Perjalanan Solo-Banyuwangi menggunakan Kereta Api (KA) Sri Tanjung tidak untuk penumpang manja. Harga tiketnya memang murah untuk perjalanan sejauh lebih dari 500 kilometer, tapi jangan salah, penumpang harus membayarnya dalam bentuk lain: kenyamanan. Selama 12 jam perjalanan kalian harus berdamai dengan banyak hal yang bisa saja membuat kalian tidak nyaman, seperti kursi yang sempit, suara obrolan penumpang lain, hingga beragam bau dari berbagai sumber yang mengusik hidung.
Itu semua yang saya rasakan ketika backpacker ke Banyuwangi beberapa waktu lalu. Saya memutuskan naik KA Sri Tanjung dari Solo ke Banyuwangi supaya hemat, namanya juga backpacker. Saya memilih kereta ekonomi dengan kesadaran penuh akan risiko-risikonya, termasuk risiko ketidaknyamanan yang akan dihadapi selama 12 jam ke depan.
Akan tetapi, sepertinya, saya terlalu memandang negatif kereta ekonomi satu ini. Memang ada banyak ketidaknyamanan selama perjalanan, terutama di awal-awal perjalanan, tapi lama kelamaan, ada banyak kejutan menyenangkan yang didapat dari perjalanan selama 12 jam ini. Saya bagikan pengalaman naik KA Sri Tanjung ini dalam beberapa babak.
Babak pertama, penumpang KA Sri Tanjung yang beragam
Saat pertama kali masuk gerbang KA Sri Tanjung, satu hal yang saya notice adalah ada beragam bau, mulai dari balsem, parfum murahan, hingga nasi uduk. Setelah berbagai macam bau, saya merasa penumpang satu dengan yang lain terlalu asing dan dingin. Tidak banyak yang ngobrol kecuali mereka yang datang bersama kawan, keluarga, atau rombongan. Sisanya sibuk dengan dirinya masing-masing, tidak saling peduli, apalagi ngobrol.
Di pengamatan saya, satu jam awal jadi fase yang paling unik. Fase ini bisa kita sebut sebagai pencairan es. Di momen-momen seperti ini, semua orang ingin terlihat punya tujuan jelas. Entah itu membaca, tidur, kerja atau main game. Tapi tujuan yang sebenarnya adalah: “Jangan ngobrol dulu. Belum waktunya, aku belum siap membuka percakapan dengan orang yang mungkin akan jadi teman seperjalanan selama 7 atau bahkan 12 jam ke depan.
Ditengah kesunyian itu, datanglah penyelamat situasi, pramugari dengan dagangannya. Suaranya menggema sepanjang gerbong: “Nasi rames… kopi… teh hangat…” ini semacam ‘mantra’ pemanggil percakapan. Karena mendadak semua orang mulai bergerak. Si bapak di ujung bangku kanan yang tadinya diam membeku, tiba-tiba angkat tangan, “kopinya satu, Mbak.”
Babak kedua, memulai obrolan
Memasuki jam ke-4 setelah perjalanan, pertahanan masing-masing penumpang mulai runtuh. Penumpang kereta Sri Tanjung yang tadinya anteng mulai gelisah karena kelaparan. Beberapa dari mereka yang membawa bekal langsung mengeluarkannya. Momentum ini membuat seseorang mau tidak mau mengatakan “permisi” atau “saya makan dahulu”. Beberapa yang membawa bekal lebih bahkan menawarkannya pada penumpang lain, “Mbak, ini gorengan, ambil aja, monggo.”
Menolak tawaran di saat seperti ini jelas kesalahan besar karena sisa perjalanan bisa jadi canggung. Itu mengapa saya putuskan untuk mengambilnya, toh perut saya juga mulai lapar.
Kata-kata yang keluar saat-saat ini jadi titik balik keadaan. Yang awalnya nggak kenal, mulai saling tanya asal. Ada yang mulai gosip, topik bebas mulai dari adu kekuatan sudah berapa kali naik kereta api ini sampai bahas politik dan ekonomi ringan.
Babak ketiga, penumpang satu dengan yang lain mulai berbaur dan saling percaya
Memasuki jam ke-8 perjalanan, penumpang satu dengan yang lain seolah tidak ada sekat. Sangat berbeda ketika saya pertama kali naik di Solo. Saya menyadari hal ini ketika ada seorang penumpang yang menitipkan tas ke saya karena mau ke toilet. Orang ini berani menitipkan barang-barang berharganya ke orang asing seperti saya. Itu berarti orang ini mulai timbul kepercayaan pada saya. Selain itu, saya lihat bangku lain bahkan bisa menitipkan anaknya ke orang lain ketika si ibu ke toilet dan gerbong restorasi. Benar-benar unik, rasa kepercayaan setinggi itu bisa terbentuk hanya dalam 8 jam perjalanan.
Bahkan, seorang ibu-ibu yang tadi menawarkan pisang goreng pada saya mau berbagi kisah hidupnya. “Aku dulu nikah muda, Mbak. Tapi ya gitu, anak ikut mantan pindah ke Solo, jadi kalau kangen ya saya yang ngalah kesana kayak gini.” Seolah tanpa ditanya dia menjelaskan kenapa bisa berada di KA Sri Tanjung ini sekarang. Celetukan ini berubah jadi obrolan panjang pada akhirnya.
Babak ke-4, turun KA Sri Tanjung jadi punya keluarga baru
Setelah hampir 12 jam naik kereta, KA Sri Tanjung akhirnya melambat pertanda kereta mulai memasuki Stasiun Ketapang, Banyuwangi. Bukan cuma kecepatan roda besi yang menurun, tapi juga ritme hati para penumpangnya. Udara di gerbong mendadak pekat dengan rasa haru yang tak diundang. Sunyi, tapi bukan sunyi karena kelelahan. Seolah ada sesuatu yang berbisik di hati: sebentar lagi, kita akan pisah.
Padahal, kalau dipikir-pikir awalnya kita semua cuma segerombolan manusia asing. Duduk berderet dalam gerbong ekonomi, ada yang sudah turun di jam keempat, kedelapan, kesepuluh. Tapi bagi orang yang bersama setelah menempuh 12 jam perjalanan tentu hal ini terasa berbeda.
Satu persatu penumpang berdiri, angkat tas, mengecek dompet dan barang bawaan lainnya memastikan tidak ada yang tertinggal. Ada yang salaman sambil bilang, “Semoga sehat selalu, ya Bu.” Yang disalami menjawab, “Hati-hati di jalan, Mbak. Lancar kuliahnya, jangan lupa mampir rumah Ibu kalau sempat.” Apakah nanti mereka benar-benar akan saling kabar? Kita semua tahu jawabannya. Belum tentu, bahkan sangat mungkin tidak. Tapi itu rasanya benar-benar hangat.
Di kereta Sri Tanjung, saya belajar bahwa manusia memang mudah terhubung. Asal ada waktu dan ada niat. Benar-benar jadi pengalaman yang tidak terlupa.
Penulis: Alifah Ayuthia Gondayu
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Bus Palala Padang-Jakarta Nyaman, Bikin Ogah Mudik Naik Pesawat Lagi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















