Toko kelontong Madura berkembang karena solidaritas di perantauan. Mereka punya prinsip untuk tidak saling bersaing. Namun, siap mepet dan bertarung dengan jejaring waralaba minimarket yang kuat seperti Indomaret dan Alfamart.
***
Semakin malam bukannya sepi, toko kelontong milik Faiz justru makin ramai dikunjungi. Faiz yang sedang duduk bersama saya, dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit berulang kali berdiri melayani pembeli. Pria ini tampak akrab dengan para pembelinya. Saat ada pembeli bensin yang kesusahan menyalakan motornya, Faiz dengan sigap membantu.
“Ini jangan langsung digas, Bro, dibiarin dulu sebentar,” katanya pada anak muda yang baru saja mampir beli bensin, Rabu (6/7/2022) sekitar pukul 22.00.
“Harus ramah, Mas, kepada setiap pembeli. Kita kan di sini juga pendatang. Walaupun kadang ada pembeli yang sikapnya kurang ramah, mereka ini kan raja. Kita bawa senyum saja,” imbuhnya setelah duduk kembali.
Nur Faiz (36) sudah paham asam garam menjadi pengelola toko kelontong Madura. Ia pernah lima tahun bekerja mengelola toko di Jakarta. Kala itu ia menjaga toko milik juragan dengan sistem bagi hasil. Kontrak habis di Jakarta, pria asal Sumenep ini pulang ke Madura, pulau yang terkenal dengan karapan sapi dan garamnya. Ketika ditanya apa pekerjaannya di kampung halaman, dengan yakin dia menjawab: mancing!
Setelah mengaku bosan memancing setiap hari, Faiz akhirnya merantau lagi. Kali ini ke Jogja. Awalnya ia kembali ikut juragan selama dua tahun, hingga akhirnya pada 2019 berani buka warung sendiri. Bersama istrinya, Faiz tinggal di toko kecil yang berada di bilangan Jalan Sorowajan, Banguntapan, Bantul.
Toko kelontong adalah suatu toko kecil yang umumnya mudah diakses umum atau bersifat lokal. Ini sangat menggambarkan toko milik Faiz. Dagangan dan tempat tinggal Faiz dan istrinya boleh dibilang sederhana. Bahkan serba terbatas. Mereka tinggal berdua di warung berukuran sekitar 4×5 meter saja. Namun bagi keduanya, ini merupakan cara hidup terbaik yang bisa dijalani. Hidup berpangku pada diri sendiri.
Bahkan, toko kelontong Madura juga tak segan untuk buka di dekat swalayan atau minimarket besar. Tempat Faiz misalnya, tak sampai lima puluh meter di selatannya terdapat Indomaret. Tak jauh di utaranya juga berdiri kokoh Alfamidi yang masih satu bendera dengan Alfamart. Hal serupa juga kerap saya jumpai di beberapa toko Madura lain yang posisinya bahkan berdampingan dengan Alfamart maupun Indomaret.
Bagi Faiz, meski tokonya kecil dan sederhana, ia tidak takut berhadapan dengan Indomaret atau Alfamart.
“Kalau bagi saya, sederhana nggak papa. Saya merantau tidak untuk jadi kaya, yang penting bisa hidup, bertanggung jawab pada keluarga. Itu sudah jadi kebanggaan,” ujarnya tenang, lalu menyalakan sebatang rokok Sampoerna.
Bukan toko berjejaring modern itu yang ia keluhkan. Faiz justru lebih terasa berat saat dihadapkan dengan pandemi. Satu sisi, ia punya keunggulan sebab sejumlah kompetitor membatasi jam operasionalnya. Namun, ketika kebijakan PPKM diberlakukan, ia harus siap dan kuat berhadapan dengan aparat.
“Dulu [saat PPKM] Satpol PP sering datang. Nyuruh warung tutup. Tapi gimana, sewa ini jalan terus, duit harus masuk. Orang saya ke sini mau nyari duit bukan menyebarkan virus,” ujarnya cekikikan.
Sesama toko kelontong Madura dilarang saling sikut
Tak sekadar mengelola toko saja, ia juga dipasrahi tanggung jawab lain menjadi koordinator lapangan Paguyuban Pedagang Sembako Madura (PPSM) Yogyakarta. Seingat pria ini, ada 230-an pedagang kelontong Madura di Jogja yang tergabung di dalamnya. Di sana, ia bertugas mengatur ketertiban sesama pedagang kelontong Madura.
Soal perkumpulan pedagang kelontong Madura di Yogya, sebenarnya saya juga menemukan toko kelontong dengan banner bertuliskan Paguyuban Toko Kelontong Madura (PTKM) alih-alih PPSM. Namun ketika saya mencoba berbincang dengan salah satu pemilik bernama Danik, yang tokonya berada di Sonosewu, Kasihan, Bantul, katanya perkumpulan itu sudah tidak aktif.
Hal itu berbeda dengan PPSM, yang menurut Faiz biasanya sebulan sekali menggelar acara. Sekadar kumpul dan silaturahmi. Kadang juga mereka saling menyapa lewat video call saat malam hari. Ini sebabnya, jika berkunjung ke toko kelontong Madura di malam hari, Anda kerap menjumpai mereka sedang terpaku pada layar handphone-nya.
“Iya kalau malam, kalau nggak lagi telepon keluarga di rumah, ya saling video call dengan sesama pedagang. Itu biasanya sampai enam orang di WA. Kita kabar-kabar aja ada kejadian apa di dekat warung masing-masing,” ujarnya.
