Hingga kini, Soto Pak Marto menjadi salah satu rujukan warung soto bagi wisatawan maupun warga Yogyakarta. Kuah bening dari kaldu daging sapi dan bumbu rempah rahasia, menjadikan banyak orang menyebut soto ini sebagai soto yang Jogja banget. Warung yang berdiri tahun 1960 ini tak mau berganti merek kecap.
***
Rintikan gerimis turun mulai membasahi jalanan Jogja, saat saya berangkat menuju warung soto yang terletak di dekat Jembatan Tamansari, Jl. Letjen S. Parman. Seperti jam makan siang pada umumnya, parkiran warung ini dipenuhi oleh mobil dan motor plat luar kota maupun AB.
Jika kemari, saya selalu ingat saat pertama kali pindah ke Jogja. Soto Pak Marto jadi warung soto pertama yang saya datangi bersama keluarga, bahkan hingga sekarang jadi soto favorit ibu saya.
“Kalau mau ketemu pemiliknya, besok kesini jam 5, Mbak,” ucap seorang perempuan yang saya temui di meja kasir.
Saya mengiyakan sambil berterima kasih. Namun, belum sampai saya melangkah keluar untuk pulang, si mbak-mbak kasir tadi memanggil saya lagi. “Pukul 5 pagi ya Mbak, bukan sore,” ujarnya membuat saya nyengir sambil garuk-garuk leher. Mau tak mau, saya harus bangun pagi, walau di hari libur.
Keesokan harinya, saya menuruti ucapan si mbak kasir. Tepat pukul lima saya sampai lagi di warung soto dengan papan nama warna kuning. Tak seperti biasanya, parkiran masih sepi. Hanya ada satu motor Vario biru, mungkin milik salah satu pegawai. Pintu masuk warung pun juga masih terbuka setengah.
Namun, terlihat dari celah-celah teralis, para pegawai agak sibuk mempersiapkan segala keperluan, mengingat 30 menit lagi warung sudah harus buka.
Saya masuk dari pintu samping, melihat seorang pria paruh baya duduk di kursi plastik dekat pintu. Ia memakai kaos biru tua, punggungnya bersandar ke dinding.
Namanya Sutikno (65), anak pertama Pak Tukiran atau yang biasa dikenal sebagai Pak Marto, saat ini Sutikno lah yang menjadi generasi kedua pemilik soto Pak Marto, menggantikan mendiang ayahnya yang meninggal pada tahun 1995.
Awalnya penjual soto pikulan
“Pak Marto dulu berasal dari keluarga miskin, pokoke urip susah ning ndeso,” ucapan Sutikno mengawali obrolan kami berdua. Dilatarbelakangi kondisi yang serba susah, akhirnya Pak Marto muda mulai mencari cara untuk mencari uang guna membantu beban kedua orang tua.
“Akhirnya, Pak Marto coba-coba ikut orang untuk jualan soto keliling,” ujar Sutikno sambil menegakkan bahu dari sandaran kursi. Pandangannya lurus ke depan, menerawang. “bukan pakai gerobak, loh Mbak. Tapi soto pikulan,” lanjutnya.
Bagi Sutikno, ayahnya menjadi sosok yang disiplin, sabar, dan bekerja keras. Setiap harinya, Pak Marto yang dulu masih tinggal di Wonosari harus pergi ke Kota Yogya untuk berjualan soto keliling. Bahkan, beliau hanya bermodal jalan kaki dari rumahnya. Kata Sutikno, mau bagaimana lagi, namanya juga hidup susah.
“Beberapa tahun setelah ikut orang, Pak Marto jadi orang kepercayaan bosnya untuk belanja bumbu-bumbu,” ujar Sutikno sambil tersenyum kecil. Dari situlah Pak Marto belajar tentang resep soto yang enak.
Akhirnya, di tahun 1960, Pak Marto memutuskan untuk menjual soto buatannya sendiri. Setiap pagi-pagi buta, ia mempersiapkan racikan soto buatannya. Lalu, berkeliling lagi dengan pikulannya. Biasanya, Pak Marto akan berkeliling di sekitaran warung yang sedang saya kunjungi ini.
