Sejarah Sarkem atau Pasar Kembang sudah berlangsung panjang, seiring pembangunan Kota Yogyakarta di era kolonial Belanda. Namun, tidak banyak yang tahu, istilah Sarkem sebagai tempat prostitusi baru dikenal tahun 1990-an.
Jauh sebelumnya, tempat prostitusi ini dikenal dengan nama Balokan. Lokalisasi ini muncul seiring pembangunan jalur kereta api dan Stasiun Tugu yang tepat ada di sisi utaranya. Sarkem sendiri terletak di Kampung Sosrowijayan Kulon, Kalurahan Sosromenduran, Kota Yogyakarta.
Selain Sarkem, lokalisasi di sekitar Stasiun Tugu adalah Ngebong atau Bong Suwung, yang terletak di Kalurahan Pringgokusuman. Letaknya di sebelah barat Stasiun Tugu. Disebut Ngebong, karena tempat tersebut dulunya ada pemakaman Tionghoa.
Sejarah Sarkem sebagai lokalisasi membentang panjang. Bahkan lebih tua dari Gang Dolly di Surabaya. Banyak kisah-kisah tentang Sarkem yang tak banyak orang tahu. Kisah yang tak banyak dibicarakan orang.
Seperti cerita tentang Rumiyati, perempuan berparas menawan dari Sunda yang menjadi pelacur sekaligus mata-mata yang mendukung perjuangan tentara Indonesia. Juga sosok Ndoro Ayu, selir Sri Sultan HB VII yang tinggal di sudut kampung Sosrowijayan Kulon.
Selama enam hari ke depan, Mojok akan menyajikan liputan Jogja Bawah Tanah mengusung tema Sarkem.
***
Banyak orang yang memukul rata istilah Pasar Kembang atau Sarkem sebagai tempat lokalisasi. Padahal, di Sarkem, ada dua kampung, Kampung Sosrowijayan Wetan dan Sosrowijayan Kulon.
Ada dua akses utama masuk ke kawasan Sarkem. Pertama yaitu Jalan Pasar Kembang di utara, kedua dari Jalan Sosrowijayan di sebelah selatan. Jika Anda berada di Jalan Pasar Kembang, kemudian berjalan dari arah timur ke barat, maka akan menemui gang 1, gang 2, dan gang 3. Untuk melihat peta kawasan Sarkem, klik di sini.
Nah, gang 1 dan gang 2 itu terletak di kampung Sosrowijayan Wetan. Dua gang ini sejak lama dikenal sebagai kampung turis, karena jadi tempat jujugan turis-turis mancanegara, terutama backpacker untuk mencari penginapan. Sedang gang 3 ada di wilayah Sosrowijayan Kulon, di tempat inilah lokalisasi tertua di Jogja masih eksis.
Malam itu, bersama Ketua RW 3 Sosrowijayan Kulon, Sarjono, saya masuk dari pintu selatan atau Jalan Sosrowijayan. “Di sini, dulu berdiri bangunan yang disebut Gedong,” jelasnya sambil menghadap sebuah tembok tinggi di sisi barat Sarkem.
Orang menyebut Gedong, lantaran saat itu baru itu bangunan dari beton di kawasan itu. Rumah-rumah lain masih terbuat dari kayu. Gedong, jadi bangunan paling megah kala itu.
Dari sisi barat, bangunan itu kini hanyalah tembok beton tinggi tanpa pintu. Sudah berubah menjadi hotel besar yang menghadap ke arah selatan. Dulu di sisi barat itu ada dua pintu yang jadi sirkulasi keluar masuk para PSK dan lelaki Belanda yang ingin meluapkan birahi seksualnya.
Sarkem setelah jam 9 malam
Malam itu, Senin (12/9), Sarjono mengajak saya berkeliling di tiap-tiap sudut remang Sarkem. Jam di tangan saya masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam.
Sedangkan di Sarkem, hiruk pikuk dan perputaran uang baru bergeliat setelah jam sembilan. Puncaknya baru terasa saat tengah malam hingga jelang fajar tiba.
