Dari sejak awal masuk dunia pendidikan, dalam hal ini sekolah formal, wisuda adalah perkara paling penting ketimbang selembar ijazah yang dibungkus map rapi berisi lembaran-lembaran nilai, tak terkecuali untuk mahasiswa tingkat akhir banget. Itulah yang setidaknya saya rasakan. Namun ketika menginjak perguruan tinggi, di mana semua hal dipertanyakan secara radikal, bahkan keberadaan Tuhan juga kena sasaran, peristiwa wisuda pun mau tidak mau terkena pertanyaan macam begini: seberapa penting prosesi wisuda itu?
Perlu diketahui, prosesi wisuda itu maha penting bagi mahasiswa yang lancar-lancar saja masa studinya. Tidak bisa tidak, baju kebesaran wisuda dan toga itu wujud keberhasilan masa studi strata satu, sebagai sarjana. Tapi golongan mereka hari ini, harus menahan keinginan itu, pandemi memang sial, tapi egois untuk tetap ingin ada wisuda secara langsung jauh lebih tampak bodoh dan tolol.
Tapi bila prosesi wisuda itu dipertanyakan kepada mahasiswa tingkat akhir yang kuliahnya sampai los tujuh tahun, mentok banget masa studinya, maka paling tidak, ada dua tipe yang bisa digolongkan.
Pertama, mahasiswa tingkat akhir yang masuk golongan bayar wisuda tapi tidak berangkat ke lokasi wisuda. Bagi mereka yang kuliah sudah tujuh tahun lamanya, atau bahkan sampai delapan tahun karena mengambil dua kali cuti, mahasiswa-mahasiswa macam mereka lebih nyaman untuk tidak datang pada prosesi wisuda karena beberapa perkara. Perkara yang dimaksud seperti ribet, ngabis-ngabisin biaya keluarga di kampung, males foto-foto, dan wisuda hanya kebahagiaan semu. Singkat kata, mereka sudah merasa beruntung dengan predikat lulus dari kampus, bukan lolos.
Namun karena pandemi covid-19 masih menyebar di banyak tempat, kampus memilih untuk tidak melakukan prosesi wisuda seperti biasanya. Memang masih ada kampus yang ngotot melakukan prosesi wisuda dengan teknis ‘drive thru’ macam layanan kedai cepat saji, atau lewat online. Tapi bagi mahasiswa tingkat akhir yang usianya nyaris sewindu di kampus, inilah saatnya ‘bersikap bodo amat’ pada momen wisuda.
“Sing penting lulus,” kata salah satu temanku. “terus entuk ijazah.”
Banyak dari golongan pertama ini merasa beruntung dengan situasi sekarang. Belum lagi prosedural dan regulasi tugas akhir semakin ringan dijinjing. Meski perlu diakui fakta di lapangan beberapa mahasiswa golongan ini juga kedodoran beradaptasi. Paling tidak, kebijakan kampus untuk meniadakan acara wisuda adalah kebahagiaan sempurna tiada banding. Artinya tak tanggung-tanggung, lulus dimudahkan, prosesi wisuda ditiadakan.
Dan untuk golongan kedua adalah mereka-mereka yang merasa sial karena tak ada wisuda. Bukan apa-apa atau gimana-gimana, bagi golongan kedua menganggap wisuda adalah satu-satunya peristiwa yang paling bisa dibanggakan di depan orangtua dan sanak saudara. Kuliah suwe-suwe mosok ra enek wisudane. Barangkali itu kalimat yang bisa menggambarkan kondisi batin mereka sementara ini, selebihnya untuk kepentingan akun media sosial pribadinya.
Penjelasan kenapa mahasiswa tingkat akhir yang sudah lama banget di kampus masih punya kebutuhan untuk unggah foto wisuda di media sosial, kurang lebih, karena rata-rata mahasiswa yang kuliahnya lama berbanding lurus dengan relasi pertemanan yang luas. Bisa jadi mereka tidak lulus cepat karena memiliki keperluan untuk mengawal adik-adik tingkat di organisasi atau di komunitas. Jangan salah kira, bagi mereka pengkaderan adalah harga mati. Kesimpulannya pada titik ini, mereka tahu bahwa nikmat yang berlipat-lipat adalah pengakuan banyak orang dari generasi ke generasi, versi singkatnya, dianggap senior yang happy ending.
Bila ditelusuri memang tidak semua orang yang kuliah sampai tujuh tahun bisa berakhir baik-baik. Banyak juga dari mereka yang pindah kampus atau memilih tidak lanjut studi. Maka dari itu, keberhasilan mereka patut untuk dihargai dengan seremoni. Foto wisuda, setidaknya, adalah penanda keberhasilan mereka melawan ujian hidup.
Karena ditiadakannya wisuda, banyak kegundahan yang tiba-tiba melanda. “Bagaimana perasaan orangtua, kerabat-kerabat, dan juga para follower Instagramku?”. Saya kira benak mereka berkata begitu. Tapi yang keluar lebih banyak kalimat keluh macam begini, “wes suwe leh aku kuliah, ujung-ujunge wisudane online, ra seru, a*u ogh.”
“opo melu wisuda periode selanjute wae, yo?” tambahnya.
Tanpa menjawab pertanyaannya sendiri, roman wajah temanku yang masuk kategori tipe kedua itu berubah menjadi riang gembira. Senyum-senyum sendiri membayangkan prosesi wisuda yang entah kapan. Dan saya, junior mereka, hanya dapat mengangguk dan menyimpan rasa iba juga haru dalam-dalam.
BACA JUGA Perihal Cinta Kita Nggak Ke Mana-mana, Masih di FTV Aja dan tulisan H.R. Nawawi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.