Ada warung kopi yang selalu ramai pengunjung di Tulungagung. Namanya Warung Kopi Mak Waris. Lokasinya ada di dalam gang. Mulanya warung ini tempat ngopi para petani. Namun kini berubah jadi salah satu tempat ngopi paling populer di Tulungagung.
***
Pelanggan ramai lalu lalang. Seorang pria menenteng kopi yang baru saja dituang air panas. Ia duduk di depan saya. Sepuluh batang rokok dikeluarkan dari wadahnya.
Satu persatu rokok dioleskannya dengan endapan kopi. Aktivitas ini disebut juga cethe. Sebatang rokok berhias cethe ia tata di atas lepek. Ditunggu hingga kering.
“Kalau diolesi cethe, memang ada bedanya, Pak?” Tanya saya sambil mengangkat gelas kopi.
“Nggak banyak bedanya, mungkin bisa dihisap lebih lama, Mas.”
Pria di depan saya itu bernama Feri (43). Sudah sejak remaja ia rutin ngopi di Warung Kopi Mak Waris. Warung ini dekat dengan tempat tinggal orang tuanya. Ia selalu menyempatkan ngopi jika sedang berkunjung.
Sementara itu, perkenalan saya dengan warung kopi ini bermula dari seorang kawan yang meminta untuk dibawakan kopi cethe terkenal dari Tulungagung. Penasaran, saya coba cari di Google dengan keyword ‘cethe’ dan ‘Tulungagung’. Hasilnya, kopi dengan merek Mak Waris berjubel memenuhi laman hasil pencarian.
Berbekal informasi tersebut, Minggu (15/5/2022) saya mengunjungi lokasi Warung Kopi Mak Waris. Jaraknya 12 km dari rumah saya di Trenggalek.
Saya masuk ke gerbang Desa Bolorejo, Kecamatan Kauman, Tulungagung. Beberapa ratus meter kemudian, saya diminta Google Maps berbelok ke utara, menuju gang sempit.
“Lha ini, warung kopi legendaris Tulungagung, kok di gang sempit? Padahal tepat sebelum belokan gang tersebut, juga ada warung kopi yang cukup ramai,” pikir saya.
Tak pernah sepi pelanggan
Memasuki kompleks warung kopi, saya dikejutkan dengan banyaknya motor yang parkir siang itu. Oh ya, saya sebut kompleks karena warung kopi ini memang meliputi beberapa bangunan yang cukup luas.
Tampak beberapa ruko dengan meja dan kursi. Di tengah kompleks, di bawah atap yang cukup tinggi, ada meja panjang berjejer dengan kursi-kursi di sekelilingnya.
Keren, walau siang bolong, warung ini tetap ramai. Tanpa AC, tanpa interior kekinian, para pelanggan gayeng ngobrol di ruang terbuka.
Pertama kali masuk saya tingak-tinguk kebingungan. Ada tiga orang yang bertugas. Satu sedang sibuk mengantar kopi yang tertata rapi di atas nampan, satu fokus di kasir dan meracik kopi, satu lagi fokus bersih-bersih gelas.
“Kopi ya, Mas. Setunggal (satu).” Telunjuk jari kanan saya angkat.
“Pakai susu atau gula?” Pemuda yang berada di kasir balik bertanya. Belakangan saya tahu namanya Wawan (33).
“Kopi gula saja, Mas,” saya membalas.
Pada meja panjang berbahan kayu di bangunan utama itu sudah tersaji belasan kopi dengan gula dan susu. Wawan telah mempersiapkannya. Jika ada pembeli, dia tinggal menuang air panas dari kuali yang ada di samping meja.
Tak lama setelah itu, seorang pria tua mengantar kopi ke meja saya. Namanya Maryadi (57). Saya berbincang sejenak dengannya.
Ternyata ia sudah bekerja sekitar 20 tahun di warung ini. Ia bercerita tentang lomba menghias cethe dan jam buka warung di masa lalu yang baru tutup menjelang waktu subuh.
Maryadi menyarankan saya untuk bertemu dengan bos Warung Kopi Mak Waris agar dapat cerita tentang sejarah warung ini. “Biasanya ke sini nanti jam 10-an malam,” ucapnya dengan nada ramah.
Lalu, ada satu pegawai lagi yang saya ajak ngobrol. Namanya Ibnu (21). Ia sudah 5 tahun bekerja di Warung Kopi Mak Waris.
Menurut penuturannya warung kopi ini jarang sekali sepi pelanggan. Saking ramainya, dalam sehari jadwal jaga pegawai Warung Kopi Mak Waris dibagi menjadi empat shift.
“Kalau malam minggu, jam 10 sudah habis. Kemarin, waktu lebaran hari ketiga sama empat, juga sudah habis jam segituan.”
“Sebelum warung kopi banyak buka di kota. Parkiran depan itu bisa sampai timur. Sekarang kan cuma sampai sini saja. Tapi tetap, kita nggak leren-leren,” ucap Ibnu.