Kendati begitu, pintu-pintu kamar telah dibuka. Perempuan berpakaian seksi sudah duduk di kursi-kursi yang berjajar di ambang pintu. Namun, mereka seperti bingung, siapakah gerangan saya yang berjalan berkeliling bersama lelaki yang dikenal oleh semua orang di kawasan Sarkem.
Mata saya menatap setiap perempuan yang berjejer di sana. Mereka menatap balik. Kami saling berpandangan. Meski mereka tampak sungkan untuk melontarkan kalimat ajakan. Tak seperti malam-malam sebelumnya saat tak ada Sarjono di sisi saya.
“Mampir dulu, Mas,” jadi kalimat yang selalu saya dengar kala melewati pintu ke pintu.
Saya mengikuti langkah cepat Sarjono dari belakang. Ia berjalan sambil bercerita panjang lebar tentang sejarah tempat prostitusi tertua di Jogja yang masih bertahan ini. Hingga akhirnya kami tiba di sisi utara. Menyisir pinggiran pagar tinggi yang berderet sepanjang puluhan meter.
Di bagian lain dari tembok-tembok tinggi di sisi utara adalah Stasiun Tugu dan jalan raya utama, atau Jalan Pasar Kembang yang penuh dengan keramaian. Dahulu, sebelum hotel-hotel besar berbintang empat berdiri, banyak lorong masuk dari arah utara.
“Di sisi utara, dulu kebanyakan jadi tempat menginap, semacam mess untuk masinis dan para kru kereta,” kata Sarjono.
Beton-beton tinggi itu bak jadi pemisah dimensi antara sarkem dan hiruk-pikuk kehidupan yang ada di luarnya. Tempat ini, letaknya hanya sepelemparan batu dari Stasiun Tugu, titik kedatangan ribuan pelancong ke Jogja setiap harinya.
Namun, sebagian dari mereka mungkin tidak mengetahui apa yang ada di balik hotel-hotel ini. Sebagian lain tahu, tetapi mungkin tak pernah terbesit untuk melangkah masuk. Dan sedikit yang lain, berani melangkah dan menumpahkan gairahnya di tempat ini.
Bermula dari pembangunan stasiun dan jalur kereta api
Dalam buku Sarkem: Reproduksi Sosial Pelacuran dijelaskan pembangunan rel kereta api penghubung kota-kota di Jawa oleh Belanda pada tahun 1884 memang jadi titik awal berkembang pesatnya tempat pelacuran era kolonial. Muncul sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan para pekerja. Dari sinilah kemudian sejarah Sarkem bermula.
Stasiun Tugu sendiri mulai beroperasi untuk umum pada 12 Mei 1887. Stasiun ini dibangun perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial yaitu Staatspoorwegen (SS). Selain melayani aktivitas bongkar muat barang, Stasiun Tugu ini juga melayani aktivitas mobilitas masyarakat.
Hadirnya prostitusi juga menyuburkan pembangunan tempat penginapan sekaligus fasilitas penunjang lainnya. Hingga akhirnya hadirlah sebuah ekosistem yang bisa kita lihat seperti yang ada sekarang ini.
Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa sejarah Sarkem muncul dengan alasan ekonomi dan politik oleh pemerintah kolonial. Hal itu dilakukan supaya mata uang gulden yang digunakan oleh para pekerja dan tentara Belanda untuk bersenang-senang berputar di tempat yang sama.
Langkah kami terhenti ketika belasan meter mendekati pintu masuk utama di sisi utara Sarkem. Ia bercerita beberapa petak rumah sepanjang gang itu jadi tempat tinggal para pelacur atau selir Belanda. Saat tidak sedang bekerja di Gedong, mereka banyak menghabiskan waktu di rumah itu.
“Di sini itu kanan kiri itu tempat mondok selir-selir Belanda. Kebanyakan dari Jawa Barat. Terus nanti dibawa ke Gedong sana,” jelasnya.
