Mahasiswa open BO atau booking online sudah bukan cerita rahasia. Banyak alasan mereka terjun di dunia prostitusi online itu. Ada yang karena tuntutan gaya hidup, ada pula karena impitan ekonomi.
Mojok ngobrol dengan dua orang yang melakoni pekerjaan sebagai mahasiswa open BO di Yogyakarta. Mereka cerita tentang alasan dan pengalaman mereka. Termasuk cerita dari salah satu mahasiswa yang melayani dosen di kampusnya.
***
Helena (bukan nama sebenarnya) sedang ngopi bersama gebetannya saat mendapat pesan singkat dari Bram. Dengan ragu-ragu, ia melihat notifikasi di gawainya. Ada tiga pesan baru dari pria yang bekerja di salah satu hotel di Jogja itu. Karena tidak ingin merusak suasana, Helena mengabaikan pesan tersebut. Namun, tiba-tiba, Bram menelpon.
“Kesini, cepet, ada yang minta,” ujar Helena, menirukan perkataan Bram.
Wajah perempuan 25 tahun ini memucat. Di hadapannya, ada pria yang selama ini ia suka, bahkan ia harapkan jadi kekasihnya. Namun, di kejauhan sana, ada Bram menawarkan “kerjaan” yang sulit ia tolak.
“Bukan sembarang orang. Duitnya gede,” lanjutnya, masih menirukan Bram. Sementara otak kanannya sibuk mencari alasan untuk meninggalkan gebetannya itu, otak kirinya terus menerka: siapa si-bukan-sembarang-orang ini? Apakah pejabat pemerintah, politisi, atau aparat?
Sekitar pukul sebelas malam, Helena meninggalkan gebetannya di coffe shop tempat mereka nongkrong. Ia beralasan ada urusan mendesak di indekos temannya. Selama perjalanan pun Helena terus berpikir: urusan mendesak macam apa yang harus ia jadikan alasan ke gebetannya nanti. Namun, kecamuk pikiran ini memudar seiring dengan rasa penasaran tentang siapa pelanggannya malam itu.
Sesampainya di hotel, Bram langsung menyambutnya. Pria itu bercerita, bahwa di hotelnya tengah ada acara gathering para pejabat. Di malam hari, salah seorang pejabat yang berprofesi sebagai dosen, meminta Bram menyiapkan gadis untuk acara “hiburan”. Makanya, malam itu juga Bram langsung menghubungi Helena untuk melayani dosen tersebut.
Setelah berdandan dan menyiapkan semuanya, Helena langsung menuju kamar yang ditunjukkan Bram. Namun, betapa terkejutnya dia, karena ketika memasuki kamar, ia mengenal sosok yang ada di dalamnya.
“Dia dosen di kampusku.”
Kakinya sontak jadi gemetar. Air mukanya juga berubah. Perasaan malu, takut, dan cemas, campur jadi satu. Bayaran yang besar, sebagaimana dijanjikan Bram, rasanya tidak sepadan jika harus dibandingkan perasaan campur aduk yang ia rasakan saat itu.
“Tapi,” kata Helena, “kayaknya dia nggak ngenalin aku.”
Helena mengatakan, dirinya mengenali pelanggannya malam itu sebagai dosen di kampusnya. Memang bukan pengajar di fakultas tempatnya kuliah, tapi dosen ini termasuk sosok yang terpandang di kampusnya.
“Aku tahu dia. Semua orang di kampusku pasti juga kenal dia, soalnya tiap ada acara kampus dia pasti ada.”
Akhirnya, malam itu, ia terpaksa melayani dosennya sendiri. Waktu pun ia rasakan seolah melambat. Malam juga terasa panjang baginya. Dalam kamar itu, hanya ada Helena dan sang dosen, bersama rahasia kelam tiga tahun lalu yang ia simpan rapat-rapat. Setidaknya, sampai kisahnya ini saya tulis.
Karena gaya hidup
Helena, merupakan mahasiswa yang menjalani profesi sampingan dengan menawarkan jasa open BO. Di sela-sela kesibukan kuliahnya, ia masih menyempatkan diri untuk melayani birahi para pria. Pekerjaan ini bahkan ia jalani selama tiga tahun, sejak dirinya masih berstatus mahasiswa baru (2016; sekarang sudah lulus). Biasanya, Helena “bekerja” tiap akhir pekan saja. Kecuali, jika ada panggilan mendesak—seperti panggilan Bram malam itu—ia dapat bekerja pada hari-hari lain selain weekend.
Helena, hanya satu dari sekian banyak mahasiswa di Jogja yang menggeluti pekerjaan ini. Dalam pengakuannya, ada banyak mahasiswa yang menawarkan jasa serupa dengan dirinya. Bahkan, di kampusnya saja, dirinya tahu betul siapa-siapa saja mahasiswa yang buka jasa open BO.
“Malahan, di kampusku banyak yang siangnya aktif di organisasi, malamnya aktif nerima order,” tuturnya.
Menurutnya, mahasiswa terjun ke dunia open BO untuk berbagai alasan. Mulai dari sekadar tuntutan gaya hidup, himpitan ekonomi, atau karena merasa sudah tidak suci—biasanya korban kekerasan seksual. Sementara Helena, terjun ke dunia gelap ini karena alasan yang pertama.
Dapat dibilang, Helena bukan dari keluarga yang kekurangan. Orang tuanya bahkan termasuk kategori tajir mlintir. Ayah dan ibunya adalah pasangan pengusaha yang sering bolak balik luar pulau untuk urusan bisnis. Dengan demikian, ia hampir tak punya masalah soal uang saku. Ia hanya ingin memenuhi gaya hidupnya dari apa yang ia hasilkan sendiri.
“Sekali tidur bisa dapat sejuta atau dua juta. Dari sini [open BO] aku bisa beli barang-barang branded tiap hari, tanpa harus minta ortu,” ujarnya.
“Ini aja,” Helena melanjutkan, seraya menunjukkan salah satu gawai canggih yang ia miliki, “juga aku beli pake jerih payah nidurin Om-om.”
Impitan ekonomi
Sementara kisah berbeda diutarakan Audrey, mahasiswa open BO lain, yang berbeda kampus dengan Helena. Mahasiswa semester tujuh ini mengungkapkan, bahwa himpitan ekonomi jadi pemantiknya nekat menggeluti bisnis terselubung ini.
Audrey adalah mahasiswa dari kampus swasta, dengan biaya kuliah cukup tinggi, uang saku pas-pasan, dan bahkan transferan dari orang tua tidak tentu nominalnya. Kadang kurang, kurang banget, atau tidak ditransfer sama sekali.
“Apalagi pandemi kemarin. Bapak kena PHK, ibu nggak kerja, sementara aku juga masih ada dua adik yang sekolah,” tutur Audrey.
Pertemuan Audrey dengan dunia open BO bermula di pertengahan 2020-an, ketika Jogja menerapkan kebijakan lockdown. Saat itu, Audrey harus numpang di kontrakan salah satu teman satu daerahnya, sebut saja Mawar, karena ia tidak punya uang lagi untuk bayar kos. Kontrakan tersebut diisi empat orang, semuanya mahasiswa yang tidak bisa pulang kampung.
Diakui Audrey, Mawar sebenarnya senasib dengan dirinya: dari keluarga pas-pasan. Sebagai anak rantau dari luar pulau, ia tahu betul betapa susahnya temannya itu saat awal-awal kuliah di Jogja. Namun, entah mengapa Mawar kala itu tak pernah terlihat kekurangan. Jajan jor-joran, punya dua gawai mahal, serta pakaian dan sepatu-sepatunya pun kelihatan bukan barang murah.
Alhasil, karena “ingin mengubah nasib” seperti Mawar, Audrey pun memberanikan diri bertanya ke temannya tersebut “tips-tips dapat duit cepat”.
“Awalnya dia ragu. Tapi akhirnya ngaku juga,” kata Audrey, menceritakan pengakuan Mawar sebagai penjaja jasa open BO. Menurut cerita Audrey, sudah sejak akhir 2019 Mawar menjajal profesi tersebut. Dimulai dari video call sex (VCS) berbayar dengan teman sekampus, hingga nekat jadi cewek bookingan. Kebanyakan pelanggannya adalah pria-pria beristri.
“Lima juta seminggu, kadang lebih, kan gila.”
Singkat cerita, karena tergiur, Audrey pun mengikuti jejak temannya itu. Ia biasa mempromosikan jasanya melalui Mawar. Dengan kata lain, Mawar bisa dibilang “manajernya” atau muncikarinya(?). Hal ini karena setiap orderan ia dapatkan melalui temannya tersebut. Ini hampir sama dengan Helena, yang biasa menerima orderan dari beberapa temannya yang bekerja di hotel, seperti Bram.
“Aku nggak mau sembarangan promo sana sini di Twitter kayak yang lain. Kalau temen sekampus pada tahu, ya malu juga sih.”
Audrey dan Helena adalah mahasiswa open BO yang tidak memanfaatkan aplikasi semacam MiChat atau Twitter sebagai ruang promo. Dua aplikasi ini memang banyak digunakan untuk transaksi open BO. Mojok belum lama menuliskan, Open BO via MiChat, Alternatif Prostitusi Bagi Mahasiswa Penjaja Cerita Seksual.
Baca halaman selanjutnya