Kado tahun baru bagi warga Jogja memang istimewa. Tidak hanya wajah baru Tugu serta meroketnya angka kasus positif Covid-19, tapi Peraturan Gubernur (Pergub) yang sah pada tanggal 4 Januari kemarin. Pergub No. 1/2021 ini berisi perkara penyampaian pendapat. Termasuk di dalamnya larangan menyuarakan pendapat di lokasi tertentu.
Lokasi yang dilarang adalah: Malioboro, Gedung Agung, Kompleks Kraton Yogyakarta, Kompleks Kadipaten Pakualaman, serta Kotagede. Apakah Anda merasakan apa yang saya rasakan?
Benar! Warga tidak bisa lagi demo di depan Gedung DPRD dan Kantor Gubernur alias Kepatihan. Tidak ditulis secara eksplisit, tapi kedua pusat pemerintahan itu berada di area Malioboro. Dengan batasan 500 meter dari titik larangan, berarti tidak ada tempat di sekitar dua gedung tadi untuk demo.
Lha iki karepe piye? Area Nol kilometer yang jadi jujukan rutin aksi demonstrasi juga kena larangan ini. Lokasinya yang dalam zona larangan Gedung Agung serta Kraton Jogja membuat titik api paling tengah kota ini tidak bisa untuk demo lagi. Entah demi alasan pariwisata atau keistimewaan, jelas pergub baru ini terlalu nggatheli.
Lalu di mana lagi rakyat Jogja akan menyuarakan pendapat? Memang ada Gejayan yang dikenal sebagai titik bersejarah demonstrasi. Ada juga area Tugu Jogja yang selama ini menjadi titik Kamisan. Tapi, keduanya jauh dari telinga wakil rakyat serta Ngarso Dalem sendiri. Demo di depan kantor mereka saja bisa tidak didengarkan, apalagi di Gejayan? Paling yang mendengarkan hanya rektor UNY, Sanata Dharma, dan bakul boneka.
Lalu di mana warga Jogja bisa demo? Saya usulkan lokasi extraordinary yang bisa menjadi ide lokasi demo yang tepat. Setidaknya lokasi ini punya nilai filosofis dan spiritual tinggi, sehingga bisa membawa suara rakyat sampai tataran spiritual.
Makam Raja-Raja Imogiri
Lokasi ini diusulkan oleh kanal YouTube Buruh Jogjakarta. Terdengar aneh, demo kok di makam. Eh jangan salah, justru makam Imogiri adalah solusi jitu dalam menyuarakan aspirasi. Bahkan tidak perlu repot-repot bikin spanduk lucu atau berorasi sampai suara habis.
Dengan berpegang dalam falsafah akar hening, kita bisa menyuarakan aspirasi langsung kepada leluhur Kasultanan Yogyakarta. Tidak tanggung-tanggung, yang kita tuju adalah Sultan Agung serta belasan raja Jawa yang dimakamkan di sana. Kecuali sang pendiri Mataram Panembahan Senopati dan Sultan HB II yang dimakamkan di Kotagede. Sayang sekali, makam kedua tokoh besar ini masuk dalam restricted area.
Tentu cara demo yang mengadu pada leluhur sangat njawani. Bagaimana tidak, suara Anda akan didengar sampai tataran spiritual lho. Tentu ini adalah cara jitu agar para leluhur menegur dan menasehati Gubernur Jogja. Tentu melalui Sultan HB X sebagai perpanjangan lidah.
Parangkusumo
Lokasi kedua ini melibatkan politik bilateral. Jika Anda sudah muak dengan keputusan Pemda Jogja yang penuh estetika, mungkin Anda bisa wadul pada negara sebelah, yaitu Kerajaan Pantai Selatan. Ini tidak main-main. Aspirasi Anda akan didengar oleh Ratu Kidul yang punya kuasa atas pantai dan laut selatan Jogja.
Tentu pihak Pemda Jogja akan bergidik jika Ratu Kidul ikut menyuarakan aspirasi rakyat. Hubungan bilateral yang sudah terpelihara sejak berdirinya Mataram ini akan menjadi dukungan besar bagi keluhan masyarakat Jogja. Istilahnya, warga Jogja punya dekengan yang ngadi-adi bahkan dalam lingkup astral.
Goa Selarong
Lokasi menyuarakan aspirasi satu ini kental dengan simbolisme. Pada saat Perang Jawa, Pangeran Diponegoro menggunakan Goa Selarong sebagai pusat koordinasi pemberontakan. Dari gua yang dalamnya tidak sampai lima meter, perang berdarah yang jadi simbol perlawanan ini digerakkan.
Lokasi ini sangat cocok bagi Anda yang ingin mengkritik kebijakan jalan tol Jogja-Solo dan Jogja-Bawen. Toh dulu Pangeran Diponegoro juga melawan Belanda yang menggeser pathok makam leluhur blio demi membuka jalan.
Bukankah ini akan menjadi sejarah yang berulang? Goa Selarong kembali menjadi perlawanan terhadap pembangunan jalan tol yang jelas merengggut tanah tumpah darah warga yang terdampak. Selain itu, kita bisa menghidupi semangat Pangeran Diponegoro yang tanpa gentar melawan Belanda. Benar-benar simbolis kan?
*****
Ketiga lokasi tadi saya pandang sebagai titik api baru dalam menyuarakan pendapat. Dan memang terkesan lebih njawani daripada demo yang dianggap “budaya luar Jogja.” Jika usul ditolak bahkan dibatasi, maka hanya ada satu hal tersisa: minta tolong leluhur dan Ratu Kidul!
BACA JUGA Sejarah Minol di Jogja: Dari Kedai Pemabuk Sampai Lahirnya Minuman Oplosan dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.