Hanya ada empat angkutan umum Jogja-Kaliurang yang masih beroperasi. Itupun yang sampai terminal Tlogo Putri, cuma satu. Dan hanya melayani rute Pakem-Kaliurang. Saya mendapatkan informasi itu dari salah satu penjaga Tempat Pembayaran Retribusi (TPR) wisata Kaliurang. Angkutan Jogja-Kaliurang menyimpan banyak nostalgia, khususnya bagi kalangan mahasiswa.
Saya mengingat, sebelum erupsi Merapi di tahun 2006, Kaliurang dan kawasan sekitarnya masih jadi favorit mahasiswa untuk mengadakan berbagai kegiatan seperti, kemping, malam keakraban, atau sekadar nongkrong bersama teman-teman. Apalagi di tahun-tahun itu, objek wisata di Yogya pilihannya tak sebanyak saat ini.
Kendaraan roda dua juga tak sebanyak saat ini. Angkutan umum, jadi pilihan siapa saja termasuk mahasiswa, baik untuk transportasi sehari-hari atau untuk disewa sebagai moda pariwisata ke Kaliurang.
Semakin mudahnya orang membeli kendaraan roda dua, membuat orang-orang memilih kendaraan pribadi. Angkutan umum Jogja-Kaliurang mulai terkena dampak. Puncaknya adalah erupsi Merapi 2010 yang melibas tempat-tempat yang sebelumnya jadi titik aktivitas mahasiswa berkegiatan di alam bebas. Objek wisata Kaliurang meski tidak terimbas langsung awan panas, namun efeknya membuat wisatawan tak seramai tahun-tahun sebelumnya.
Dulu, jalur Jalan Kaliurang cukup ramai dengan angkutan umum. Ada bis Baker yang legendaris sebagai angkutan Jogja-Kaliurang. Sayang, bis yang mulai ada di Jogja pada tahun 1950 itu, sejak tahun 2000-an, tak lagi menyusuri salah satu jalan terpanjang di Jogja, Jalan Kaliurang. Selain Baker, angkutan umum yang wira-wiri Jogja-Kaliurang sebenarnya cukup banyak. Namun, yang bertahan hingga saat ini bisa dihitung dengan jari.
Mendengar hanya satu angkutan umum yang sampai Kaliurang, saya pergi ke Tlogo Putri. Mencari seseorang yang disebut oleh petugas TPR Kaliurang. Clingak-clinguk saya mencoba mencari bus engkel di kawasan itu, tidak ada. Justru puluhan jip wisata yang terparkir.
“Itu lho mas, yang warungnya paling pinggir, di bawahnya ada motor,” kata petugas parkir ketika saya menyebut nama Pak Lorek. Saya diminta menunggu sebentar oleh ibu-ibu penjaga warung. Siang itu ada tiga pengunjung yang tengah menikmati makan.
“Loh sudah narik pagi saya, jam 6. Jam 8 sudah pulang, bisnya sekarang di garasi,” kata Pak Lorek ketika saya tanya di mana bisnya, kok tidak kelihatan.
Namanya Pak Lorek. Itu nama panggilannya sejak kecil. Gara-garanya ada tanda lahir di perutnya yang berbentuk lorek. Kalau nama sesuai KTP, Haryanto, lahir 5 Juli 1951. Tahun ini tepat 70 tahun. “Saya yakin, orang yang mengenal saya bahkan tak tahu nama asli saya,” katanya.
Menurut Pak Lorek, sebenarnya ada 20-an angkutan bis yang melayani jalur Jogja-Kaliurang. Rutenya aslinya dari Tlogo Putri – Pakem – Mirota Kampus – Gejayan – Terminal Condongcatur – Pakem. Namun, semenjak Covid-19. Setidaknya hanya empat yang beroperasi. Itupun hanya melayani langganan, terutama pedagang pasar dan tidak melayani rute secara penuh.
Tiga rekannya, Ngadimin, Tukidi, Ngatijo secara bergantian melayani rute Condongcatur-Pakem. Penumpang yang dibawa adalah pedagang di pasar Pakem yang sudah langganan. Sedangkan dia sendiri melayani Pakem-Kaliurang.
Rutinitas Pak Lorek setiap hari adalah mengantarkan pedagang dari Kaliurang yang akan kulakan di Pasar Pakem. Jam 06.10 tepat, ia meluncur ke bawah membawa armadanya. Tidak banyak pedagang yang ia bawa, rata-rata tiga orang.