Saat masih remaja, Sarjono ingat, bangunan-bangunan itu masih tersusun dari kayu. Ia menyebutnya dengan istilah “kotangan”. Bagian bawahnya sudah disemen namun atasnya masih terbuat dari kayu.
“Satu meter ke bawah itu tembok tapi atasnya kayu,” ujarnya singkat.
Dentuman musik-musik dangdut koplo dari kamar-kamar karaoke belum terdengar. Masih kurang malam. Namun, suara merdu Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noe Letto membawakan Ruang Rindu samar-samar terdengar.
Sebuah losmen memutarnya lewat pengeras suara. Menenangkan hati saya. Barangkali juga hati mereka yang sedang bersiap hendak bekerja.
Jalanku hampa dan kusentuh dia
Terasa hangat, oh, di dalam hati
Kupegang erat dan kuhalangi waktu
Tak urung jua kulihatnya pergi
Kami berjalan. Suara merdu lagu itu semakin jauh. Hingga tak terdengar lagi. Berganti dengan suara percakapan dan hiruk pikuk langkah manusia.
Penjaga keamanan Sarkem
Langkah di pematang pintu masuk Sarkem dari sisi utara. Sarjono mengenalkan saya pada beberapa lelaki yang berjaga di gerbang. Di pintu utama sisi utara dan selatan, terdapat tiga hingga lima orang yang berjaga dan menarik retribusi Rp2.000 bagi setiap pengunjung yang hendak masuk.
Mereka inilah para penjaga keamanan Sarkem. Di tembok sudut-sudut gang, terdapat mural bertuliskan “Jalur Gaza”. Nama yang tertulis itu merupakan identitas yang melekat pada para pemuda setempat.
“Jalur Gaza itu ibaratnya kumpulan teman-teman sini. ‘Gabungan Anak Sosrowijayan’ disingkat Gaza. Tapi ada juga yang dari kampung sebelah,” jelasnya.
Masalah keamanan memang jadi hal krusial di sini. Menurut Sarjono, tidak bisa jika hanya mengandalkan orang kampungnya. Perlu tenaga dari luar. Sebagai antisipasi jika ada kejadian tak diinginkan.
Kadang, urusan perempuan bisa membuat pengunjung bertengkar. Jika sipil biasa, maka pihak keamanan kampung bisa mengatasi. Tapi lain hal kalau aparat berseragam yang rebutan perempuan di sini. Butuh bantuan ekstra.
“Kalau ada apa-apa ada back up juga dari luar. Misalnya, ABRI sama ABRI ribut gara-gara rebutan cewek. Ya nanti yang dari luar ikut turun tangan,” ujarnya tertawa.
Usai pembahasan singkat tentang keamanan, kami lantas duduk di sebuah sudut gang dekat pintu gerbang. Satu dua pengunjung tampak mulai masuk Sarkem dan lewat di depan kami. Selain itu, para pekerja yang sudah bersolek rapi juga sesekali melintas masuk. Tampak terburu-buru.
Lokalisasi yang coba direlokasi
Sarjono meminta tolong pada seorang penjaga untuk membawakan kami minuman. Tak berselang lama, dua botol Teh Pucuk Harum diantarkan seorang lelaki yang tadi diberi instruksi.
“Suwun yo, ngko tak bayare,” ujar Sarjono setelah menerima dua botol tadi. Ia lantas menyerahkan sebotol untuk saya.
Setelah membuka botol dan menenggak minuman, ia membuka wadah rokok lintingan. Mengebulkan rokoknya. Kemudian bercerita kembali tentang hal-hal yang berubah tentang Sarkem dari waktu ke waktu.
Usai masa-masa kolonial, deru kehidupan di Sarkem terus melaju. Namun, bukan berarti pemerintah daerah tak pernah coba membubarkan atau merelokasi. Setidaknya, ada dua kali momen besar yang pernah terjadi.