Selain itu, salah satu tugas yang biasa ia laksanakan sebagai koordinator lapangan adalah mengatur jarak antar-warung. Ini yang sesekali menjadi persoalan antarsesama pedagang kelontong dari Madura di perantauan. Menurut Faiz, idealnya antar-warung berjarak 200-500 meter.
“Kalau ada yang terlalu dekat, biasanya kami tegur. Sesama perantau dari Madura nggak boleh saling sakit menyakiti. Kalau terlalu dekat kan nanti pasti ada perasaan saling saingan,” tegasnya.
Kalau tegurannya tak digubris, barulah pria ini akan memohon bantuan pada sosok bernama Mbah Kowi. Menurut Faiz, Mbah Kowi adalah tokoh Madura yang disegani di Yogya. Kalau beliau sudah memberikan arahan, maka para pedagang akan menurutinya. Sayang, hingga tulisan ini tayang, saya belum berhasil menghubungi sosok tersebut.
“Tapi, beda lagi kalau ada warga lokal, orang Jogja, mereka mau buka warung dekat pun nggak masalah. Mau menyaingi kita gapapa, kita kan hanya pendatang. Tapi kalau sesama Madura, tidak boleh,” sambungnya seketika.
Pihaknya juga tidak melarang kalau toko kelontong Madura untuk mepet Indomaret atau Alfamart. Meski toko kecil mereka tidak takut untuk bersaing dengan toko modern.
Solidaritas perantau dan modal sosial
Hal menarik yang dapat dipetik adalah tentang solidaritas orang Madura di tanah rantau. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Prof. Dr. Bambang Hudayana M.A dari Departemen Antropologi Universitas Gadjah Mada. Menurut beliau, kunci orang Madura bertahan saat jauh dari tempat kelahiran adalah karena adanya jejaring dan modal sosial yang bagus.
“Modal persahabatan dan persaudaraannya kuat sekali sehingga orang Madura bisa hidup tanpa tempat tinggal maupun modal yang besar dan memadai. Cukup dengan komunitas Madura mereka bisa hidup, karena setiap kota ada komunitas Madura yang punya kerekatan kuat. Ini modal penting untuk orang Madura menghadapi situasi yang sulit,” ujarnya saat dihubungi Mojok, Rabu (6/7/2022).
Gelombang perantau dari Madura ke berbagai wilayah Indonesia sudah dimulai cukup lama. Kuntowijoyo dalam buku berjudul Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris memaparkan bahwa gersangnya tanah dengan curah hujan rendah, ditambah populasi penduduk yang padat, menjadi alasan banyak orang dari Madura memilih pergi merantau.
Kini setelah melewati sejumlah generasi, ikatan para perantau ini telah terbangun kuat di berbagai daerah. Tak heran jika di kota-kota besar, mudah dijumpai orang Madura dengan serumpun profesi yang sama. Mulai dari pedagang sate, tukang cukur, pedagang kopi keliling (starling) di Jakarta, hingga pedagang kelontong di sejumlah kota.
Mengenai alasan mengapa belakangan banyak bermunculan pedagang kelontong Madura di Yogyakarta, Faiz punya sebuah penjelasan singkat. Baginya, berdagang kelontong sudah diketahui “manisnya “ oleh banyak orang Madura, terutama dari Sumenep. Jika sudah begitu, maka akan bermunculan gelombang perantau yang akan mencoba peruntungan membuka toko kelontong dari sana.
“Jual kelontong ini kan manisnya jelas. Pasti lah hasilnya, walaupun nggak banyak,” katanya.
Senada dengan ujaran Faiz, Bambang juga menuturkan bahwa orang Madura punya budaya patron-klien di mana orang yang sudah sukses akan mengajak orang lain untuk ikut berusaha bersamanya. Mereka yang berhasil di perantauan, akan mengajak saudara atau tetangga di desanya untuk ikut serta.
“Hal ini juga terjadi di sejumlah usaha lain yang biasa digeluti orang Madura. Pedagang sate sukses misalnya, nanti didatangi anak muda dari Madura, langsung belajar memasak. Lalu para majikannya membuka lapak baru, dikerjakan oleh anak-anak pendatang yang sudah belajar,” tuturnya.
Menariknya lagi, etnis Madura juga dikenal dengan karakter ulet dan mau masuk ke ranah-ranah yang tak dijangkau kalangan lain. Di Madura misalnya, banyak orang mengepul besi tua, hal yang sepintas tak terpikirkan oleh kalangan lain, namun jika digeluti dengan tekun bisa membuahkan hasil. Alhasil, banyak pendatang dari Madura yang jadi juragan besi di sejumlah kota besar.
Begitu pula yang sekarang berkembang di berbagai kota, termasuk Jogja. Berdagang kelontong mungkin dianggap sudah bisnis lama yang tergerus modernisasi jejaring minimarket modern, namun bagi orang Madura ini bisa jadi lahan usaha yang menjanjikan.
“Jack Ma pernah bilang, ‘saya berbisnis untuk wilayah yang tidak dimasuki orang lain’, nah itu kaya orang Madura sebenarnya,” kata Bambang setengah bercanda.
*) Tulisan kedua dari seri reportase Toko Kelontong Madura. Baca juga tulisan pertama seri reportase Toko Kelontong Madura : Bisnis Palugada Toko Kelontong Madura
Reporter : Hammam Izzuddin Editor : Agung Purwandono