Menurut Ibnu rasa terbaik yang diberikan kopi Mak Waris hanya bisa muncul ketika diminum di tempat. “Kalaupun punya bubuknya, saya sendiri lebih memilih ke sini daripada bikin di rumah, rasanya beda,” ungkapnya.
‘Mak’ sebutan buat orang yang disegani
Sesuai arahan Maryadi, pukul 10 malam saya kembali ke sana. Berharap bisa bertemu anak Mak Waris. Suasana malam di warung jauh lebih ramai daripada siang tadi. Suasana yang remang malah membuat pelanggan betah berlama-lama sambil ngobrol.
Saya lanjut menengok warung yang jendelanya sudah tutup. Tampak satu orang paruh baya sedang sibuk melihat buku besar dan menghitung uang.
“Tunggu sebentar ya, Mas. Maaf ini masih repot,” ucap Hariyanto (47), anak laki-laki yang paling muda dari sebelas anak Mak Waris.
Setelah senggang, Hariyanto menghampiri. Kami kemudian mulai berbincang. Ia mengawali kisahnya dengan cerita turun temurun.
Sekitar tahun 1976, awalnya orang tuanya membangun usaha tahu lokalan. Usaha tersebut jadi tren di Tulungagung saat itu. Namun, nahas, di musim penghujan tiba-tiba banjir datang karena ada upaya pembukaan lahan di daerah Pagerwojo.
Hujan menyapu potongan-potongan kayu sampai menutup sungai di dekat lokasi usahanya. Kayu berhenti, menumpuk, membuat air meluber kemana-mana. Jika dikatakan banjir itu besar, sebenarnya tidak, namun, bagi usaha keluarganya, itu cukup berdampak.
Saat itu produksi tahu lewat mesin juga sedang digalakkan oleh pemerintah. Mengingat keluarganya tidak bisa membeli mesin, ditambah beban karena banjir bandang sebelumnya, maka usaha tahu lokalan tersebut gulung tikar.
Sehabis ekonomi jatuh, sang ayah, Pak Waris, tak langsung membuka warung kopi. Mulanya ia melihat Warung Kopi Pak Sumani di dekat tempatnya kerja yang ramai dengan hanya menjual kopi, rokok, dan jajan.
Pak Waris yang kala itu bekerja sebagai penjaga rumah kepala desa hampir tiap hari melihat bagaimana Pak Sumani bekerja. Karena kebetulan rumah kepala desa dan Warung Kopi Pak Sumani berdekatan.
Ia lantas berinisiatif membuka warung kopi dengan modelnya sendiri. Setelah mencoba berbagai resep, akhirnya ketemu komposisi yang bertahan sampai saat ini.
Tahun 1978 warung kopi ini berdiri. Lalu tahun 1979 komposisi kopinya ketemu. Waktu itu penamaan warung kopi biasa diambil dari nama sang pemilik yakni Pak Waris.
Sepeninggal Pak Waris pada tahun 1996, warung kopi ini diteruskan oleh istrinya, Sutijah. Sebutan ‘Mak Waris ’ juga merujuk pada istri Pak Waris. Selain itu, menurut penuturan Hariyanto, kata ‘Mak’ juga jadi panggilan umum di Tulungagung bagi orang yang hidupnya keras dan disegani.
Warung untuk petani
Mulanya, Warung Kopi Mak Waris menempati satu tempat di sisi jalan besar sebelum masuk gang seperti sekarang. Waktu itu berjualan kopi dengan memakai gerobak. Hanya bawa kompor, cangkir, gorengan, dan semua keperluan warung.
Setelah pelanggan mulai banyak, ada masalah dengan tuan tanah yang punya kontrakan. Setelah itu, pindah lagi, dan muncul masalah lagi. Akhirnya Pak Waris memutuskan membuka warung secara tetap di rumahnya sendiri.
“Di sini tempat ketiga dan kita menetap. Karena rumah sendiri, nggak ada yang mengganggu,” ungkap Hariyanto sambil menghisap rokok.
Bangunan utama untuk meracik kopi dan melayani pembeli persis sama dengan tempat yang sekarang ditempati. Tentu waktu itu dengan kondisi bangunan yang masih ala kadarnya, sekitar tahun 1982 hingga 1983.
Sehabis pindah, usaha warung kopinya tidak langsung sukses, Pak Waris harus berjuang menghidupi sebelas anaknya. Pertama kali berdiri, pelanggan warung kopinya terbatas pada kalangan petani. Warung buka pagi sebelum subuh, menyediakan tempat nongkrong orang yang mau pergi ke sawah.
“Orang ke sawah kan pagi. Butuhnya cuma ngopi, jajan, sama batangan rokok,” ujar Hariyanto.
Mereka berangkat jam 3 atau 4 pagi. Jam 8 sudah pulang. Kadang mampir lagi ke warung. Waktu itu daerah ini banyak penduduk yang menggantungkan hidup dari lahan pertanian. Hampir 90% penduduk berprofesi sebagai petani.