Pada tahun 1954, pernah ada Peraturan Daerah No.15/1954 tentang Penutupan Rumah-rumah Pelatjuran. Hal itu masih sempat diperkuat dengan beberapa Perda lanjutan yang menekankan pelarangan prostitusi di Yogyakarta. Namun, hal itu tak membuat geliat Sarkem surut.
Hingga akhirnya, pemerintah daerah menerbitkan Keputusan Kepala Daerah No.166/K.D/1974 tentang penunjukkan tempat proyek resosialisasi perempuan tuna susila di Kota Yogyakarta. Aktivitas prostitusi di Sosrowijayan Kulon dipindah ke Desa Mrican, Umbulharjo. Tak jauh dari Terminal Giwangan.
Keputusan itu lantas diperkuat dengan keputusan Walikota Yogyakarta No.93/K.D/1977 tentang jalur pemisah antara area resosialisasi wanita tuna susila dan perkampungan umum sekitarnya. Kendati begitu, ternyata resosialisasi di Mrican tak berjalan seperti yang diharapkan.
“Ternyata di sana malah tidak begitu terkontrol. Banyak yang nyebar ke mana-mana. Akhirnya ya pada kembali lagi ke sini,” kenang Sarjono.
Dari Balokan menjadi Pasar Kembang
Pada masa-masa itu, area Sosrowijayan Kulon belum dikenal dengan sebutan Pasar Kembang atau Sarkem. Masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Balokan. Hal itu lantaran di sudut barat laut Sosrowijayan Kulon banyak tumpukan balok-balok kayu yang digunakan sebagai bahan bakar kereta api uap.
“Dulu di barat, dekat tempat bernama Laras, ada ruang lapang. Di sana untuk parkir sekaligus banyak tumpukan kayu,” jelas Sarjono menceritakan sejarah Sarkem.
Nama Pasar Kembang baru melekat setelah tahun 1990-an. Saat itu, di sepanjang jalan sisi selatan Stasiun Tugu berderet lapak penjual bunga-bunga. Saking banyaknya, hal itu lantas menjadi identitas yang melekat sekaligus nama jalan.
Sekarang para penjual bunga itu telah pindah ke area Jalan Ahmad Jazuli kawasan Kotabaru. Namun, identitas Pasar Kembang tetap tersemat ke sepanjang jalan di utara kampung Sosrowijayan Wetan dan Sosrowijayan Kulon. Tulisan soal kepindahan penjual bunga bisa dibaca Dulunya Kawasan Menyeramkan, Sejarah Pindahnya Pasar Kembang ke Kotabaru.
Setelah menghabiskan beberapa batang rokok, Sarjono mengajak saya untuk berjalan kembali ke titik awal kami. Dari sisi utara menuju selatan. Namun, terlebih dahulu ia mengarahkan ke barat melewati Gedong. Ia ingin menunjukkan salah satu tempat yang jadi bagian dari sejarah Sarkem yang. Tempat bernama Laras yang ia singgung sebelumnya.
Sisi barat, ujung dekat pertigaan jalan raya, suasananya sepi. Hanya lorong panjang dengan dinding yang dipenuhi mural. Area ini berada di belakang Arte Hotel Malioboro.
Di sana ada satu pintu masuk menghadap utara yang tak terjaga. Menghadap langsung jalan raya dan di seberangnya terlihat Stasiun Tugu.
Tak banyak hiruk pikuk di area ini. Hanya ada dua perempuan paruh baya yang duduk di kursi depan sebuah kios kecil dalam gang. Sepertinya muncikari. Tanpa berinteraksi dengan mereka, Sarjono menunjuk gang yang menghadap ke jalan raya.
“Dari sini, biasanya para Londo masuk. Nah di sampingnya ini dulu tanah lapang. Biasa untuk parkir. Tapi ada juga bangunan yang disebut Laras,” katanya.
“Nama Laras situ kan dari istilah nglaras sek atau nyantai dulu. Nyantai bareng perempuan maksudnya,” lanjutnya.
