Panembahan Seloning, memilih menenangkan diri dengan bertapa di pantai selatan selepas melarikan diri dari geger di Majapahit. Konon adu mancing harus ia lakukan saat datang tantangan dari Syekh Maulana Magribi. Adu kesaktian dengan cara memancing ini yang kemudian melahirkan Dusun Mancingan, Desa Parangtritis, Bantul, Yogyakarta.
***
Bagi penikmat wisata religi atau ‘sarkub’ (akronim dari sarjana kuburan), wilayah sekitar Pantai Parangtritis bukan hanya sekadar obyek wisata alam berupa hamparan pantai. Di sini, ada 2 makam dan 1 petilasan penuh kandungan cerita sejarah yakni Makam Syekh Maulana Magribi, Makam Syekh Bela-Belu dan Syekh Dami Aking, serta Cepuri Parangkusumo.
Selain 3 lokasi tadi, jika kita mau bergerak lebih ke selatan lagi, akan ada satu makam lagi di punggungan pegunungan yang menghadap pantai selatan ini. Makam Panembahan Selohening, begitu sebut masyarakat sekitar.
Panduan Google Maps membawa saya menyusuri tepian pantai. Parangkusumo lewat, Parangtritis sudah terlewati. Vibe obyek wisata sudah memudar, jalanan kian sepi dan tampak seperti perkampungan biasa kala saya melintas. Suara Google Maps menyuruh saya berbelok di sebuah jalanan tanah di antara sela-sela kios.
Di sebuah laundry saya berhenti untuk bertanya. Si ibu mengarahkan saya ke rumah juru kunci makam, beberapa puluh meter lagi. Musiyo (70), demikian nama si juru kunci makam. Ia agak kaget saat melihat kedatangan saya. “Njenengan kok bisa tahu makam ini?” tanyanya sebelum pamit untuk berganti baju.
Senjakala Majapahit
Sebagai sebuah kerajaan besar di tanah Jawa, Majapahit memiliki banyak andil dalam pembentukan cerita-cerita di masa setelahnya. Cerita soal Demak hingga Mataram Islam misalnya, selalu ada hubungan dengan masa-masa Majapahit. Kerajaan ini pernah berjaya sebelum akhirnya senjakala melanda. Rebutan kekuasaan, menguatnya pengaruh Islam, perpindahan ibukota, hingga saling serang dengan Demak.
Bagi dunia seni dan sastra, Majapahit juga meninggalkan banyak sekali inspirasi. Kesenian ketoprak misalnya, menggunakan lakon-lakon berlatar belakang kerajaan ini. Belum lagi novel-novel populer yang terinspirasi dari kisah-kisah kebesaran kerajaan gula klapa.
Bahkan, ketika akhirnya senja menggulung Majapahit, negara ini tetap bisa menurunkan aneka legenda dan kelindan kisah. Laku pelarian berujung moksa sang raja terakhir, Brawijaya V adalah salah satu yang mungkin paling terkenal. Lokasi yang diduga pernah digunakan sang raja terakhir bertapa dan moksa pun beragam, mulai dari Gunung Lawu di Jawa Timur hingga Pantai Ngobaran di Gunungkidul.
Hingga saat ini, nama Brawijaya V bahkan masih dituliskan sebagai leluhur beberapa tokoh Mataram Islam. Di makam Raden Santri, nama ini ditulis dalam daftar silsilah sebagai leluhur sosok ini. Begitupun dalam silsilah berbagai tokoh Mataram Islam lainnya.
Selang beberapa menit selepas saya mengetuk pintu, Musiyo kembali muncul di hadapan saya. Kali ini sudah berganti dengan baju koko warna putih dan sarung abu-abu. Ia mengajak saya melewati samping rumahnya dan menuju sebuah lahan dengan tanaman kelapa.
“Makamnya agak naik. Pelan-pelan saja ya, Mas. Saya sudah tidak bisa jalan cepat,” demikian pintanya. Musiyo berkisah, ada 2 jalan menuju makam ini. Satu jalan lain melewati jalanan setapak sekitar 10 meter di belakang rumah dan sering digunakan peziarah dari sebuah pabrik gula.
Selepas kebun kelapa, kami disambut jalan semen naik. Menjelang setengah jalan, Musiyo berhenti untuk mengambil napas. Beberapa meter di atas kami, sudah tampak sebuah pagar dengan pintu besi setinggi setengah meter.
Lahan makam ini berada di tanah milik keluarga Musiyo, demikian jawaban pria itu saat saya bertanya soal status lahan makam. Tepatnya, punggung perbukitan ini milik paman dari Musiyo. “Paman saya sudah meninggal dan semua anaknya perempuan, maka saya yang mengurus,” lanjutnya.
Tiba di depan pagar, Musiyo merogoh kocek untuk mencari kunci gembok. Ia mengatakan bahwa agak sulit membuka pagar ini karena gembok berkarat. Matahari mulai rebah dan dari ketinggian debur ombak laut selatan terdengar sangat jelas.
Konon, di bukit inilah, seorang pelarian asal Majapahit bertapa di sisa hidupnya.
