Jadi pemeran hantu sekilas menyenangkan karena kerjaannya cuma membuat takut orang yang datang ke wahana horor. Namun, kena pukul pengunjung sampai ketemu demit betulan juga jadi tantangan bagi mereka.
Mojok wawancarai pemeran hantu di beberapa rumah horor di Indonesia. Mereka berbagi pengalaman suka dan duka ‘menjadi hantu’.
***
Qodri (27) masih SMA saat menjadi pemeran dalam wahana Rumah Hantu Indonesia, di Mall Metropolis, Tangerang, sekitar satu dekade silam. Tidak ada persyaratan khusus untuk seseorang ketika mendaftar waktu itu. Paling-paling, pihak manajemen rumah hantu cuma akan menyesuaikan postur tubuh para pemeran dengan jenis hantu yang bakal mereka perankan nanti.
Misalnya, orang bertubuh tinggi-besar biasanya diminta menjadi genderuwo, kemudian yang berpostur agak pendek menjadi tuyul, dan seterusnya. Semua itu, lanjut Qodri, sudah tersusun teratur sesuai SOP mereka.
Qodri sempat diminta memerankan kuntilanak. Tapi ia merasa hantu itu terlalu ribet untuknya, terutama karena ia risih harus mengenakan rambut palsu dalam waktu lama. Ia pun lebih memilih pocong yang secara penampilan relatif simpel, hanya bermodal kostum dan rias wajah.
Waktu itu ia menjadi penunggu ruangan paling ujung dekat pintu keluar wahana rumah hantu dan setiap kali menuju ke sana, ia harus melewati 12 ruangan lain yang minim penerangan. Bau kemenyan yang menyengat, properti berupa tubuh-tubuh manekin, dan musik latar ala-ala film horor, cukup menguji nyali Qodri di hari-hari pertamanya jadi hantu jadi-jadian.
“Saking ngerinya, saya kalau lihat teman sesama pemeran pasti saya panggil, buat mastiin itu beneran orang apa bukan,” kenang lelaki asal Tangerang tersebut, saat saya wawancarai, Rabu malam (12/10/2022) melalui video call.
Ia bekerja dari sore, sejak pukul 16:00 sampai pukul 22:00 atau bahkan hingga tengah malam pada momen-momen ramai. Pada hari-hari awal menjadi pemeran, banyaknya orang yang datang berkunjung bisa membantu Qodri meredakan ketakutannya tiap kali memasuki ruangan. Namun, sewaktu ruangan kembali sepi, sensasi merinding itu akan merambatinya lagi.
“Tapi karena lama-lama terbiasa, jadi enggak takut lagi sih, Mas,” ungkapnya.
Soal mengatasi ketakutan memang tampaknya jadi hal pertama yang harus para pemeran kondisikan. Tapi itu baru permulaan saja, karena masih ada beberapa hal menantang yang harus mereka hadapi selama melakoni pekerjaan tersebut.
Anda takut, kami senang
Kuntilanak itu sedang duduk di atas kursi goyang. Ia mengenakan baju panjang yang hampir seperti gaun. Baju tersebut berwarna putih, sebagaimana wajah dan matanya. Kalau saja ia menampakkan diri di kebun saat gulita atau di teras rumah yang sunyi, barang tentu saya akan lari lintang-pukang melihatnya.
Namun, kuntilanak satu ini berada di keramaian dan ia eksis bukan sebagai pengganggu manusia, melainkan untuk melayani ajakan berfoto dari para pengunjung Rumah Hantu Malioboro, Yogyakarta.
“Ega Sahestiani” demikian nama lengkap sang kuntilanak yang saya ambil fotonya Senin malam itu (24/10/2022). Ia berusia 19 tahun dan telah menjadi pemeran hantu untuk Rumah Hantu Malioboro sejak acara tersebut pertama kali dihelat beberapa bulan lalu.
Sekitar tiga hari sebelumnya, saya sudah mewawancari Ega melalui telepon. Bersama rekannya, Paulus (21), perempuan itu menceritakan persiapannya sebelum menakut-nakuti pengunjung. Selain keahlian merias wajah, menjadi pemeran hantu juga membutuhkan kemampuan akting. Misalnya, kalau memerankan hantu kuntilanak ya berarti harus belajar ketawa horor ala hantu tersebut.