Selir raja yang tinggal di Sosrowijayan Kulon
Kami kembali berjalan ke timur. Sebelum sampai di Gedong, Sarjono menunjuk ke sebuah bangunan beton tinggi. Kini sudah menjadi hotel. Namun dahulu, menurut penuturannya, di sinilah Ndoro Ayu, selir dari Sri Sultan HB VII tinggal. Ndoro Ayu adalah sebutan untuk perempuan bernama Harjo Hudoyo.
Seingatnya, ketika kecil dulu, ia selalu membungkukkan badan tatkala berpapasan dengan Ndoro Ayu. Kadang Sarjono melihat sosoknya saat datang menggunakan becak atau andong setelah bepergian. Perempuan itu sudah sepuh di masa-masa itu.
“Awal saya sudah kerja saja dia masih hidup mungkin sekitar awal tahun 1970-an. Tapi sudah sepuh sekali. Tidak lama kemudian dia meninggal,” kenangnya.
Sumber lain juga menyebutkan bahwa, pembagian area Sosrowijayan Wetan dan Sosrowijayan Kulon oleh Sri Sultan HB IX juga karena keberadaan sosok yang dianggap kerabat trah Sri Sultan HB VII. Kerabat tersebut yakni Ndoro Kanjengan dan Ndoro Ayu, seperti cerita Sarjono.
Setelah berkeliling, kami tiba di titik awal perjalanan ini dimulai, pintu selatan Sarkem, di Jalan Sosrowijayan. Tepat di sebelah Grand Puri Saron Hotel Malioboro. Kami duduk di sebuah kursi kayu memanjang tanpa sandaran. Sembari memandang mereka yang keluar dan masuk gang penuh cerita ini.
Sejarah Sarkem memiliki cerita panjang melintas zaman. Tempat ini tak punya legalitas hitam di atas putih sebagai lokalisasi. Namun, terus bertahan hingga sekarang. Tempat karaoke dan prostitusi berada di dalam rumah-rumah milik warga. Pemilik rumah sebagian menyewakan kepada orang luar kampung dan ada juga beberapa yang mengelolanya sendiri.
“Begini-begini saja sejak dulu. Sebab sudah sejak zaman Belanda sudah ada. Terpenting, semuanya harus dibatasi dan dikontrol. Itu yang kami lakukan,” ujar Sarjono sambil mengembuskan asap rokoknya.
Sarkem sebagai kontrol tempat prostitusi
Pada kesempatan yang berbeda, saya juga menghubungi tokoh masyarakat Kalurahan Sosromenduran, Ipung Purwandari. Perempuan yang sejak 2019 menjadi Anggota DPRD Kota Yogyakarta ini juga membenarkan ucapan Sarjono tentang sejarah Sarkem.
“Sarkem memang nggak ada legalisasi. Tidak ada istilah dibuka atau ditutup. Dari dulu berjalan begitu saja. Kami hanya memberikan perhatian aja, lewat cek kesehatan para pekerja dan berusaha kontrol,” ujarnya yang pernah menjabat sebagai Ketua RW di Sosrowijayan Wetan.
Ipung juga menekankan bahwa keberadaan Sarkem dapat menjadi kontrol agar aktivitas prostitusi tidak menyebar. Ia meyakini bahwa bahaya yang timbul dari prostitusi yang tidak terkontrol jauh lebih berbahaya ketimbang sekadar urusan moralnya.
“Jadi tersentralisasi. Kalau bubar, nanti bisa kemana-mana. Bahaya. Tidak bisa dipastikan kesehatannya,” jelasnya.
Sebagai anggota legislatif dengan konstituen yang juga berasal dari kampung ini, ia mengaku beberapa kali melakukan kunjungan. Kebutuhan untuk menunjang kebersihan area itu jadi hal yang ia soroti.
“Meski tempat seperti itu, kebersihan jadi hal yang perlu diperhatikan,” ujarnya.
Tulisan berikutnya akan mengulas sosok Rumiyati, sosok ikon PSK di Sarkem. Sarjono bahkan berangan-angan ingin membuat patungnya di kawasan Sarkem. Sarjono akan menceritakannya di edisi berikutnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono