Beroperasinya bus Trans Jogja rute Malioboro-Ngabean-Palbapang memberikan pilihan transportasi murah bagi masyarakat. Namun, di sisi yang lain, sopir dan pemilik bus umum jurusan Jogja-Bantul menjerit dengan semakin sepinya penumpang. Bus Abadi, bus legendaris yang melayani rute Jogja Bantul adalah salah satu yang mengalaminya.
Sejak diresmikan 3 November 2022, rute Malioboro-Ngabean-Palbapang ini terbukti efektif melayani aktivitas masyarakat. Dalam kurun waktu 14 hari sejak dioperasikan, Dinas Perhubungan DIY mencatat ada sekitar 14.248 penumpang yang dilayani. Jika dirata-rata maka ada sekitar 1.096 penumpang setiap hari.
Salah satu daya tarik dari Trans Jogja tentu saja harganya yang jauh lebih murah dari angkuntan umum swasta. Mojok berbincang dengan beberapa sopir Bus Abadi, jurusan Bantul-Jogja yang pernah jadi pilihan utama masyarakat di masa lalu.
***
Di selatan Pojok Beteng Kulon, bus-bus trayek Jogja-Bantul bergantian berhenti menunggu penumpang. Dulu di titik ini penumpang berdesakan demi bisa menaiki transportasi yang jadi primadona untuk pulang kerja maupun sekolah dari Kota Jogja ke arah selatan menyusuri Jalan Bantul.
Bus Jogja-Bantul ini berangkat dari Srandakan, Palbapang, Bantul dengan tujuan akhir Terminal Giwangan. Pojok Beteng Kulon jadi salah satu titik pemberhentian untuk menambah keterisian penumpang.
Primadona yang kini sepi penumpang
Dulu jadi primadona, sekarang para sopir bus merasakan hal yang sebaliknya, mencari satu penumpang saja kesulitan. Selasa (15/11), sekitar pukul sebelas siang, bus yang sedang berhenti di sana terlihat lengang. Hanya ada dua penumpang di dalam. Sedangkan sang sopir dengan sabar duduk di sebuah angkringan dengan harapan ada beberapa orang lagi yang hendak menuju ke selatan.
“Tadi berangkat dari Srandakan jam 9.15 cuma dapat 35 ribu. Sudah biasa begitu, kadang malah cuma dapat sekitar 20 ribuan sekali jalan,” keluh sopir yang dijuluki Ardian Kancil (30) oleh bapak-bapak di angkringan.
Ardian sudah lima tahunan ini menjadi sopir bus. Awalnya banyak pasang surut yang ia alami. Tapi belakangan nyaris selalu surut. Ia berkelakar bahwa penumpang di sini memang tidak akan pasang lagi.
Pekerjaannya tuntas siang ini. Sejak dini hari sekitar pukul satu, Ardian sudah tiga kali pulang pergi menyusuri rute ini. Biasanya bus di trayek ini memang punya siklus tiga kali pulang pergi saja kendati tidak banyak lagi penumpang yang bisa diangkut.
Belum habis minuman di gelasnya, Ardian tiba-tiba berdiri. Bus selanjutnya sudah muncul di belakang. Memaksa ia berangkat meski busnya masih sepi. Ia berlari meninggalkan bapak-bapak di angkringan dan lekas menaiki kursi kemudi. Bus kecil itu melaju kencang.
Bus baru dengan ukuran yang lebih besar telah terparkir. Jika tadi Ardian membawa bus satu pintu penumpang, bus satu ini punya dua. Suprinato (55), sopir yang mengemudi bus ini juga langsung menepi di angkringan dan memesan segelas es susu. Keringat menyelimuti tubuhnya. Siang ini Jogja memang sedang terik.
Tak jauh berbeda, saat berhenti di sini, hanya ada satu dua penumpang yang ada di dalam kendaraan. Padahal bus ini punya kursi yang lebih banyak untuk diduduki.
Setelah pesanan minum datang, Suprinato lantas mengeluarkan lembaran uang dari sakunya. Ia menghitung satu per satu lembaran uang yang didapat sekali jalan dari Srandakan.
“Siji, loro, telu. Nah ini 40 ribu. Lumayan lah ini,” kelakarnya sambil menunjukkan beberapa lembar uang lima ribu dan sepuluh ribuan.
Lelaki yang sudah sejak awal 2000-an menjadi sopir di trayek ini juga mengaku masih bersyukur dengan jumlah uang itu. Seringkali, ia mengaku jumlah yang ia dapat sekali jalan kurang dari itu.
Buat Supri, rute ini sudah jadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Sebelum bus-bus ini hadir, ia sudah menjadi kernet kendaraan Colt-T hingga Chevrolet yang sempat jadi andalan para penumpang. Sejak usianya masih remaja ia sudah akrab dengan jalanan.
“Situasinya memang sudah susah. Tapi bagaimana lagi, sudah dari dulu cari nafkah dari bus. Mau cari kerjaan lain ya sekarang susah,” ujarnya.
Saat ini, normalnya para penumpang dipatok biaya Rp10 ribu jika hendak menaiki bus ini dari Srandakan hingga Giwangan atau sekitar Kota Yogyakarta. Namun menurut Supri, untuk para pekerja laju, biasanya hanya dipatok Rp5 ribu atau Rp6 ribu saja.
“Ya karena sudah biasa, jadi bayar segitu nggak papa. Tapi standar normalnya ya sepuluh ribu,” terangnya.
Bus-bus yang berada di bawah naungan Koperasi Abadi di trayek ini sekarang tinggal sekitar tujuh unit yang aktif beroperasi. Lima di antaranya bus berukuran sedang dengan dua pintu penumpang. Dua sisanya bus mikro dengan ukuran yang lebih kecil.
Kendati semakin sepi penumpang, para sopir ini masih harus menyisihkan pendapatannya untuk koperasi dan pemilik bus. Untuk koperasi, Supri berujar tiap harinya ada setoran Rp15 ribu. Sedangkan untuk pemilik bus biayanya tidak menentu menyesuaikan pendapatan. Belum lagi biaya beli solar yang kata Supri menyedot biaya sekitar Rp70 ribu sekali pulang pergi Palbapang-Giwangan.
“Ya memang susah,” ujarnya getir.
Kenangan masa kejayaan dan kisah penumpang
Alunan lagu Andaikan Kau Datang gubahan Koes Plus mengalun dari pengeras suara pengamen yang ada di persimpangan Pojok Beteng Kulon. Supri masih menikmati minuman dan camilannya. Saya coba masuk ke bus dan berbincang dengan penumpang.
Di dalam bus itu, ada empat lima penumpang yang semuanya ibu-ibu. Salah satu di antara mereka bernama Sumari (48) yang sehari-hari bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Giwangan. Rumahnya terletak di Sapuangin, Srandakan, Bantul.
Sekali perjalanan, Sumari hanya perlu membayar Rp5 ribu. Itu jika ia sudah kenal dengan kernet atau sopir bus yang ia naiki. Jika belum familiar dengannya, biasanya ia disuruh menambahkan beberapa lembar uang ribuan lagi.
“Ya kalau yang sudah kenal biasanya lima ribu cukup. Kalau belum ya suruh nambah. Normalnya sih memang sepuluh ribu,” ujarnya tertawa.
Bekerja di pasar membuat Sumari harus berangkat dari rumah saat hari masih begitu pagi. Sekitar pukul enam ia sudah harus sampai di Giwangan. Bus ini satu-satunya pilihan lantaran sudah mulai bersliweran sejak dini hari.
Sudah sejak 1993 perempuan ini menjadi buruh di pasar. Selama itu pula ia menggantungkan diri pada transportasi ini. Saat ini memang para penumpang didominasi orang-orang tua. Sebagian besar pedagang dan buruh-buruh di pasar.
Namun, Sumari masih ingat, era 1990-an saat masa-masa kejayaan bus ini, ia harus berdesakan agar bisa turut serta. Kursi-kursi penuh penumpang sehingga berdiri sepanjang 22 kilometer perjalan yang normalnya memakan waktu setengah jam adalah hal yang lumrah.
Saat itu, bus-bus ini masih berani menolak penumpang karena nyaris tidak pernah sepi. Hal yang tentu sudah berubah 180 derajat penampakan yang biasa terlihat beberapa tahun belakangan. Saat penumpang masih banyak, bus terakhir berangkat dari Pojok Beteng Kulon jam enam sore. Sekarang, pukul empat sore bus terakhir sudah meninggalkan Kota Yogyakarta.
“Kalau sekarang ini kebanyakan pekerja dan pedagang. Dulu banyak anak sekolahan. Sekarang kan mereka sudah pada pakai motor sendiri,” terangnya.
Sebagian anak sekolahan ikut bus ini dari sekitar Srandakan sampai Kota Bantul saja. Namun beberapa ada yang sampai Kota Yogyakarta. Biasanya para siswa di sejumlah sekolah di wilayah selatan yang dilewati bus ini seperti SMAN 7 Yogyakarta.
Selain itu bus ini juga kerap jadi andalan para pekerja. Namun seiring waktu, mayoritas kini sudah lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Penetrasi kepemilikan kendaraan di DIY memang tergolong tinggi.
Para penumpang lain terdengar berbincang hangat satu sama lain di bus lengang ini. Mereka saling menanyakan tujuan. Terdengar ada yang hendak menuju Samas tapi akan dijemput di Terminal Palbapang.