Hariyanto bercerita beberapa tempat yang dulunya sawah kini sudah beralih menjadi pemukiman. Bergantinya fungsi lahan tersebut mempengaruhi segmen pasar Warung Kopi Mak Waris yang kini didominasi anak muda dan para pegawai kantoran.
Racikan bubuk kopi
Bubuk kopi Mak Waris diproduksi sendiri di rumah belakang kami mengobrol. Lokasi tersebut adalah rumah ayahanda Hariyanto menghabiskan waktu bersama istri dan anak-anaknya di masa lalu.
“Di rumah itu proses (produksi) semuanya. Belakang sendiri ada sangrai, sebelah sana penggilingan. Yang pegawainya lalu lalang itu dari pengemasan,” jelas Hariyanto sambil menunjuk rumah yang berada tepat di belakang kursi kami ngobrol.
Hingga kini metode sangrai manual masih dipertahankan. Dulu, pembuatan bubuk kopi masih diperuntukan untuk keperluan warung sendiri. Karena tenaga yang terbatas, pembelian bubuk dari orang luar juga dibatasi.
Namun, suatu ketika, ada pegawai yang keluar, dia berupaya memproduksi bubuk kopi dengan resep yang sama milik Mak Waris. Hal itu memicu Hariyanto memproduksi bubuk kopi secara massal.
“Produksi besar-besaran mulai tahun 2000. Waktu itu juga ada masalah dengan pendukung lurah yang kebetulan berseberangan dengan keluarga. Saking panasnya, akses ke warung mereka tutup dengan cara parkir motor di jalan masuk.”
Peristiwa itu memupuk semangat Hariyanto untuk menyebarkan bubuk kopi produksinya. Agar nama kopi Mak Waris semakin besar.
Hasilnya kini bubuk kopi Mak Waris sudah tersebar ke berbagai daerah bahkan lintas negara. Para TKI asal Tulungagung membawanya ke Jepang dan AS. Selain itu, bubuk kopi ini juga rutin dibawa ke Kalimantan oleh para perantau.
Bubuk kopi Mak Waris juga mudah dijumpai di marketplace. Tidak ada campur tangan dari pihak warung. Murni reseller.
“Harga terserah, pokoknya dari sini beli harganya sekian. Dijual di sana berapa, itu terserah mereka,” kata Hariyanto.
Hariyanto sendiri bekerja penuh waktu sebagai manager warung sejak 2015 silam. Sebelumnya, ia fokus ke pemasaran dan inovasi kopi Mak Waris sejak tahun 2000.
Mengingat lokasi mereka yang ada di dalam gang, perlu usaha ekstra untuk membuatnya terkenal. Keputusannya untuk membesarkan nama warung mengharuskannya untuk mengorbankan kesempatan kuliah.
“Bapak di warung sebagai cambuk. Kalau saya disuruh ke warung sulit, Bapak saya yang marah-marah,” kenangnya.
Lomba cethe
“Lomba cethe itu sebetulnya sejak tahun 1980-an sudah ada. Waktu itu masih awal ada rokok Surya yang bersaing dengan Bentoel Biru,” kata Hariyanto.
Namun penyelenggaraan lomba cethe nyatanya tidak memberikan ekosistem perlombaan yang menarik. Pasalnya, dari awal diselenggarakan hingga tahun 2000-an, pemenangnya cuma itu-itu saja.
Ada lagi lomba hias cethe dari dari sales rokok, lomba tersebut tujuannya untuk meningkatkan penjualan. Lomba hias cethe terakhir diselenggarakan tahun 2017.
Selain lomba cethe, kejadian menarik di warung ini tentunya juga berkaitan dengan aktivitas politik. Terakhir ada calon gubernur yang datang untuk menggalang suara.
Menurut Hariyanto, para politisi tersebut tidak pernah memberikan jadwal kapan mereka akan berkunjung. Tiba-tiba mereka datang, warung jadi ramai, yang ada di situ semuanya gratis.
Kopi ijo
Menurut penuturan Hariyanto orang-orang luar lebih mengenal bubuk kopi Mak Waris sebagai bubuk kopi ijo. Karakter kopinya halus dan berwarna hitam kehijauan usai diseduh.
“Kalau istilah sini kan namanya cethe, di Jogja lelet. Makanya, di sini digiling halus, soalnya kalau kasar itu susah nempel ke rokok. Waktu basah memang bisa nempel, tetapi kalau sudah kering, mrutuk,” ucapnya.
“Supaya bisa nempel, di sini pakai susu. Nggak pakai susu pun sebenarnya sudah lekat, asal nggak kebentur. Tapi, kalau dimasukan lagi ke wadah rokok, nanti bisa mrotol lagi kalau tidak ada campuran susunya.”
Penjelasan tersebut menjawab pertanyaan saya mengapa kopi yang tersaji tadi siang dibagi menjadi dua: satu memakai gula, satunya memakai susu.
“Pembuat kopi hijau di Tulungagung itu cukup banyak. Tapi, yang kopi hijaunya terkenal, ya cuma dari sini.” ucap Pak Hariyanto bangga.
Reporter: Prima Ardiansah
Editor: Purnawan Setyo Adi