Pesisir selatan Yogyakarta bukan hanya soal wisata pantai semata. Di sana terdapat makam Syekh Maulana Maghribi. Nama ini, kelak, menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
***
Puluhan orang berjalan meniti anak tangga. Beberapa dari mereka hanya kuat berjalan beberapa langkah sebelum berhenti, memegang lutut, sambil mengeluarkan nafas tersengal.
Di beberapa bagian anak tangga, para pengemis duduk sambil menanti belas kasihan para pengunjung. Semakin naik, laut selatan akan semakin terlihat jelas. Begitu pun suara deburan ombaknya.
Susunan anak tangga ini memang tidak jauh dari pantai. Hanya berjarak sekitar satu kilometer. Orang-orang menaiki anak tangga ini bukan untuk melihat pemandangan pantai, melainkan demi sebuah ziarah ke makam seorang ulama besar.
Makam Syekh Maulana Maghribi. Demikian tulisan di gapura sebelum masuk anak tangga. Makamnya terletak di punggung perbukitan yang berada di dekat Pantai Parangtritis dan Parangkusumo. Saya mengunjunginya pada hari Selasa (29/3/2022).
Berdasarkan informasi di situs Kementerian Kebudayaan, makam dengan nama yang sama berada di Cirebon dan Klaten. Nama ini, diidentikkan dengan Syekh Maulana Muhammad Maghribi.
Ia disebut sebagai anggota Wali Songo periode pertama dan diduga tiba di Jawa pada tahun 1404 Masehi. Peziarah dari berbagai daerah rutin datang ke lokasi makamnya yang berada di Dusun Mancingan, Bantul, Yogyakarta.
Makam sang ulama berada di sebuah cungkup. Di depannya, terdapat sebuah pendopo besar. Di kala sepi, pendopo ini bisa dimanfaatkan para peziarah untuk beristirahat sambil menikmati laut dari ketinggian. Tapi jika ramai, pendopo ini dijadikan tempat berdoa.
Nisan Syekh Maulana Maghribi berukuran besar dan diselubungi sebuah kain putih yang mulai menguning. Di dalam cungkup, masih ada satu kerangka kayu dan diselubungi kain berwarna hijau berkelir kuning, mirip tutup keranda jenazah umumnya.
Aroma bunga mudah tercium begitu masuk ke area cungkup. Di bagian depan, terdapat sebuah cerobong kecil tempat para abdi dalem membangkar kemenyan.
Penurun raja Jawa
Dalam berbagai silsilah Mataram Islam, jamak ditemukan nama-nama ulama di bagian atasnya. Salah satu yang berada paling atas adalah sosok bernama Syekh Jumadil Qubro yang makamnya di Bukit Turgo, Sleman. Selisih satu nama di bawahnya, ada Syekh Maulana Maghribi sebagai cucu.
Surakso Trirejo (53), salah satu abdi dalem makam, mengatakan bahwa Syekh Maulana Maghribi merupakan pendatang dari tanah Persia. Ia datang ke tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam.
Surakso Trirejo atau kerap dipanggil Tri punya tafsir ihwal banyaknya lokasi makam sang syekh. Seperti di Gresik, Demak, Pekalongan, Cirebon, dan Klaten. Tri tak tahu pasti kapan Syekh Maulana Maghribi datang ke tanah Jawa dan menyebarkan Islam. Namun, ia mengatakan bahwa kemungkinan masa itu berada sebelum kemunculan Wali Songo.
“Mereka rombongan dari kota bernama Magrib lalu menyebar di berbagai tempat untuk berdakwah,” ucapnya.
Perihal kedatangan orang timur tengah sebagai penyebar agama Islam di Jawa pernah disinggung M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Menurutnya, fase kedatangan pedagang Islam di Jawa bisa dirunut sejak tahun 1200-an.
Misalnya di daerah Leran, Jawa Timur, ada nisan dengan nama arab yaitu “Maimun” bertulis tahun 1082 Masehi. Ditemukan pula beberapa makam dengan nama Arab di pemakaman Majapahit di Trowulan dari sekitar pertengahan tahun 1300-an.
Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java menuliskan tahun 1250 Masehi sebagai awal masuknya Islam di Jawa. Nama Mulana Ibrahim pun turut tertulis dalam buku tersebut.
Nama itu, menurut Raffles, berasal dari Arabia dan pernah tinggal di Leran sebelum pindah ke Gresik. Ia disebut meninggal pada Senin, 12 Rabiul Awal 1334 tahun Jawa/Saka (sekitar tahun 1412 Masehi).
Keterangan Tri bahwa Syekh Maulana Maghribi berasal dari kota Maghribi pun masuk akal sebab ada daerah dengan sebutan demikian. Daerah itu berada di Afrika Utara meliputi Aljazair, Tunisia, Libya, dan Mauritania. Penamaan daerah ini merujuk pada arti ‘barat’ dan tempat matahari tenggelam, ‘Maghrib’ dalam istilah Arab.