Tak jarang, sebagai upaya agar tampak seram dan tidak monoton, para pemeran harus mampu mengembangkan sendiri kemampuannya. Ketika saya menyambangi Ega di Malioboro, ia memperagakan hasil improvisasinya selama memerankan hantu perempuan hamil dengan merintih sambil mengatakan, “tolong… tolong...” dan posisi tangannya seperti hendak menjangkau orang di depan.
“Ada perasaan bangga tersendiri kalau kami misal berhasil nakut-nakutin pengunjung sampai mereka lari teriak-teriak,” ujar Ega.
“Kalau pengunjung biasa aja, kita jadi merasa apa sih yang kurang. Apa kita kurang seram, apa dialognya kurang bagus?” tambahnya.
“Tapi tingkat ketakutan orang berbeda-beda sih,” Paulus menambahkan. Ia dan Ega pernah mendapati seorang lelaki yang seharian keluar-masuk Rumah Hantu Malioboro sebanyak enam kali. Dan si lelaki mengaku bahagia melihat orang-orang ketakutan.
Tentu saja kejadian lelaki keluar-masuk wahana rumah hantu, dan bahagia, adalah momen yang sangat langka. Paulus dan Ega lebih banyak melihat orang yang terkentut-kentut saking takutnya atau serombongan remaja yang lintang-pukang dan meninggalkan salah satu temannya begitu seorang pemeran hantu membikin kaget mereka.
Bahkan para pelancong dari luar negeri yang mampir ke Rumah Hantu Malioboro juga ciut nyalinya begitu menghadapi para pemeran hantu berpenampilan layaknya demit-demit lokal. “Pernah ada pelancong dari Prancis, Kanada, Yaman. Mereka takut sama penampilan dan jumpscare kita,” tutur Paulus.
Oke, kalau menjadi hantu ibu-ibu hamil, kuntilanak, atau kakek tua mungkin masih banyak yang bisa diimprovisasi karena lebih leluasa bergerak. Tapi bagaimana dengan pemeran yang memerankan pocong?
“Waktu itu saya jahil, Mas,” ungkap Qodri saat mengenang pengalamannya menjadi pocong. Ia mengaku tak mengandalkan suara menakut-nakuti, atau gerakan yang dramatik, melainkan efek jumpscare.
Pocong Qodri biasanya bersembunyi di balik proprerti batu dekat pintu keluar dalam ruangannya. Karena ruangan Qodri adalah tempat terakhir dalam wahana tersebut, orang cenderung mengira mereka sudah berada di zona aman tiap kali sampai di sana. Tapi saat mereka hendak keluar, di situlah Qodri biasanya menampakkan diri dan membuat mereka menjerit.
Kadang-kadang ia sekadar berbaring di atas bangku panjang, sehingga sepintas tampak seperti properti. Lalu saat ada serombongan pengunjung mendekat ke arahnya, ia akan bangun dan mengagetkan mereka.
“Makin ada orang pengin nangis, jatuh-jatuh, amburadul, malah seneng saya,” tutur Qodri.
Meski sudah dibikin takut, tak jarang para pengunjung memberi apresiasi kepada pemeran-pemeran hantu yang berkesan buat mereka. Sampai-sampai ada yang rela membayar hanya untuk membawa si pemeran keluar wahana dan diajak berfoto-foto. Bahkan, tak sedikit yang kemudian memberi apresiasi dalam bentuk makanan, minuman, atau bahkan uang sekian ratus ribu. Yah, tampaknya, setiap pemeran hantu memiliki semboyan: Anda takut, kami senang.
Sering kena pukul dan terhina saat diludahi
Memberi pengalaman horor kepada setiap pengunjung memang tujuan pemeran hantu. Namun, saking takutnya, kadang-kadang pengunjung sampai refleks memaki atau bahkan memukul si pemeran itu sendiri.
“Makanya kita sebisa mungkin jaga jarak,” ungkap Paulus.
“Aturan kami ketat buat enggak kontak sama pengunjung.”
Selain para pemeran, setiap ruangan di wahana biasanya dijaga oleh pengawas untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Namun demikian, adakalanya para pemeran harus menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari pengunjung.
Paulus mengisahkan ada kasus pengunjung yang setelah lari ketakutan dari suatu ruangan, kembali lagi ke ruangan tersebut untuk memukul seorang pemeran. “Biasanya pengunjung yang begitu kami ajak ngobrol enaknya gimana. Kalau kaya kesenggol doang, enggak apa-apa.”
