Ketika Walikota Bogor Bima Arya mengatakan bahwa tidak ada yang namanya GKI Yasmin, saya teringat sosok Romo Mangun. Ia bersikap jelas ketika harus memilih antara masuk dalam barisan penindas atau duduk bersama mereka yang diabaikan.
Jelas ada yang salah ketika seorang pemimpin tunduk mendiamkan satu kelompok warganya yang diganggu ketika menjalankan ibadah. Ini persoalan mendasar, bagaimana seorang pemimpin bisa menjamin kemakmuran, jika hak warganya menjalankan ibadah saja ia tidak mampu menjamin?
Romo Mangun berdiri dan bersuara untuk Kedung Ombo. Saya kira ia tidak berusaha menjadi superhero di sana. Sikap itu murni karena ia manusia dan selayaknya manusia, Romo Mangun mampu merasakan penderitaan orang-orang di sekitarnya. Kita tahu, pada 1985 pemerintahan Orde Baru berambisi membangun waduk baru di Jawa Tengah. Tujuannya mulia, menampung air untuk kebutuhan 37.500 hektare sawah di sekitarnya dan pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 megawatt. Tapi sayang waduk ini harus memakan korban, setidaknya 37 desa di 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali, dan Grobogan tenggelam. Sebanyak 5.268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk. Romo Mangun, bersama Romo Sandyawan dan K.H. Hamam Dja’far, mendampingi para warga yang masih bertahan di lokasi, membangun sekolah darurat untuk sekitar 3.500 anak-anak, dan membangun sarana seperti rakit untuk transportasi warga yang sebagian desanya sudah menjadi danau.
Saya membayangkan apabila perstiwa Kedung Ombo difilmkan, sosok Romo Mangun ini akan jadi heroik. Lha piye ndak heroik? Romo yang awalnya hanya ingin membantu warga, malah ketiban apes menjadi target operasi aparat dan beberapa kali dicari serupa maling. Meski awalnya kriwikkan dadi grojogan tapi Romo Mangun jelas pada sikapnya. Ia tidak mencla-mencle atau sekedar bermulut manis. Ia konsisten dengan perjuangannya, meski menyerempet bahaya.
Saat Soeharto berkuasa, Romo Mangun adalah sedikit dari beberapa orang yang berani secara terbuka membantu warga Kedung Ombo. Ketika ia menghimpun bantuan kemanusiaan, Romo pernah ditangkap aparat dan diinterogasi koramil. Tidak hanya itu, konon ia pernah bersembunyi selama seminggu sendirian di tengah waduk karena aparat mencarinya.
Perjuangan itu tentu sia-sia. Pemerintah, dengan segala aparatus, kewenangan, dan kekuasaan yang dimilikinya, mampu mengusir sekian ribu orang itu dari tanah kelahiran mereka. Tapi bukan tentang kekalahan yang mesti kita pahami di sini, bahwa ada sosok seperti Romo Mangunwijaya yang berdiri tegak bersikap membela hak orang-orang yang ditindas. Sesuatu yang mulai susah ditemui dan susah dimiliki oleh orang-orang yang keblinger kekuasaan.
Bung Bima Arya toh berhak berkata bahwa GKI Yasmin itu tidak ada. Ia boleh saja mendasarkan diri pada Majelis Gereja Induk dimana GKI Yasmin tergabung. Ia menyampaikan bahwa, jika lokasi di Yasmin terus menimbulkan polemik, majelis menyatakan GKI Pos Yasmin dibubarkan. Bima Arya tidak salah, ia hanya mengambil jalan paling mudah untuk mengatasi masalah yang dialami masyarakatnya. Alih-alih memperjuangkan hak beribadah warganya, Bima Arya meniadakan masalah dengan berlindung dibalik klaim kelompok lain.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan Bima Arya untuk membantu warganya. Romo Mangun turun ke daerah konflik, berbaur korban, mencari tahu kebutuhan mereka lalu memberikan bantuan. Sesuatu yang merepotkan dan buang waktu, memang. Tapi apalah guna menjadi pemimpin jika melindungi hak-hak dasar warganya saja tak bisa?
Bung Bima Arya, seperti yang saya kutip di Tempo, menyebut peribadatan jemaat GKI Yasmin “..mengganggu ketertiban umum dengan beribadah di jalan.” Duh, inikah Bung Bima yang berani mempermalukan banyak penunggak pajak dengan poster dan plang peringatan? Apakah ini Bung Bima yang sama dengan yang secara terbuka mendukung pemilu langsung?
Romo mangun adalah orang yang selalu sumeleh dengan pengabdiannya. Orang yang pernah berkata: “Yaah, itu lah perjuangan. Kalau mau cari yang enak, gak usah ikut berjuang. Wong berjuang kok mau cari yang enak.” Tentu kualitasnya tidak bisa disamakan dengan politisi yang nyalinya ciut dihadapan kelompok puritan. Tapi, mungkin saja, saya masih berharap Bung Bima Arya bisa belajar. Setidaknya belajar untuk berani dan sedikit punya nyali membela hak keyakinan warganya. Saya percaya, Bung Bima adalah sosok yang bisa mendengar dan mengerti keluhan warganya. Bung Bima memiliki kualitas kepemimpinan yang jarang dimiliki pemimpin-pemimpin daerah lain.
Akhirnya saya ingin bertanya kepada Bung Bima, inikah tanah air kita? Inikah tanah air yang kita dambakan? Romo Mangun, dalam Burung-Burung Manyar, menulis: ”Tanah air ada di sana, dimana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain.”