Adu mancing Sang Petapa
Nama Panembahan Seloning agaknya bertautan dengan kisah 2 sosok lain yang dimakamkan di punggungan pegunungan ini; Syekh Maulana Magribi dan Syekh Bela-Belu. Setidaknya, nama ini disebut dalam versi cerita rakyat tentang 2 syekh tadi dengan penulisan “Selohening”.
“Yang benar Seloning, bukan Selohening,” demikian koreksi Musiyo saat kami memasuki area makam.
Masih berdasar cerita rakyat, Seloning dikisahkan sebagai penghuni awal wilayah pesisir selatan ini. Ketika Syekh Maulana Magribi datang, Selohening menolak ajakan sang syekh untuk memeluk Islam. Ajakan ini, seperti sebuah kisah lawas lain, dilewati dengan saling adu kesaktian.
Setidaknya, ada 2 cara yang keduanya lakukan. Pertama, dengan saling adu delikan. Kedua, dengan adu mancing ikan. Panembahan Seloning atau ada juga yang menyebut Begawan Selopawening menerima tantangan tersebut. Konon, pertandingan adu mancing ini dilakukan di Muara Sungai Opak.
Dalam adu mancing itu, Panembahan Seloning kalah. Soal memancing ini diyakini warga sebagai asal mula nama dusun tempat makam Syekh Maulana Magribi dan Syekh Seloning berada: Dusun Mancingan.
Namun, Musiyo memiliki versi cerita berbeda soal sosok ini. Ia membenarkan bahwa Seloning adalah pelarian asal Majapahit tetapi tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan Syekh Maulana Magribi seperti dalam versi cerita rakyat. Versi itu juga ia dapatkan dari cerita turun temurun dari para leluhurnya terdahulu.
Selain itu, Musiyo juga menegaskan bahwa nama lengkap sosok satu ini adalah Gusti Panembahan Seloning, seperti yang tertulis di sekitar makam. Dibandingkan Syekh Maulana Magribi dan Syekh Bela Belu, Musiyo mengatakan bahwa Panembahan Seloning adalah pepunden paling tua di wilayah ini dibandingkan 2 nama tadi.
“Mengenai asal usul, Panembahan Seloning adalah anak dari Raja Brawijaya V yang melarikan diri karena ada geger di Majapahit,” terang Musiyo. Hal ini cocok dengan cerita rakyat yang berkelindan dengan Syekh Maulana Magribi.
Menyoal tujuan kedatangan Seloning ke sini, Musiyo menyebutkan bahwa sang pelarian bertapa untuk menenangkan diri tanpa melakukan syiar-syiar agama.
Sumbangan para peziarah
Nisan Gusti Panembahan Seloning berada di sebuah ruangan cungkup berukuran sekitar 4×4 meter dengan satu selasar kecil. Bangunan cungkup sudah menggunakan lantai keramik sedangkan nisannya sendiri dilapisi semen.
Bentuk nisan dan tata letak cungkup memiliki banyak kesamaan dengan cungkup Syekh Maulana Magribi. Bentuk nisan lumayan besar dengan tutup berupa kain putih, pintu cungkup terdiri dari sepasang pintu kayu dengan bagian dalam cungkup lebih tinggi dibandingkan selasar, serta memiliki sebuah tempat pembakaran dupa dan kemenyan di samping pintu masuk.
Komplek makam ini bisa dibilang sepenuhnya dibangun dari sumbangan peziarah. Renovasi besar-besaran dilakukan tahun 2005 dengan sumbangan Soebakri Tjokromanggolo, Ir. Wahyu Sriyanto, dan beberapa donator lain serta dikerjakan oleh masyarakat sekitar makam. Nama mereka terpampang pada sebuah prasasti di bagian depan cungkup.
Selain itu, pembangunan gudang dan sebuah aula kecil serta pemasangan kain di nisan juga sepenuhnya diinisiasi oleh peziarah. Pembangunan pagar makam pada dekade 1960-an juga dilakukan dari dana peziarah.
“Biasanya karena doa mereka kabul,” ujar Musiyo tentang sumbangan para peziarah itu.
Sebagai makam pepunden, Musiyo berkisah bahwa makam Panembahan Seloning cukup sering dikunjungi peziarah dari berbagai kalangan dan berbagai agama. Bukti penuturan ini setidaknya bisa ditemukan lewat keberadaan Al-Quran di bagian dalam cungkup. Pada bulan Ruwah, makam ini juga jamak dikunjungi para warga sekitar untuk ruwahan.
***
Dari kejauhan, azan magrib mulai berkumandang. Saya dan Musiyo bergegas meninggalkan makam. Saya harus mengakui, makam ini menyimpan aura magis yang cukup kuat. Setelah menggembok pintu makam, kami melangkahkan kaki menuruni bukit.
Di sela-sela langkah, Musiyo berbagi resah mengenai status juru kunci makam di masa mendatang. “Saya juga tidak tahu, anak saya sudah pasti tidak mau karena sudah punya pekerjaan sendiri,” cetusnya.
Keresahan Musiyo agaknya hal sederhana, tapi sesungguhnya itu membuka tabir pengelolaan banyak makam kuno lainnya: di masa depan, siapa yang mau melestarikannya?
Penulis: Syaeful Cahyadi
Editor: Agung Purwandono