Sebelum menulis artikel ini, saya pernah membahas berbagai privilese yang dimiliki warga Blora. Keunggulan yang terus terang tak mudah ditemukan di daerah lain. Tulisan tersebut bukan berniat membanding-bandingkan secara negatif, melainkan sebagai bentuk apresiasi terhadap potensi lokal yang memang layak untuk dibanggakan. Namun di balik segala keistimewaan tersebut, harus diakui kalau nama Blora masih belum terlalu menonjol.
Jika disandingkan dengan kabupaten tetangga seperti Bojonegoro, Rembang, atau Grobogan, Blora sering kali masih tampak satu langkah tertinggal. Oleh sebab itu saya akan mengulas beberapa faktor utama yang membuat pamor Blora tidak semoncer tetangganya.
Kurang arah dalam membangun citra daerah
Sebuah daerah akan jauh lebih mudah dikenali jika punya identitas yang kuat dan konsisten. Layaknya produk, yang memiliki merek jelas pasti lebih menempel di benak orang ketimbang yang tampil seadanya. Namun Blora tampaknya belum benar-benar serius membangun citra semacam ini.
Alih-alih mengeksplorasi potensi lokal yang khas, yang ditonjolkan justru gimik sesaat. Misalnya kaos bertuliskan “Duta Sego Pecel”. Bukannya memperjelas identitas, hal seperti ini malah menimbulkan kebingungan. Ini Blora mau dikenal sebagai apa sebenarnya?
Soalnya begini, kalau bicara soal pecel, nama Madiun jelas sudah melekat kuat sejak lama. Mereka tak sekadar menjadikan pecel sebagai makanan khas, tetapi juga menjadikannya bagian dari promosi wisata, festival tahunan, hingga identitas kota yang terpola dengan baik. Sementara di Blora baru muncul di kaos dan media sosial, tanpa jejak narasi yang utuh atau langkah konkret jangka panjang. Seolah-olah membangun branding cukup dengan konten lucu dan viral sesaat, habis itu ya selesai.
Padahal Blora masih punya modal luar biasa untuk membentuk citra daerah yang kuat dan autentik. Ada warisan budaya Samin, sosok Pramoedya Ananta Toer, kekayaan migas di Cepu, hingga identitas hutan jati terluas se-Jawa Tengah yang kini malah lebih banyak ditanami jagung. Sayangnya semua potensi yang ada itu justru belum digarap secara serius.
Tidak dilewati tol dan jalan Pantura
Untuk alasan kedua ini, sebenarnya Blora hanya kurang beruntung dari segi letak geografis. Kabupaten ini tidak dilalui oleh jalan tol maupun jalur utama Pantura, sehingga posisinya agak “terselip” di antara kabupaten lain yang akses transportasinya sudah lebih maju dan mudah dijangkau.
Akan tetapi bukan berarti Blora harus pasrah dengan kondisi ini. Banyak juga daerah lain yang tidak dilewati tol tapi tetap bisa tumbuh. Daerah-daerah tersebut pintar mengelola jalur-jalur lokal, memperbaiki koneksi antarwilayah, serta membangun daya tarik yang membuat orang-orang mau berkunjung meski jalannya tidak mulus.
Nah, karena itulah saya pikir Blora perlu lebih serius menyediakan kemudahan transportasi lokal dan meningkatkan promosi. Harapannya agar orang-orang penasaran dan tetap tertarik datang ke sini walaupun harus melewati hutan jati yang luas.
Lahan industri di Blora masih minim
Semakin banyak kawasan industri berkembang, semakin tinggi pula peluang perputaran ekonomi yang tercipta. Dari serapan tenaga kerja, masuknya investasi, hingga tumbuhnya usaha kecil pendukung di sekitar kawasan tersebut. Sayangnya, Blora masih belum memiliki infrastruktur industri yang signifikan.
Bukan berarti Blora kekurangan potensi. Ada sektor migas di Cepu, lahan pertanian yang luas, dan sumber daya alam yang melimpah. Tapi semua itu belum ditunjang oleh perencanaan kawasan industri yang matang. Belum ada wilayah yang secara serius disiapkan sebagai zona industri terpadu. Akibatnya, banyak pelaku usaha tumbuh secara sporadis, dan investor enggan datang karena tidak ada kepastian lokasi, akses, atau dukungan infrastruktur jangka panjang.
Sementara itu, Grobogan—yang berbatasan langsung dengan Blora—kini punya Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Sugihmanik di Kecamatan Tanggungharjo. Kawasan ini jadi pusat industri yang terorganisir, lengkap dengan dukungan kebijakan dari pemerintah daerahnya. Langkah ini tentu bukan hanya membuka peluang kerja bagi warga, tapi juga mendorong Grobogan lebih dikenal sebagai daerah ramah investasi.
Sebenarnya Blora bisa melakukan hal serupa. Hanya butuh kemauan untuk menyusun strategi yang lebih konkret dan memfasilitasi pertumbuhan industri dengan arah yang jelas tanpa grasa-grusu.
Itulah 3 alasan kenapa Blora masih kalah pamor dibanding kabupaten tetangga. Jangan salah sangka, ini bukan karena Blora jelek atau kurang potensial. Justru ia punya segudang potensi yang sayangnya belum dikelola dengan visi yang benar-benar jauh ke depan.
Kalau Blora cuma main di gimik dan tren sesaat, pamornya itu-itu saja. Yang dibutuhkan sekarang adalah arah yang jelas, langkah yang konsisten, dan tekad kuat. Potensi Blora harus jadi kenyataan yang bisa dirasakan semua warga, bukan cuma jadi wacana.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Blora, Tempat Tinggal Terbaik untuk Orang Bergaji Pas-pasan yang Mendambakan Slow Living.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