Warung yang sekaligus menjadi saksi bisu atas perjuangan Pak Marto dari bawah. “Biasanya nongkrong di bawah warung ini, kan ada kampung,” jelas Sutikno. Saya manggut-manggut, membayangkan sosok Pak Marto yang membawa pikulan soto kesana-kemari dari kampung ke kampung.
“Nah, kalo udah mulai siang. Barulah Pak Marto mangkal di depan warung ini,” sambungnya. Sejak kecil, ia memang hapal rute berjualan bapaknya. Sampai-sampai, setiap jam pulang sekolah, Sutikno selalu mencegat bapaknya di tengah jalan. Alasannya, karena lapar. Setelah makan soto buatan bapak, ia berjalan mengikuti bapak berkeliling sambil membantu bawa ember pencuci piring.
Bertahun-tahun lamanya, Pak Marto berkeliling. Sotonya bisa dibilang cukup laris, apalagi saat jam-jam makan. Sedikit-demi sedikit uang terkumpul membuat Pak Marto memutuskan untuk membuka warung pertamanya. Tak muluk-muluk, hanya sebuah tenda di pinggir jalan.
Kecap khusus untuk Pak Marto
Satu hal yang membuat saya penasaran sejak pertama kali mendatangi warung ini adalah botol kecap. Tak seperti merek-merek familiar lainnya, botol kecap yang tersaji pada setiap meja, bisa dibilang klasik dan unik.
“Pak, ini kecapnya khusus, ya?” ucap saya smabil mengamati sebuah botol yang terbuat dari kaca itu. Tidak tinggi, paling-paling ukurannya kurang dari 15 cm. Bentuknya agak gemuk, tanpa corong di mulut botol.
“Wah iya! Ini kami pesan langsung ke produsennya, asli Jogja,” Sutikno tersenyum lebar, “dulu saya sejak SD sering disuruh Bapak beli kecap ini,” ujarnya.
Saat Sutikno masih kelas 6 SD, sepulang sekolah Pak Marto sering meminta tolong untuk membeli kecap yang tak jauh dari warungnya, namanya kecap ayam jago. “Saya pulang sekolah naik sepeda ke Jl. Wirobrajan, karena warungnya di situ,” ucap Sutikno mengenang, bahkan kadang-kadang dirinya masih memakai seragam SD saat membeli kecap.
Ia tak tau mengapa, mendiang bapaknya bisa menemukan produsen kecap lokal ini pada zaman dulu. Bahkan, sampai jadi langganan. Pak Marto lebih memilih bertahan menggunakan kecap lokal ini, dibandingkan dengan merek-merek yang sudah terkenal. Bahkan, sampai sekarang warungnya sudah tersulap menjadi sebuah rumah makan dan punya banyak cabang, kecap inipun selalu setia dibeli.
“Ini kecap favorit bapak saya. Saat saya yang meneruskan usaha ini, saya juga tidak mau ganti kecapnya,” ujar pria yang sudah memiliki cucu ini sambil terkekeh, “sekarang dapur rumahan kecap ini ada di daerah Sonosewu. Kami tiap minggu ya beli ke sana,” lanjutnya.
Saya mengangguk-angguk, sambil melirik pada jam dinding yang tertempel di depan meja kasir. Sudah mendekati pukul 05.30, salah seorang karyawan mulai membuka pintu masuk warung. Beberapa menit kemudian, dua orang masuk.
“Mbak, sudah buka?” ucap seorang wanita, suaminya mengekor dibelakang.
“Sudah Mbak!” ujar salah seorang pegawai itu semangat. Melihat pemandangan itu, pria yang sejak tadi duduk di depan saya ikut beranjak, membuat saya langsung menoleh.
“Mbak, maaf saya tinggal sebentar ya. Mau ngeracik bumbu karena udah ada pelanggan,” Sutikno berjalan ke arah kompor-kompor. Sekitar ada tiga panci di atas kompor. Terlihat dari jauh bahwa Ia sedang memasukan bumbu dari panci satu, ke panci lainnya. Sambil memberi instruksi kepada para pegawainya, ia mencicip sedikit-demi sedikit kuah soto buatannya.