Di Pasar Pakem, ia juga tidak menunggu lama. Jam 08.00 ia akan balik lagi ke Kaliurang membawa pedagang tahu yang baru kulakan. Selanjutnya mobilnya ia istirahatkan dan memilih menjaga warung. Begitu setiap hari. Kecuali ada orang yang mencarter mobilnya.
Sebenarnya jika tidak ada Covid, ia bisa berharap dari mahasiswa dan orang-orang yang mencarter kendaraannya. Namun, karena kampus juga sepi, ia memilih memotong rute, hanya dari Kaliurang ke Pakem. Itupun penumpangnya hanya pedagang. Jarang ia menemukan penumpang umum naik angkutan.
Sebelum Covid-19, kondisi angkutan umum Jogja-Kaliurang juga sudah berdarah-darah, terutama saat Trans Jogja mulai beroperasi di trayek Jogja-Pakem.
Sampai saat ini, ada yang mengganjal di hati Pak Lorek dan kawan-kawannya saat Trans Jogja jurusan Yogya-Pakem beroperasi. “Kami tidak diajak bicara, atau sekadar kulonuwun. Tidak ada tawaran juga, apa jadi sopir atau yang lainnya. Kami juga bisa memperbaiki diri kalau disubsidi seperti Trans Jogja,” kata Lorek.
Saat pertama peluncuran Trans Jogja, ia dan kawan-kawannya merasa lesu. Setidaknya saat itu masih ada 20-an armada yang melayani trayek Jogja-Kaliurang. Namun, karena beroperasinya Trans Jogja yang menggratiskan ongkos saat promosi, maka penumpang kemudian menghilang. Kondisi tersebut diperparah dengan datangnya Covid-19. Membuat sebagian besar armada menganggur. Tidak mungkin mereka menyusuri rute trayek jika tidak ada penumpang.
Padahal mereka selama ini rutin membayar pajak. Bis engkelnya sendiri terakhir memperpanjang izin angkutan umum di tahun 2019. Namun, seperti sia-sia karena tidak ada penumpang.
Masa jaya angkutan Jogja-Kaliurang
Pak Lorek masih ingat merek mobil yang ia pakai saat pertama kali menjadi sopir di Jogja pada tahun 1975. Sebelumnya ia sempat sebentar menjadi sopir di Jakarta. Armada pertama yang ia gunakan adalah Mitsubishi Colt T120. Kemudian ia berganti ke L300 dan sejak tahun 1994 menggunakan colt diesel atau bis engkel yang ia pakai sekarang ini.
Pak Lorek membawa bis dengan bendera Koperasi Serba Oesaha (KSO-sekarang KSU) Ngandel. Awalnya di tahun 70-an, angkutan umum dimiliki perseorangan. Rutenya juga suka-suka sopirnya.
“Pas pingin rute ke Wonosari, ke Solo atau ke Semarang, tinggal berangkat saja. Dulu belum ada aturan rute. Masih bebas. Tapi, aslinya saya memang jurusan Jogja-Kaliurang,” kata Pak Lorek sembari menyodorkan secangkir kopi ke saya. Lebih dari 50 tahun hidup sebagai sopir, hal yang paling disyukurinya adalah memiliki banyak sedulur di berbagai tempat.
Tahun 80-an, armada bus engkel jurusan Jogja-Kaliurang coba disatukan dalam sebuah koperasi, yaitu Koperasi Pemuda. “Saya masih ingat, saat itu acaranya di Panti Asih Kaliurang, peresmiannya dihadiri Harmoko, menteri penerangan saat itu,” kata Lorek. Namun, ia dan teman-temannya kemudian memisahkan diri dan mendirikan KSU Ngandel.
Pak Lorek menyebut masa jaya menjadi sopir bis, antara tahun 70-an hingga 2000-an awal.
Armadanya bukan hanya jadi andalan masyarakat biasa, tapi juga mahasiswa hingga dosen. Rentang waktu yang sedemikian panjang juga membuatnya mengingat Yogya kala itu yang masih sedikit kendaraan bermotor. Jalanan masih rindang oleh pohon-pohon besar.
Kaliurang kala itu disebut Pak Lorek belum sepadat saat ini. Hotel-hotel yang ada, sebagian sudah ada sejak zaman Jepang atau Belanda. Lainnya penginapan kecil milik warga.
“Dulu bukan di terminal Condongcatur pemberhentiannya tapi di terminal Terban, coba tanya orang tua di sana, pasti kenal sama saya,” katanya.
