Nggak usah program muluk-muluk yang endingnya susah dieksekusi karena kepentok dana. Program sederhana saja, asal positif, tentu akan terasa hasilnya. Untuk di tingkat sekolah dasar, program yang bisa dilaksanakan misalnya program mendongeng. Nggak ada salahnya loh setiap pagi sebelum memulai pelajaran guru mendongeng dulu untuk siswa-siswanya. Mendongengnya tentu saja yang ekspresif ya, Bu Guru. Jangan modal membaca doang. Ngantuk nanti siswanya.
Program lain yang cocok untuk siswa SD, misalnya program mengenal lingkungan dengan cara mengajak siswa berkeliling dan menyapa warga sekitar, menanam bunga bersama, guru dan siswa bermain bersama, pembiasaan-pembiasaan baik, dll.
Lalu, bagaimana dengan SMP maupun SMA negeri?
Ya sama saja. Intinya, gimana caranya biar sekolah itu jadi tempat yang menyenangkan untuk murid-murid. Dengan kata lain, siswa nggak cuma belajar di dalam kelas, tapi ada pengembangan karakter lewat program-program bermutu sekolah.
Posting itu penting
Jangan lupa, pelaksanaan program-program tersebut didokumentasikan lalu di posting di media sosial sekolah. Biar apa? Biar orang-orang pada tahu. Kalau sudah tahu, nanti kan bisa jadi bahan cerita. ‘’Eh, di sekolah itu bagus loh ada kegiatan ini ini itu.”
Begitu maksudnya.
Nggak papa dibilang pencitraan. Lha wong hare gene pencitraan itu memang perlu, kok. Tapi, coba lihat, berapa banyak sekolah negeri yang media sosialnya diurus dengan baik?
Pada akhirnya, sekolah negeri dan sekolah swasta akan selamanya jadi rival. Perkara sehat atau tidaknya persaingan tersebut, dalam hal ini, pemerintah harus segera turun tangan. Benahi regulasinya, beri sokongan dana untuk sekolah negeri agar bisa meningkatkan sarana dan prasarana, serta tingkatkan kontrol, sehingga sekolah negeri tetap bisa bersinar tanpa perlu meredupkan cahaya sekolah swasta.
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya