Menikmati soto lamongan di tempat asalnya memiliki sensasi berbeda. Kali ini Mojok datang ke Soto Ayam Mardi, salah satu warung soto paling ramai di Lamongan. Pemiliknya percaya soto lamongan bisa menyembuhkan meriang.
***
Beberapa waktu lalu, untuk pertama kalinya saya menyambangi Lamongan. Kebetulan ada undangan untuk menghadiri sebuah acara komunitas di sana. Berangkat menggunakan kereta dari Jogja menuju Stasiun Gubeng Surabaya untuk kemudian dijemput oleh beberapa orang panitia. Kebetulan memang tidak ada kereta langsung dari Jogja menuju Lamongan.
Saya tiba di Stasiun Gubeng, Kota Surabaya pada Sabtu (17/12) sekitar pukul sebelas siang. Tak berselang lama, lewat pesan WhatsApp, seorang panitia bernama Arul (23) mengabarkan kalau ia sudah berada di luar stasiun. Saya pun menghampirinya. Arul ditemani satu rekan mengantar saya membelah ramainya jalanan Surabaya menuju Lamongan di akhir pekan.
Perut saya lapar. Pagi tadi, hanya sempat makan sebungkus roti kecil lantaran bangun sedikit mepet dengan jam keberangkatan kereta. Beruntungnya, Arul langsung melempar pertanyaan tak lama mobil kami melaju.
“Sudah makan belum, Mas?”
Saya jawab jujur. Lalu ia menanyakan kembali, hendak cari makan di Surabaya atau saat sudah tiba di Lamongan saja. Sebenarnya perut ini sudah lumayan mendesak untuk diisi. Tapi, saya ingin langsung mencicipi rekomendasi makanan yang ada di Lamongan.
“Ya sudah, nyoto saja ya. Nanti ke Soto Ayam Mardi saja. Itu salah satu yang paling ramai dan lumayan legendaris kalau di Lamongan,” katanya. Saya manut saja dengan pilihannya.
Setelah menempuh perjalan sekitar sembilan puluh menit, kami pun tiba di Warung Soto Ayam Mardi. Alamatnya ada di Jl. KH. Ahmad Dahlan No.53, Jetis, Tlogoanyar, Kec. Lamongan, Kabupaten Lamongan.
Cuaca Lamongan di siang hari begitu panas. Saya terbayang, warung ini sedang sepi karena siang begini sebenarnya kurang cocok untuk menyantap kuah soto kaya rempah yang sepertinya membuat badan berkeringat.
Namun bayangan itu sirna, ketika melihat keramaian pengunjung di warung ini. Setiap sudutnya nyaris terisi penuh. Ada yang duduk di kursi dan lesehan menggunakan tikar. Arul bercerita kalau tempat ini jadi favorit warga Lamongan untuk nyoto.
“Sebenarnya ada dua. Di Depot Asih Jaya dan di sini. Tapi di sini, lebih merakyat tempatnya. Harganya lebih miring dikit juga,” ujarnya menjelaskan. Setiap porsi soto di tempat ini dibanderol seharga Rp13 ribu. Di tempat asalnya, warung-warung soto ini tidak perlu diberi embel-embel “Lamongan” seperti yang jamak dijumpai di daerah lain.
Sebuah ciri soto lamongan
Tak berselang lama pesanan datang. Seporsi soto yang diwadahi mangkok cukup besar. Nasinya melimpah. Lewat penampakannya saja, soto ini terlihat gurih dan mengenyangkan.
Kuahnya tidak terlalu bening, warnanya kuning kegelapan. Ada banyak potongan daun bawang dan seledri bertaburan di antara potongan ayam yang cukup melimpah. Selain itu ada juga beberapa potong telur yang menambah lengkap kondimen soto ini. Bihunnya, buat saya tergolong tebal, namun tetap kenyal saat dilahap.
Soto lamongan paling identik dengan keberadaan koyanya. Penambah rasa gurih itu ditaburkan di bagian teratas. Koya sendiri terbuat dari kerupuk ikan yang dihaluskan kemudian ditambahkan dengan olahan bawang putih.
Kuah mulai saya cicip perlahan. Betul, rasanya gurih tapi tetap segar untuk dinikmati siang begini. Potongan ayamnya, terbilang agak alot, tapi buat saya justru nikmat. Terlihat kalau setelah dimasak, sempat dikeringkan cukup lama.
Selain menggunakan nasi, soto di sini juga bisa dinikmati dengan lontong. Tapi siang ini, saya pilih menggunakan nasi lantaran tampak lebih mengenyangkan.
Usai masing-masing dari kami menghabiskan seporsi soto, sembari merokok, tiba-tiba Arul berseloroh. “Saking ramainya, banyak yang bilang kalau warung ini pakai pesugihan,” celetuknya.
“Jadi, orang pada bilang kalau jimatnya itu terletak di centong kuahnya,” sambungnya sedikit tertawa.
“Ono-ono wae cerita wong-wong iki. Ada yang bilang kalau makan di sini enak tapi kalau dibungkus buat di rumah jadi nggak enak. Padahal kan, makan apa aja, kalau kuahnya udah dingin ya memang berkurang nikmatnya, “ sanggah Sigit, rekan Arul yang sedari tadi tidak banyak bicara.
Saya tertawa mendengar perdebatan mereka. Rasa penasaran untuk mengetahui cerita lebih jauh tentang warung ini kemudian timbul. Namun siang itu, saya tak punya banyak waktu. Selain itu, sang pemilik juga ternyata sedang tak ada di warung.
Barulah keesokan harinya, setelah membuat janji, saya akhirnya bisa berbincang singkat dengan Udin Mardiansyah (36). Ia merupakan sosok pendiri warung yang ternyata baru dirintisnya sejak 2006 silam. Saat bertemu sang pemilik, saya datang seorang diri.
Soto yang menyembuhkan
Ketika disinggung soal isu pesugihan yang menerpa warung ini, Mardi hanya tertawa. Ia memang sudah mendengar isu itu. Baginya, itu hal biasa. “Bukan cuma usaha kuliner, usaha lain juga sering dapat tuduhan begitu,” ujarnya terkekeh.
“Sudah biasa. Sudah siap juga dengan hal seperti itu,” sambungnya.
Jauh sebelum ramai dan diterpa isu begituan, jualan Mardi berawal dari gerobak keliling. Usaha ini berawal dari keinginannya untuk bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah secara mandiri.
Ia mengaku berasal dari keluarga yang tergolong mampu. Tapi usaha ini, benar-benar jadi komitmennya untuk mencoba membuka jalan penghidupan lepas dari orang tuanya.
“Buat beli velg sama ban di gerobak itu awalnya saya minjam duit dari koperasi. Kalau rombong (gerobak), itu baru dibuatkan sama bapak. Bener-bener bapak sendiri yang membuatkan,” kenangnya.
Sejak kecil, ia memang mengaku suka soto. Ia gemar soto racikan Haji Ali, pemilik Depot Asih Jaya yang tergolong paling legendaris di Lamongan.
“Tapi di sana kan memang tidak hanya soto. Ada masakan lain juga. Makannya namanya ‘depot’, apa aja ada,” ujar Mardi.
Kendati gemar dengan soto racikan Haji Ali, ternyata proses belajar meracik soto justru Mardi dapat di Surabaya. Ia sempat belajar, ikut bersama seorang rekan, kurang lebih selama setahun di Surabaya.
Saat mulai membuka usaha sendiri, barulah ia melakukan sejumlah penyesuaian agar sotonya sesuai dengan gagrak Lamongan. Misalnya dengan menambahkan koya dan sejumlah elemen lain yang identik dengan soto daerahnya.
Salah satu hal yang ia tekankan untuk menjaga cita rasa adalah kualitas pada ayam. Saat sedang ramai, warung miliknya bisa menghabiskan sekitar 35 ekor ayam. “Nah kalau sejumlah itu, biasanya lima ekor di antaranya saya kasih ayam kampung. Lebih mahal, tapi untuk jaga rasa,” jelasnya.
Proses memasak ayamnya juga dua kali. Pertama dimasak, lalu ditiriskan dan dikeringkan. Setelah itu dilakukan proses pemasakan untuk kedua kalinya lalu kembali dikeringkan. Hasilnya, memang muncul tekstur yang agak keras, tapi terasa nikmat dengan bumbu meresap.
Mardi mengaku kurang paham dengan sejarah soto yang membuat Lamongan begitu dikenal di berbagai tempat lain. Namun ia punya satu cerita, mengapa memilih soto, sebagai pijakan awal menjalani usaha.
Sebagai orang Lamongan, sejak kecil ia sudah familiar dan sering menyantap soto. Baginya, soto menjadi lebih spesial karena dulu, menyantap soto sering membuatnya bisa sembuh dari meriang.
“Mungkin logikanya soto kan memang bumbu rempahnya tergolong lengkap ya. Seluruh bumbu hampir ada di situ semua. Jadi semacam jadi ramuan yang menyembuhkan,” ujarnya tertawa.
Pengaruh soto madura
Di mesin pencari, warung ini punya banyak disebut “Soto Ayam Cak Mardi”. Padahal, Mardi sendiri mengaku sejak awal tidak pernah memberikan embel-embel “Cak”. Di papan nama warung ini juga tidak ada sebutan itu.
“Kebetulan nama saya kan Mardiansyah. Lalu nama bapak saya itu Sumardi. Makannya dulu, ketika ada orang mulai tanya nama sotonya apa, saya namai saja Mardi. Tanpa ‘Cak’,” kenangnya. Namun sebenarnya sebutan Cak itu juga tak jadi soal baginya.
Buat warga Lamongan, soto memang sudah jadi kebanggaan. Nama Lamongan begitu dikenal di berbagai penjuru Indonesia lantaran pecel lele dan soto yang dibawa oleh para perantaunya.
Konon, cikal bakal soto lamongan ini berasal dari soto madura. Perantau Lamongan pada awalnya banyak membawa bendera usaha pecel lele. Setelah itu, mereka memasukkan soto ke dalam salah satu menu.
Jika soto madura dikenal menggunakan daging sapi, para perantau Lamongan ini kemudian beradaptasi dengan daging ayam. Harganya lebih terjangkau dan bisa mengambil margin keuntungan yang lebih besar. Koya juga jadi salah satu inovasinya.
Lambat laun, soto yang mulanya ada di lapak-lapak pecel lele itu pun berkembang dan punya identitas tersendiri. Hingga akhirnya, munculah warung-warung yang khusus menjual soto lamongan di berbagai daerah.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Cerita Pak Pong, Satu-satunya Pembuat Barongsai di Jogja