Setelah dirasa pas, ia mengangguk memberi isyarat kepada pegawai bahwa soto telah siap. Pegawai pun mulai menuangkan kuah soto ke dalam mangkok yang sudah disiapkan.
Sambil menunggu Sutikno yang sedang sibuk, saya mencoba memuaskan rasa penasaran saya. Saya melangkah ke salah satu meja, mengambil sebuah botol kecap dan sendok.
Satu sendok kecap sudah masuk ke mulut. Saya setuju bahwa rasa kecap ini unik. Berbeda dengan kecap lainnya. Perpaduan manis dan gurih menjadi ciri khas dari kecap ini. Rasa manis bukanlah rasa dominan.
Terdapat campuran-campuran bumbu yang membuat terasa ringan di mulut, kalau yang saya baca pada keterangan bahan, kecap ini menggunakan rempah- rempah. Teksturnya pun tidak terlalu kental, namun juga tak terlalu encer. Kalau saya tidak berkunjung kesini, mungkin saya tidak akan pernah tau jika ada kecap lokal seperti ini di Jogja.
Bagi rezeki lewat gorengan dan sate
Salah satu menu andalan yang ada di warung soto ini adalah babat iso. Seperti yang ada pada soto-soto sapi ala Jogja, babat iso jadi pelengkap untuk menikmati hidangan hangat ini. Menu pelengkap babat iso, sudah jadi menu sejak Pak Marto masih berjualan keliling. Bahkan, menu ini juga jadi menu yang paling ditunggu oleh langganannnya zaman dulu hingga sekarang. Potongan babat, iso, atau jeroan lain yang tebal- tebal, serta taburan bawang goreng di atasnya membuat siapa pun penggemar jeroan tak akan kuat jika menolak.
“Maaf mbak, lama ya,” ucapan Sutikno membuyarkan lamunan saya tentang jeroan yang sudah tersaji di dapur. Salah seorang pegawai, yang ternyata adalah cucu Sutikno, sedang memotong-motong jeroan menjadi bagian yang lebih kecil.
“Itu satenya juga bikin sendiri Pak?” tanya saya tiba-tiba, dibalas tawa Sutikno.
“Nggak, sate dan gorengan itu semua titipan tetangga sekitar sini,” ujarnya menunjuk sebuah meja panjang yang penuh dengan wadah berisi sate dan gorengan tempe.
“Dari dulu, Pak Marto nggak mau kalau yang laris cuma sotonya saja. Tetangga sekitar harus kena cipratannya, walaupun sedikit,” Sutikno mengenang lagi. Satu hal yang ia pelajari dari bapaknya dalam mengelola warung soto adalah tidak boleh serakah. Setiap rezeki harus dibagikan, termasuk dengan cara memberi peluang ke warga sekitar untuk ikut menitipkan dagangan ke warungnya.
Dengan kata lain, Sutikno yakin jika warungnya selalu ramai, maka sate dan gorengan tetangga pasti juga habis. Mengingat banyak orang yang berkata bahwa makan soto tanpa pelengkap, rasanya kurang afdol.
Masih banyak hal yang Sutikno pelajari dari bapaknya dalam meneruskan usaha keluarga ini. Satu pesan sebelum Pak Marto wafat, keluarga dan saudaranya harus rukun. Hasil berjualan soto Pak Marto, sudah berhasil untuk membelikan masing-masing satu rumah untuk tujuah anaknya.
Bahkan, anak-anak dan saudara Pak Marto juga banyak yang ikut membangun usaha soto. Beberapa cabang soto Pak Marto di lokasi lain pun juga dikelola oleh saudaranya, tak hanya Sutikno sendiri. Sebagai anak pertama, Sutikno senang melihat usaha bapaknya dapat bermanfaat bagi prang-orang sekitar. Bahkan, ia tak mempermasalahkan ketika beberapa pegawai warung soto Pak marto memilih untuk berhenti dan membangun usaha sendiri.
“Malah bisa berkembang dan tetap bersilahturahmi, Mbak,” ucap Sutikno mengakhiri percakapan kami.
Penulis: Rahma Ayu Nabilla
Editor: Agung Purwandono