Qodri juga memiliki pengalaman yang tidak enak dengan pengunjung. Semasa menjadi pocong dulu, ia sering kena pukul orang-orang yang kaget dengan penampakannya. Namun, ia tak pernah mempermasalahkan itu, sebab ia paham betul bahwa para pengunjung melakukannya karena refleks semata. Dan pengunjung yang memukul kepalanya juga selalu meminta maaf seketika.
“Kecuali pas pengalaman saya diludahi. Ngeludahnya refleks, cuma itu saya pribadi merasa terhina banget,” ungkapnya. Qodri juga sempat refleks mencengkeram kerah si pengunjung yang meludahinya. Tapi si pengunjung segera minta maaf dan persoalan pun selesai.
Selain menghadapi resiko dipukul atau diludahi, menurut Qodri, kadang-kadang pemeran—terutama perempuan—juga bisa kena pelecehan seksual. Pernah ada kasus pengunjung-pengunjung yang berusaha mencolek atau memegang bagian-bagian tubuh tertentu dari pemeran perempuan.
“Padahal udah dikasih tahu manajemen di depan pintu masuk kalau dilarang ini atau itu. Tetep ketika pas masuk, susah juga kontrolnya,” tambah Qodri.
Ketemu hantu beneran
Semua narasumber yang saya wawancara untuk liputan ini mengaku pernah mendapat atau merasa kena gangguan mahluk halus. Paulus, misalnya, kerap melihat bayangan-bayangan tanpa rupa di ruangan tempatnya beraksi. Sementara Ega, suatu kali pernah merasa kalau kakinya disentuh oleh tangan seseorang, padahal ia sedang sendirian di salah satu ruangan wahana itu.
“Tempat-tempat seperti ini pasti ada, apalagi kita pakai barang-barang yang mengundang (mereka), kaya kemenyan,” kata Paulus.
Ada juga kasus si hantu asli tiba-tiba menampakkan diri di wahana dan ikut menakut-nakuti pengunjung bersama pemeran. Saya memperoleh cerita ini dari Qodri. Sewaktu berperan jadi pocong, ia beberapa kali mendengar dari para pengunjung kalau ada dua pocong di ruangannya. Padahal ia satu-satunya pemeran dalam ruangan tersebut.
‘Mas itu tadi temannya serem banget, cuma ngeliatin doang.’
‘Mas kok di dalem ada dua? Yang satu tinggi banget, dua meteran.’
Biasanya Qodri mendapat selentingan semacam itu saat diminta keluar untuk photo session. Namun, ia selalu pura-pura cuek.
Suatu kali ia juga pernah melihat seorang berambut panjang, dengan baju serba putih, berlari dari arah depan dan menyelinap ke properti batu dalam ruangannya. “Saya kira temen. Pas saya samperin di batu, saya panggil, ternyata enggak ada siapa-siapa di situ,” tutur Qodri.
Salah satu rekan Qodri, sesama pemeran hantu, ada yang mengaku pernah melihat pocong asli di ruangan Qodri. Namun, tubuh si pocong tinggal bagian atasnya saja. Ada pula yang pernah melihat sepotong kaki berjalan, orang misterius berlari mengelilingi ruangan, dan mahluk hitam tinggi besar.
Narasumber lain yang saya wawancara, Cantika Revira Utami (23), mengaku sering mengalami kerasukan selama ia menjadi pemeran hantu.
“Saya iga renggang, Mas, jadi sering kesurupan,” ujarnya. Selama dua tahun terakhir, ia telah mengalami, kurang lebih, lima kali kerasukan saat menjadi pemeran. Tak jarang, saat kondisi badannya sedang tidak sehat, atau karena sial, ia juga harus melihat penampakan hantu sungguhan.
Misalnya, ketika menjadi pemeran di Green Pramuka Square, Jakarta, ia bertemu hantu nenek tua berambut abu-abu. Selain itu, kejadian horor lain yang Revira alami, seringnya, adalah saat ia memerankan sosok kuntilanak putih atau merah. Setiap kali ia memerankan sosok tersebut, ia selalu merasa kalau dirinya diikuti. Kadang, ia juga mendengar kuntilanak ketawa di dekat telinganya.
“Sekarang dah biasa aja, Mas. Paling kalau tiba-tiba (dia) muncul di depan saya, ya saya kaget,” pungkas Revira.
Reporter: Khumaid Akhyat Sulkhan
Editor: Agung Purwandono