Menolong korban ghosting hingga Merapi
Hingga tahun 2005 penumpang mahasiswa stabil, namun mulai berkurang seiring banyak yang beralih ke kendaraan pribadi khususnya motor. Selain itu di tahun itu Merapi mulai erupsi. Jumlah wisatawan yang datang ke kawasan Kaliurang menurun.
Sebenarnya, Pak Lorek memahami Merapi yang kerap punya ‘gawe’. Baginya justru siklus Merapi erupsi tidak boleh terlalu lama, karena kalau lama tidak erupsi maka akan menyimpan energi yang sekali-kalinya erupsi bisa terjadi sangat besar. Ia ingat peristiwa erupsi tahun 1994 dimana erupsi Merapi saat itu menyebabkan lebih dari 60 orang meninggal dunia. Korban terbesar terjadi di sebuah resepsi pernikahan warga di kawasan Turgo.
Ia saat itu dari di kawasan Kaliurang, ia menyaksikan guguran wedus gembel yang begitu besar. Pak Lorek melihat ada kilat seperti cambuk atau pecut yang menggelegar dan mengarah ke arah barat atau bukit Turgo.
Tak lama ia mendengar kabar wedus gembel yang menghantam pemukiman di Turgo. Saat itu juga ia mengajak sopir-sopir lainnya untuk membantu evakuasi para korban. “Duh ngeri mas, saya menolong korban wisatawan yang, maaf ya, kulit kakinya mengelupas kena awan panas,” kata Pak Lorek.
Tahun 2000-an, dia banyak menolong perempuan-perempuan yang digabur pasangannya di penginapan kawasan Kaliurang. Mereka tidur di penginapan, namun saat pagi ternyata perempuannya ditinggal pergi.
“Dighosting ya pak?”
“Opo kui?”
“Ditinggal lunga pak, bahasa saiki ngono.”
“Yo ngono, meksake, arep tak kon mbayar, ning yo ora nduwe duit, yo wis tak gratiske,” kata ayah dua anak ini.
Bukan hanya menolong korban di tahun 1994, saat erupsi besar di tahun 2010, Pak Lorek atas inisiatif sendiri juga menggunakan kendaraanya untuk mengungsikan warga ke Stadion Maguwoharjo. Meski bahan bakar saat itu ia tanggung sendiri, ia punya prinsip, selama bisa membantu, ia akan membantu.
“Meski bukan orang yang taat banget dalam agama, saya punya dua prinsip dalam hidup ini. Pertama, jangan mencelakakan orang lain, kedua, sedekah atau amal. Saat itu saya bisanya bantu pakai kendaraan, ya itu yang saya lakukan,” katanya.
Ada juga pengalaman yang ia ingat, di tahun 80-an, ia melihat ada penumpangnya yang ditodong pisau oleh penjahat. Ia kemudian membelokan bis yang dikendarainya ke halaman markas Batalyon 403. “Copet-copet itu tidak berani beroperasi di bis saya. Mungkin juga karena pergaulan saya yang kenal mulai dari gali hingga aparat.”
Sebagai sopir, Lorek juga tidak luput dari kecelakaan yang mengancam jiwanya. Bahkan membuat cacat tangannya. Satu jari tangan kanannya tidak bisa ditekuk sempurna. Di tahun 80-an saat ia menuju Yogyakarta, di kawasan Pakem ada seseorang yang menyeberang jalan. Dari arah berlawanan melaju bus Baker. Orang yang menyeberang bingung hingga kemudian berlari ke arah mobil yang dikendarai Pak Lorek. Ia banting setir dan bisnya terperosok, tangan kanannya yang ia gunakan untuk menopang badan, tertindih badan bis.
“Untungnya penumpang saya selamat semua, cuma luka ringan,” kata Pak Lorek.
Pak Lorek mengakui, sifatnya yang ndugal akhirnya berhenti saat salah seorang anaknya meninggal karena minuman keras. Ia kemudian intropeksi diri dengan tidak menyentuh minuman keras lagi.
Saat ini, selain dengan istrinya, ia tinggal dengan anak, menantu dan dua cucunya. Menantunya jadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Kondisi pandemi, membuat anak dan menantunya menghabiskan waktu di Yogya.
“Nyopir itu sudah mendarah daging bagi saya, obat awet muda,” kata Pak Lorek ketika ditanya sampai kapan akan nyopir.
BACA JUGA Kiai Nyentrik dari Madura dan artikel SUSUL lainnya.