Berdasar cerita turun temurun, Syekh Maulana Maghribi berpindah-pindah lokasi selama hidupnya. “Jadi beliau tidak berada di sini sejak dulu kala,” ungkap Tri, “Tapi akhir hayatnya di sini dan dimakamkan di atas bukit sebagai bentuk penghormatan,” lanjutnya.
Kini, bangunan makam Syekh Maulana Maghribi berada dalam kewenangan Keraton Yogyakarta dan dijaga oleh 35 abdi dalem keraton. Abdi dalem di sini adalah kelompok yang sama dengan penjaga di Makam Syekh Bela-Belu dan Cepuri Parangkusumo. Penjagaan ini tidak lepas dari silsilah leluhur Mataram Islam dengan nama sang syekh di bagian atas.
“Simbah Syekh Jumadil Qubro dan Syekh Maulana Maghribi inilah yang kelak menurunkan raja-raja di Mataram,” kata Tri. Di bawah kedua nama tadi, berjajar aneka nama penguasa Jawa hingga di keturunan ketujuh muncul nama Danang Sutawijaya, pendiri Mataram Islam.
Berdasar bagan silsilah di makamnya, Syekh Maulana Maghribi beristrikan anak Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban) yang bernama Roro Rosowulan. Ia merupakan saudara dari Sunan Kalijaga. Baik nama Wilatikta dan Kalijaga muncul dalam Babad Tanah Jawi (W.L. Olthof, 2017), namun tidak dengan nama Syekh Maulana Maghribi. Walaupun demikian, ada beberapa nama Arab yang berkelindan antara kedua nama tadi.
Tantangan syiar Islam
Kedatangan Syekh Maulana Maghribi ke pesisir selatan Jawa untuk berdakwah bukanlah tanpa kendala. Menurut cerita rakyat di sekitar makam, kedatangan sang syekh mulanya mendapat tentangan dari penguasa lokal penganut Buddha bernama Panembahan Selohening (versi cerita rakyat menuliskannya sebagai Begawan Selopawening). Ia adalah seorang pelarian asal Majapahit.
“Simbah Syekh Maulana Maghribi mengajak Panembahan Selohening untuk masuk Islam tapi sempat ditolak,” kata Tri.
Kedua sosok tadi lalu saling adu kekuatan dengan cara bermain delikan (petak umpet) dan memancing di laut. Panembahan Selohening mendapat ikan terlebih dahulu. Belakangan, Syekh Maulana Maghribi mendapatkan ikan dan sudah dalam kondisi siap makan dan berbau harum. Maka, Selohening mengakui kesaktiannya dan mengizinkan untuk menyebarkan agama Islam di daerah sana.
Ia juga menyerahkan padepokannya ke Syekh Maulana Maghribi dan pindah ke lokasi lain. Di bekas padepokan itulah, Syekh Maulana Maghribi membangun sebuah pesantren untuk berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam.
“Panembahan Selohening bahkan memerintahkan pengikutnya untuk berguru ke Syekh Maulana Maghribi setelah tahu kesaktiannya itu,” kisahnya.
“Walaupun cerita rakyat, itu semua ada pengaruhnya di masa sekarang,” ungkap Tri. Nama Dusun Mancingan diperkirakan ada hubungannya dengan gelar adu memancing antar dua tokoh tadi. Alat pancing sang syekh belakangan ditancapkan di belakang makam dan menjadi serumpun bambu yang disebut pring sentana.
Ada peninggalan lain yang diduga berasal dari jejak perjalanan Maulana Maghribi di daerah sekitar makam. Peninggalan itu berupa sebuah sumur. Disebut sebagai sumur kawak oleh warga sekitar. Banyak orang percaya, sumur itu adalah tempat sang syekh berwudu di masa silam.
Kini, makam Syekh Maulana Maghribi menjadi salah satu destinasi wisata religi di area Pantai Parangtritis dan Parangkusumo. Selain itu, lokasi ini juga telah ditetapkan menjadi situs cagar budaya sejak beberapa tahun belakangan.
Sebagai sebuah makam ulama, lokasi ini cukup tenar sebagai tujuan ziarah. Menurut salah satu abdi dalem, kebanyakan peziarah adalah jamaah pengajian di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kadang, ada pula rombongan kecil dari daerah Jawa Timur dan Jawa Barat.
Ada makam ulama lain dekat lokasi makam Syekh Maulana Maghribi yakni makam Syekh Bela Belu dan Syekh Damiaking. Ada juga pemandian air panas parang wedang yang berjarak sekitar 500 meter dari makam. Di dekat tempat ini juga terdapat makam Panembahan Selohening.
Keberadaan makam Syekh Maulana Maghribi tidak sekadar menjadi salah satu obyek wisata religi. Menarik jauh ke belakang, mungkin benar kata De Graaf dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa bahwa tempat sekitar muara Sungai Opak adalah tempat penting di masa lalu. Jauh sebelum Pemanahan datang ke Alas Mentaok, pesisir selatan Jawa sudah menggelar babadnya sendiri.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi